Skip to main content

Jakarta, 6 Oktober 2020

Regulasi tentang pesangon dalam RUU Cipta Kerja akan membebani keuangan negara dan merugikan pekerja. Sebaliknya, pemerintah menilai pembayaran pesangon di Indonesia termasuk paling tinggi dari negara lain.

Pemerintah akan turut menanggung pesangon para pekerja yang diberhentikan bekerja melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Modal awal Jaminan Kehilangan Pekerjaan ini telah ditentukan minimal Rp 6 triliun dalam Rancangan Undang-undang Cipta Kerja.

Selain merugikan pekerja, regulasi pesangon dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja akan membebani keuangan negara dalam jangka menengah panjang. Regulasi pesangon yang baru dipandang hanya memberikan karpet merah bagi pelaku usaha.

Pada Senin (5/10/2020), pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna DPR. Dalam Pasal 42 Ayat (2) RUU itu disebutkan, modal awal untuk program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JPK) ditetapkan paling sedikit Rp 6 triliun yang dianggarkan melalui APBN. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pesangon akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Sebelumnya pada Sabtu pekan lalu, pemerintah dan DPR  menyepakati pengurangan pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK). Pesangon itu ditetapkan 25 kali upah yang ditanggung oleh pemerintah dan negara. Pemberian pesangon lebih rendah dari UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur maksimal 32 kali upah.

Dalam draf RUU Cipta Kerja yang sebelumnya beredar di publik, pengusaha wajib membayar uang pesangon maksimal 9 kali upah dan uang penghargaan masa kerja maksimal 10 kali upah sehingga total 19 kali upah. Negara akan menanggung pesangon maksimal 6 kali upah melalui program JPK yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan adalah upah pokok dan tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya.

Sekretaris Jenderal Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan, yang dihubungi Senin (5/10/2020), berpendapat, regulasi pesangon dalam RUU Cipta Kerja akan membebani keuangan negara dalam jangka menengah dan panjang. Di sisi lain, pembayaran pesangon 25 kali upah merugikan pekerja karena lebih rendah dari aturan sebelumnya.

”Jika pemerintah harus menanggung biaya PHK, pasti akan membebani APBN. Terlebih APBN saat ini dan tiga tahun ke depan masih ’sakit’ akibat pandemi Covid-19,” kata Misbah.

“Jika pemerintah harus menanggung biaya PHK, pasti akan membebani APBN. Terlebih APBN saat ini dan tiga tahun ke depan masih ’sakit’ akibat pandemi Covid-19.” (Misbah Hasan)

Sebagai ilustrasi, pada 2019 terdapat 668.228 perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) yang terdaftar, dengan rincian 642.309 perusahaan PMDN dan 25.919 perusahaan dalam rangka PMA. Banyaknya perusahaan PMDN dan PMA menggambarkan beratnya beban negara jika harus menanggung sebagian pesangon.

Menurut Misbah, regulasi pesangon baru juga berpotensi membuat pengusaha semakin berani mengambil kebijakan PHK. Padahal, pengusaha telah diberikan berbagai fasilitas insentif dan keringanan pajak usaha.

Harus diakui, banyak perusahaan yang kondisi keuangannya sudah buruk sebelum pandemi. Jangan sampai situasi pandemi dijadikan alasan melakukan PHK besar-besaran.

”Orientasi pemerintah hanya agar investasi masuk atau bertahan bagi yang sudah beroperasi di Indonesia, bukan berorientasi pengamanan pekerja PHK,” katanya.

Misbah menambahkan, ada beberapa skema yang bisa ditempuh pemerintah agar pembayaran pesangon tidak terlalu membebani APBN. Salah satunya dengan mengembangkan sistem dana abadi supaya tidak membentuk kelembagaan baru, atau menyusun skema dana asuransi dari APBN yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Usulan skema itu untuk mengantisipasi ketidakpastian PHK.

Mengonfirmasi hal tersebut, Direktur Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, pengalokasikan dana pesangon dalam APBN masih harus didetailkan, termasuk implementasinya akan diperhitungkan sesuai dengan ketentuan. Detail pembayaran pesangon dimuat dalam peraturan pemerintah.

Jalan tengah

Secara terpisah, ekonom senior yang juga Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede mengakui ketentuan pesangon sebanyak 25 kali upah merugikan pekerja karena lebih rendah dari sebelumnya.

Namun, pembayaran pesangon di Indonesia tetap termasuk paling tinggi dibandingkan dengan negara lain. ”Kami mencari titik tengahnya. Beban dunia usaha di Indonesia masih besar dibandingkan dengan negara lain,” katanya.

Menurut Raden, pemerintah tidak bermaksud menjadi ekstrem kiri atau ekstrem kanan. Titik tengah antara pengusaha dan pekerja diupayakan agar sama-sama menguntungkan. Sebagai contoh, kendati pesangon berkurang,  pekerja diberi fleksibilitas berupa penguatan jaminan sosial. Mereka akan mendapat asuransi dari BPJS Ketenagakerjaan.

“Pemerintah tidak bermaksud menjadi ekstrem kiri atau ekstrem kanan. Titik tengah antara pengusaha dan pekerja diupayakan agar sama-sama menguntungkan.” (Raden Pardede)

Praktik sosial dan bisnis akan berubah setelah pandemi Covid-19. RUU Cipta Kerja dirumuskan untuk merespons perubahan tersebut. Pembahasan dan pengesahan terkesan cepat karena pemerintah menargetkan implementasi RUU Cipta Kerja bisa dimulai pertengahan 2021 atau 2022 ketika Covid-19 sudah selesai. Jika RUU dibahas setelah Covid-19, Indonesia akan semakin tertinggal.

”RUU Cipta Kerja berusaha menghubungkan terciptanya lingkungan kerja yang lebih kondusif dengan normalisasi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya beli masyarakat yang berkelanjutan,” kata Raden.

Sumber: https://bebas.kompas.id/baca/ekonomi/2020/10/06/sebagian-pesangon-ditanggung-apbn-beban-negara-makin-berat/

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.