Skip to main content

Oleh : Dakelan*

Semenjak disahkannya undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa membuka harapan baru untuk terwujudnya kemandirian desa dalam arti desa memiliki kewenangan secara otonom untuk membangun, sekaligus memunculkan kekhawatiran baru akan banyaknya kasus korupsi yang menyeret aparat pemerintahan desa. Kekhawatiran tersebut merupakan sesuatu yang cukup wajar, karena selain pemberian kewenangan Desa juga mendapatkan alokasi anggaran yang cukup besar baik dari APBD maupun dari APBN. Berdasarkan skema alokasi anggaran sebagaimana diatur oleh Undang-undang, desa akan mengelola paling sedikit Rp. 1 miliar.

Untuk menjawab Kekhawatiran tersebut, pemerintah desa harus menjadikan pemberian kewenangan mengelola anggaran yang cukup besar tersebut untuk membangkitkan kembali fungsi-fungsi layanan pemerintah desa. Selain itu, agar sumberdaya yang besar tersebut bisa optimal maka desa harus mampu merancang rencana pembangunan yang terintegrasi dengan sumber keuangan desa yang ada (one village, one plan dan one budget). Oleh karena itu, agar seluruh kegiatan desa dapat berjalan secara secara transparan dan akuntabel, pada tataran kelembagaan desa, di samping keberadaan Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), harus melakukan musyawarah secara partisipatif dalam setiap penyusunan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa.

Melalui undang-undang Desa dalam menyusun kebijakan pembangunan wajib melibatkan masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 82 yang mengatur tentang mekanisme perencanaan pembangunan di Desa.  Keterlibatan masyarakat tidak hanya pada saat proses perencanaan, akan tetapi dalam undang-undang ini juga mensyaratkan keterlibatan masyarakat dalam tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan, sehingga desa dapat mengembangkan bagaimana monitoring dan evaluasi pembangunan partisipatif yang menekankan keterlibatan masyarakat.  Masalah perencanaan dan pelaksanaan pembangunan selama ini adalah minimnya keterlibatan masyarakat, tidak adanya informasi yang memadahi bagi masyarakat sehingga hal inilah yang membuka ruang terjadinya penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintahan desa. Selain itu, minimnya kapasitas pemerintah desa didalam menyusun dokumen-dokumen perencanaan juga menjadi masalah tersendiri dan berakibat tidak efektifnya penggunaan anggaran desa. Berapapun anggaran yang masuk ke desa, ketika kemampuan pemerintah desa dalam merencanakan pembangunan tidak memadahi maka anggaran yang besar tersebut tidak akan membawa manfaat apa-apa justru akan menjadi masalah secara hukum.

Persoalan mendasar lainnya ditingkat desa yaitu tidak maksimalnya fungsi-fungsi pelayanan publik oleh pemerintahan desa. Salah satunya alasan yang cukup mengemuka adalah ketidakjelasan status perangkat desa yang merupakan aparat pemerintah tetapi tidak mendapatkan tunjangan yang memadai, selain memang persoalan infrastruktur yang kurang mendukung untuk memberikan layanan secara maksimal. Untuk itulah melalui undang-undang desa ini salah satunya mengatur hak perangkat desa untuk mendapatkan tunjangan melalui alokasi anggaran ke desa, dimana 30 persen dialokasikan untuk biaya operasional desa dan 70 persen untuk pembangunan. Dengan skema tersebut, tidak ada lagi alasan bagi desa untuk tidak meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Mendesain Kesejahteraan Dari Desa

Sebagian besar kemiskinan adalah di desa, sebagaimana dicatat oleh Perkumpulan Prakarsa 60 persen kemiskinan berada di Desa. Dari berbagai diskursus soal kemiskinan di Indonesia, telah banyak menyampaikan penyebab terjadinya kemiskinan yang cukup tinggi namun cukup sedikit kebijakan konkret yang  diambil oleh pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan. Proyek-proyek penangulangan kemiskinan selama ini banyak dilakukan oleh pemerintah pusat dan juga oleh pemerintah daerah, sementara desa seakan-akan hanya menjadi kelinci percobaan oleh pelbagai progra-program pengentasan kemiskinan.

Minimnya peran desa dalam penanggulangan kemiskinan menyebabkan semakin lebarnya jurang kemiskinan, dikarenakan penanggulangan kemiskinan hanya sekedar proyek oleh pemerintah pusat baik yang melalui program kementerian dan lembaga dan hanya bersifat ad hoc tidak berkesinambungan sesuai dengan karakter dan modal sosial yang dimiliki oleh desa. Karena sifatnya sekedar proyek, maka tidak bisa dijamin keberlanjutan program yang akan berakibat pada minimnya partisipasi masyarakat desa dan pada akhirya menjadikan masyarakat desa tidak merasa memiliki hasil program maupun pembangunan terutama program-program yang berbentuk fisik.

Dalam peta pembangunan saat ini desa masih menjadi subyek yang kecil keterlibatannya untuk menentukan arah pembangunan. Desa selalu dipaksa untuk menerima semua bentuk program atau proyek dari tanpa mempunyai kewenangan untuk mengelola atau menyesuaikan dengan rencana pembangunan desa yang telah disusun dan sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa untuk jangka waktu tertentu, akibatnya program dan proyek berjalan sendiri-sendiri dan kurang berdampak pada kesejahteraan desa. Seperti misalnya bantuan Coorparate Social Resposibility (CSR) selama ini berjalan sesuai dengan kebijakan dan kewenangan perusahaan sedangkan desa hanya menjadi penerima saja sehingga banyak program CSR tersebut tidak tepat sasaran, bahkan tidak sedikit di selewengkan oleh oknum di desa.

Dengan undang-undang desa, peluang dan harapan baru untuk menjadikan Desa hebat meminjam (Budiman Sujatmiko,2014). Dengan Desa hebat, mimpi mewujudkan kesejahteraan dilevel Desa menjadi semakin dekat. Dengan berbagai kewenangan dan alokasi anggaran yang cukup besar, maka desa memiliki kesempatan untuk merajut kesejahetaraan tersebut.  Tentu ada prasayarat-prasyarakat yang harus terpenuhi untuk mewujudkan itu, desa harus mulai merancang strategi pembangunan yang benar-benar sesuai dengan masalah yang dihadapi, memanfaatkan potensi atau asset yang dimiliki untuk dikelola secara efektif untuk mewujudkan kesejahteraan desa. Paradigma pembangunan harus mulai ditata kembali, dengan mendorong lahirnya demokrasi lokal desa (Sutoro Eko).

Desa memiliki kewenangan untuk mengelola anggaran sendiri melalui kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Melalui APBDesa, pemerintah desa memiliki ruang untuk membiayai program dan kegiatan yang direncanakan selama satu tahun. Desa juga dapat merancang rencana pembangunan selama periode 6 tahun atau disebut RPJMDesa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa). Dengan RPJMDesa tersebut desa dapat menyusun visi misi selama 6 tahun yang selanjutnya akan diterjemahkan ke dalam program prioritas, selanjutnya program prioritas selama lima tahun tersebut akan dibreak down lagi menjadi program prioritas selama satu tahun tergantung dari persoalan yang dihadapi, prioritas selama satu tahun tersebut termuat dalam dokumen perencanaan yang disebut RKPDesa (Rencana Kerja Pemerintah Desa).

Proses‐proses penyusunan RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa ini dilakukan secara partisipatif, yaitu secara langsung melibatkan peran aktif warga masyarakat desa. Desa-desa tersebut telah mampu menyusun RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa secara partsipatif ini karena memperoleh pendampingan dari pihak ketiga yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Perguruan Tinggi. Masih banyak desa‐desa yang belum mendapatkan “sentuhan pendampingan”, sehingga pada umumnya proses penyusunan RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa‐nya banyak didominasi oleh aparat pemerintah dan elite desa saja, atau bahkan tidak jarang yang “menjahitkan” dokumen‐dokumen tersebut kepada “konsultan” desa..

Otonomi desa menjadi bermakna ketika desa mampu secara mandiri merancang pembangunan untuk menyejahterakan masyarakat desa. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Prakarsa, desa berkontribusi pada 63 persen kemiskinan di Indonesia, hal ini merupakan rangkaian dari semakin berkurangnya lahan pertanian yang merupakan modal ekonomi masyarakat desa paling dominan yang berakibat meningkatnya buruh migran tanpa skill atau disebut TKI yang sebagian besar sulitnya lapangan pekerjaan didesa. Dengan implementasi UU desa diharapkan akan mampu mengurangi persoalan-persoalan sosial dan ekonomi di Desa.

*Penulis adalah : Koordinator FITRA Jatim, dan Saat ini sedang Menempuh Kuliah Pasca Sarjana Ilmu Politik UNAIR

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.