Skip to main content

Naikan Gaji Kepala Daerah : Presiden Bangkrutkan Daerah

 

Dalam acara Pembukaan Rapat Kerja Nasional Ke-9 Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) tanggal 20 Februari , Presiden SBY berencana menaikkan gaji para kepala daerah. Hal ini menanggapi permintaan Ketua APKASI. Atas rencana tersebut, Seknas FITRA bersama 15 anggota FITRA di daerah menyatakan menolak atas rencana kenaikan gaji Kepala Daerah tersebut. Dengan alasan sebagai berikut :

 1. Salah kaprah penghasilan kepala daerah minim. Selama ini publik dipersepsikan bahwa  penghasilan kepala daerah kecil. Selama ini yang diketahui publik hanya gai pokok dan tunjangan jabatan saja. Rp 8,4 juta (gaji pokok Rp 3 juta + Tunj Jabatan Rp 5,4 juta) untuk Gubernur dan Rp 5,8 juta (gaji pokok Rp 2,1 juta + Tunj. Jabatan Rp 3,7 juta) untuk Walikota/Bupati.  Padahal, sebenarnya kepala daerah juga memperoleh insentif dari pemungutan Pajak dan Retribusi daerah minimal yang besarnya minimal 6 kali gaji+tunjangan dan maksimal 10 kali gaji+tunjangan, tergantung dari Pajak dan Retribusi Daerah bersangkutan, sebagaimana diatur dalam PP 69 tahun 2010. Oleh karena itu, untuk daerah yang miskin Pajak dan Reribusi Daerahnya, minimal seorang Gubernur akan memperoleh penghasilan bulanan yang masuk kekantong sebelum dipotong pajak Rp 58,8 juta dan Bupati/Walikota Rp 41,1 juta. Secara resmi, Provinsi Jateng merilis Gaji Gubernurnya sebesar Rp 79,1 juta dan Gubernur Jatim Rp 79,8 juta, saat menanggapi rilis FITRA terkait pengahasilan Kepala Daerah akhir tahun lalu. Penghasilan tersebut belum termasuk biaya penunjang operasional yang besarnya juga tergantung PAD. Biaya penunjang operasional ini ada yang bersifat lumpsum dan dikelola oleh Bendahara. Untuk DKI Jakarta misalnya, biaya penunjang operasional yang diberikan setiap triwulannya sebesar Rp 4,4 milyar, dimana Gubernur Rp 2,4 milyar, Wagub Rp 1 milyar dan yang dikelola Bendahara Rp 900 juta. Artinya, pernyataan Presiden gaji kepala daerah tidak layak jika dibandingkan dengan tanggung jawab dan kinerjanya adalah tidak benar.

 2.  Kenaikan Gaji Kepala Daerah akan diikuti kenaikan Gaji 15.000 anggota DPRD se Indonesia. Kenaikan gaji kepala daerah juga akan secara langsung akan diikuti oleh kenaikan penghasilan 15.000 DPRD seluruh Indonesia. Pasalnya parameter penghasilan DPRD menggunakan dasar perhitungan gaji pokok Kepala Daerah. Sesuai dengan PP  37/2006 dan perubahannya PP 21/2007, berbagai jenis pengahasilan DPRD mengacu besarnya gaji pokok kepala daerah, seperti uang representasi sebesar 100% gaji pokok kepala daerah, tunjangan jabatan 145% uang representasi dan tunjangan-tunjangan lainnya.

 3.  Kenaikan Gaji Kepala Daerah akan membangkrutkan daerah. Berdasarkan analisa FITRA, saat ini belanja daerah tersandera birokrasi, pada tahun 2011, 298 daerah mengalokasikan 50% lebih anggarannya untuk belanja pegawai. Meningkat pada tahun 2012, 302 daerah mengalokasikan separuh anggarannya untuk belanja pegawai. Rerata tahun 2008-2012, terdapat separuh daerah yang mengalokasikan separuh anggarannya untuk belanja pegawai, bahkan 11 daerah diantaranya mengalokasikan 70% anggarannya untuk pegawai pada tahun 2011-2012.  Kenaikan gaji kepala daerah yang pasti diikuti dengan kenaikan penghasilan DPRD, jelas akan kembali menguras anggaran daerah untuk kepentingan elit dan birokrasi.  yang akan menyebabkan daerah terebut bangkrut karena tidak mampu melakukan pelayanan publik sesuai tujuan otonomi daerah. Padahal sebelumnya Pemerintah melakukan moratorium penerimaan PNS karena besarnya belanja daerah untuk birokrasi, jelas-jelas ini menunjukan ketidakkonsistenan Pemerintahan SBY.

 

Berdasarkan pernyataan di atas, FITRA meminta Presiden SBY untuk membatalkan kenaikan gaji Kepala Daerah. Kenaikan gaji kepala daerah,

Salam Transparansi,

 Yuna Farhan Sekjen FITRA

 

 

 

   

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.