Skip to main content

10 Alasan Menolak RAPBN-P 2013 “Sarat Politisi Menjelang Pemilu dan Menyengsarakan Rakyat”

 

Pada tanggal 17 Mei 2013 Pemerintah akhirnya menyerahkan RAPBN Perubahan 2013 untuk dibahas bersama oleh DPR.  FITRA memandang RAPBN-P 2013 yang diajukan sarat kepentingan politik menjelang Pemilu 2014, dengan alasan sebagai berikut :

  1. Pemerintah beralasan beban subsidi memberatkan dan bisa menyebabkan APBN jebol, serta defisit. Dengan menaikkan harga BBM menjadi Rp. 6.500, Pemerintah menyatakan akan menghemat anggaran sebesar Rp 30 trilyun. Faktanya , alih-alih bisa mengurangi  alokasi belanja subsidi, subsidi BBM yang diajukan Pemerintah dalam RAPBN-P justru membengkak  sebesar Rp 16,1 trilyun.
  2. Beban subsidi BBM sebagai penyebab membengkaknya defisit juga tidak benar. Kenaikan defisit Rp 80 triliun pada RAPBN-P 2013 lebih disebabkan karena diturunkannya target penerimaan perpajakan senilai Rp 53,6 trilyun. Artinya, tambahan beban subsidi BBM hanya berkontribusi 20% terhadap defisit , sementara penurunan perpajakan berkontribusi 66% terhadap defisit.
  3. Dari kedua point di atas, nyata-nyata bukan beban subsidi BBM yang menjadi alasan untuk mengajukan APBN P 2013, namun mensiasati APBN-P 2013 untuk menyusupkan program-program populis dalam rangka menarik simpati rakyat untuk kepentingan Pemilu 2014.  Pasalnya, belanja kompensasi kenaikan BBM  (BLSM, tambahan raskin dan PKH, beasiswa masyarakat miskin dan Infrsatrukur dasar) dengan total Rp 30,1 trilyun , besarnya hampir dua kali lipat dari kenaikan subsidi BBM Rp 16,1 trilyun.
  4. Sejak APBNP 2012 dan 2013, Pemerintah sudah diberikan diskresi untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi, tapi Pemerintah tidak memanfaatkan momentum ini. Telrihat Pemerintah tidak berani disalahkan atas kebijakannya dan melempar ke DPR, dan membuka peluang tawar menawar antar parpol di DPR.
  5. Dengan SAL (Sisa Anggaran Lalu) 2012 senilai Rp 56,1 trilyun, maka sebenarnya Pemerintah tidak perlu mengajukan APBN Perubahan. SAL tersebut mampu mengcover pembengkakan subsidi BBM Rp 16 trilyun dan kompensasinya Rp 30 trilyun. Sehingga tidak diperlukan justifikasi menambah utang baru sebesar Rp 63,4 trilyun. Pemerintah juga tidak perlu menambah anggaran Pendidikan senilai Rp 7,5 trilyun sebagai konsekuensi penambahan belanja.

Potret strutktur APBN-P 2013 mengkonfirmasi fenomena terjadinya siklus Politisasi anggaran pada tahun Pemilu (Political Budget Cycles) di berbagai negara, dimana menjelang tahun Pemilu terjadi penurunan penerimaan pendapatan dan peningkatan belanja diikuti dengan defisit yang besar.  Politisasi anggaran untuk kepentingan Pemilu menyebakan struktur anggaran yang  menyengsarakan rakyat dan melayani kepentingan elit politik dan birokrasi, dengan alasan sebagai berikut :

 

6.    Pemerintah tidak mau mengubah secara mendasar asumsi makro ekonomi terkait kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pendapatan. Misalnya, pemerintah tidak mau memasukkan asumsi penurunan gini rasio dan penciptaan lapangan kerja. Lalu untuk apa APBN  diubah kalau itu hanya menyantuni kepentingan pemerintah.

 7. Target pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak realistis. Jika BBM dinaikkan, pertumbuhan ekonomi hanya akan berada di kisaran 5,9% dan inflasi sekitar 8,5 – 9%. Tentunya jika ini terjadi kesejahteraan rakyat akan makin merosot. Pemerintah mengorbankan masyarakat dengan dalih  kesehatan fiskal (yang ternyata juga tidak benar karena defisit malah membengkak dan keseimbangan primer negatif).

8.   Pemerintah tidak memiliki argument yang sahih atas Penurunan pajak. Pemerintah memaksa menaikkan harga minyak, tapi memanjakan birokrasi dengan menyetujui penurunan penerimaan pajak. Ini jelas tindakan yamg tidak adil, apalagi di tengah kenyataan praktik korupsi pajak dan potensi penerimaan yg belum digarap (seperti ketaatan wajib pajak yg rendah) dan tax ratio masih jauh dari potensi yang sebenarnya.

9.   Kenaikan harga BBM dan dampak yang harus ditanggung oleh rakyat tidak diikuti dengan pengorbanan Pemerintah. Belanja K/L (Kementerian/ Lembaga) hanya dipotong Rp 7,1 trilyun dan belanja pegawai hanya berkurang Rp 1,4 trilyun. Padahal, berkaca pada realisasi APBN 2012, Pemerintah tidak mampu menyerap anggaran hingga Rp 56,1 trilyun (SAL) dan 35% dari belanja pegawai digunakan untuk membiayai Pensiun.

10.  Tidak ada pemotongan yang signifikan dari belanja barang, yang selama ini menjadi sumber inefisiensi yamg sangat besar. Jika pemerintah jadi menaikkan harga minyak, kita menuntut semua mobil dinas dibiayai dengan uang pribadi pemakai, khususnya minyak (tidak boleh dibebankan kepada APBN). Membengkaknya subsidi BBM juga menunjukan kegagalan pemerintah melakukan pengendalian BBM selama ini, seperti mewajibkan Mobil Dinas menggunakan BBM Non Subsidi.

 Berangkat dari 10 alasan di atas, FITRA meminta DPR untuk menolak RAPBN-P 2013 yang diajukan oleh Pemerintah, dan mengembalikan diskresi penyesuaian harga BBM kepada Pemerintah.

Jakarta, 2 Juni 2013

 Cp : Yuna Farhan  08161860874 Yenny Sucipto 081559666671

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.