Skip to main content

Membangun Gerakan Pro Poor Budget


Uchok Sky Khadafi dan Yenny Sucipto memang sudah tidak diragukan lagi tulisannya. Keduanya cukup produktif melahirkan tulisan-tulisan bertema advokasi anggaran. Kalangan NGO, sepertinya sudah mengenal baik dua orang ini.

Dalam buku berjudul ”Membangun Gerakan Pro Poor Budget ini” keduanya kembali menambah khazanah di cakrawala pengetahuan. Gaya penulisannya yang deskribtif membuat pembaca manapun tidak akan kesulitan memahami setiap pembahasan yang diuraikan secara sistematis di dalam buku ini. Setiap kalimat yang ditulis menstimulasi nalar setiap orang untuk membaca buku ini hingga habis dan tuntas.

Buku yang terdiri dari lima bagian ini menceritakan perjalanan advokasi anggaran pro poor di empat kabupaten di propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Empat kabupaten tersebut adalah Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Sumbawa Besar.

Namun, sebelum memasuki lima bagian pembahasan tersebut, pembaca akan dibawa ke pemahaman mengapa anggaran harus berpihak pada rakyat miskin (pro poor budget/ budget for the poor) dan bagaimana merealisasikannya. Dimana secara sosiologis, kemiskinan mengindikasikan kegagalan negara memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyatnya. Anggaran sebagai sebuah proses politik yang dibuat  oleh pejabat negara sudah seharusnya memihak pada kemiskinan. Karena pada dasarnya, konstitusi negara Indonesia mengamanatkan negara untuk menjaga orang-orang miskin. Sebagaimana yang tertulis pada pasal 34 ayat 1 UUD.

Di bagian pertama buku ini, penulis mendeskribsikan betapa ”takut”nya para pejabat di empat kabupaten tersebut dengan istilah advokasi. Advokasi dianggap sebagai sebuah proses yang akan mengebiri kewenangan mereka dalam mengelola anggaran. Bahkan, beberapa kali pejabat daerah sempat melakukan tindakan represif kepada pegiat advokasi anggaran. Namun dengan kharismatik yang dimiliki tuan guru, pejabat daerah (eksekutif dan legislatif) akhirnya mau bekerjasama dengan pegiat advokasi, dan tuan guru dalam rangka perbaikan proses pembangunan. Sehingga, paradigma advokasi pun berubah. Dari oposisi menjadi gerakan advokasi yang kooperatif.

Bagian kedua menceritakan perjalan advokasi anggaran di Kabupaten Lombok Timur. Menariknya adalah, advokasi anggaran mulai dilaksanakan  pada saat situasi politik sedang memanas. Guru-guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melakukan protes pemberlakuan Surat Keputusan Bupati No. 4 Tahun 2004 yang mewajibkan adanya potongan 2,5% dari gaji dan uang kesejahteraan para guru.

Sementara, kondisi sosial-ekonomi masyarakat Lotim sangat memperihatinkan. Kemiskinan masih menyelimuti sebagian besar penduduk Lotim. Data hasil survey LSBH menunjukan bahwa buta huruf dan busung lapar masih menjadi penyebab kemiskinan. Akan tetapi anggaran kesehatan dan pendidikan masih banyak dihabiskan untuk belanja birokrasi dan tidak mengena langsung kepada masyarakat.

Pada bagian ketiga, penulis menyuguhkan pengalaman advokasinya di Lombok Tengah. Berbeda dengan gerakan advokasi pro poor budget di Lotim, Advokasi di Loteng memiliki cukup banyak opportunity, diantaranya adalah dengan adanya tuan guru atau tokoh agama yang sangat dihormati masyarakat. Bersama mereka para pegiat advokasi mulai membangun gerakan transparansi APBD. Ya, karena masyarakat di Loteng mayoritas sangat taat beragama. Tidak jarang pemahaman advokasi anggaran ditransformasikan kepada masyarakat lewat pengajian. Ada satu hal yang akan membuat pembaca tertegun di bagian ini, 9,817 miliar rupiah dialokasi bagi 45 orang anggota DPRD lebih besar. Sedangkan bagi ribuan masyarakat Loteng hanya dialokasikan 10 miliar rupiah di sektor pembangunan umum.

Di bagian selanjutnya, kisah advokasi pro poor budget berangkat dari Lombok Barat. Hampir sama dengan di Loteng, advokasi masih menggunakan pendekatan religius. Bahkan uniknya khutbah jum’at di Mataram bertema topik-topik yang sarat akan pentingnya penaggulangan kemiskinan melalui anggaran.
Cerita di bagian terakhir buku ini juga tidak kalah menarik. Masih seputar anggaran yang belum pro rakyat miskin di Sumbawa Besar. Bagaimana tidak, jika 97% alokasi anggaran pendidikan hanya diperuntukan biaya birokrasi, dan bukan bagi masyarakat. Sementara jumlah anak yang bisa mengenyam bangku sekolahan masih dalam kisaran lima sampai 10%. Sisanya, mereka terhambat biaya pendidikan yang tinggi untuk menuntaskan pendidikan wajib 9 tahun.

Seperti buku-buku yang telah diterbitkan FITRA, buku ini juga dihiasi berbagai grafik dan matrik angka-angka untuk mempermudah pembaca  memahami alokasi anggaran yang pro poor.

Bagi para pegiat advokasi, buku ini akan sangat membantu proses inovasi penyusunan anggaran. Pegiat advokasi tidak sekedar mendapatkan informasi tantangan yang akan muncul, lebih dari itu pengalaman para penulis akan memberikan inspirasi dalam membangun strategi advokasi.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.