Skip to main content

Policy Brief Akuntabilitas Penanganan Pandemi COVID-19

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Akuntabilitas Penanganan Covid-19, yang terdiri dari NGO terkemuka seperti Forum Indonesia untuk Transaparansi Anggaran (FITRA), Indonesian Coruption Watch (ICW), Transparansi International Indonesia (TII), Indonesia Budget Center (IBC), menjelaskan perlunya dibuat satu kebijakan utuh yang dipayungi dalam bentuk PP, Perpres atau instrumen hukum lainnya yang memadai sebagai payung dalam mendesain tata kelola kelembagaan yang secara khusus difungsikan untuk menangani pandemi corona dan dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya publik yang akan/sedang dan telah dimanfaatkan.

Latar Belakang Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19

1. Pengalaman Indonesia dalam penanganan berbagai bencana berskala besar, khususnya bencana alam, baik tsunami, banjir, gunung meletus, tanah longsor maupun gempa bumi memberikan gambaran umum adanya kerentanan dalam pengelolaan sumber daya publik, khususnya anggaran, karena potensi penyimpangan yang relatif tinggi. Berbagai kasus korupsi telah diungkap oleh penegak hukum maupun dilaporkan oleh masyarakat korban yang tidak mendapatkan hak atau bantuan mereka sebagaimana mestinya. Sementara bantuan dari berbagai sumber, baik masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional mengalir seiring dengan bencana yang terjadi.

2. Selain masalah kerentanan atas potensi korupsi anggaran penanganan bencana, masalah umum yang sering dihadapi adalah manajemen informasi publik yang kurang memadai sehingga dalam situasi darurat kebencanaan, kepercayaan Pemerintah justru menghadapi tantangan serius. Padahal kerjasama, kolaborasi dan upaya bahu membahu dengan berbagai pihak adalah salah satu kunci keberhasilan dari setiap penanganan bencana nasional.

3. Indonesia telah memiliki pengalaman yang relatif baik dalam pengelolaan bencana besar, seperti tsunami di Aceh dengan berdirinya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh. Badan ini didesain untuk memastikan tingkat koordinasi yang lebih baik antara berbagai stakeholders, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya penanganan bencana dan desain strategi mitigasi bencana, khususnya dalam penyediaan rumah tinggal sementara bagi korban tsunami Aceh.

Poin-poin Masalah

1. Indonesia, bersama dengan negara-negara lain di dunia tengah menghadapi krisis kesehatan yang serius dengan menyebarnya virus COVID-19 ke berbagai wilayah. Untuk Indonesia sendiri, penyebaran telah terjadi karena berbagai hal, salah satunya adalah ketidaksiapan Pemerintah sedari awal karena sikap yang terlalu meremehkan ancaman COVID-19. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan untuk menangani penyebaran COVID-19 tidak konsisten, tidak transparan dan menimbulkan kontraksi komunikasi, terutama antar institusi negara yang berwenang menangani masalah ini, serta antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

2. Fokus atas penanganan pandemi COVID-19 sebagai isu kesehatan tidak terlalu menonjol, karena Pemerintah Pusat lebih melihat persoalan ekonomi yang akan muncul dari pandemi yang harus diantisipasi daripada masalah kesehatan yang menjadi ancaman serius masyarakat luas dalam jangka pendek. Karena pertimbangan ekonomi menjadi tumpuan, maka kebijakan pencegahan penyebaran corona menjadi tidak terlalu jelas. Akibatnya, masyarakat mengambil inisiatif sendiri dengan bahu membahu sesamanya, mendorong adanya pengumpulan bantuan, menutup secara swadaya lingkungan mereka dan usaha lain yang dapat diamati dari lalu lintas informasi di sosial media.

3. Keterbatasan sarana medis yang dihadapi oleh petugas medis di lapangan dalam menangani wabah COVID-19 belum dapat diselesaikan dengan cepat. Padahal korban dari tenaga medis sudah berjatuhan. Setidaknya sudah ada 24 dokter dan 6 (enam) perawat yang meninggal dunia karena terserang corona (data per 6 April 2020, IDI dan PPNI). Keterbatasan ini ditimbulkan karena kebijakan alokasi anggaran yang belum memadai baik di pusat maupun daerah, kebijakan pengadaan barang dan jasa penangananan corona belum tersedia dengan detail, serta kebijakan distribusi peralatan medis yang belum memadai karena keterbatasan data yang konkret di lapangan. Akibatnya berbagai daerah yang membutuhkan peralatan medis belum mendapatkan suplai dari otoritas terkait.

4. Pemerintah melalui Kementerian BUMN telah membeli 500 ribu alat rapid test sejak 19 Maret 2020 lalu dari Cina. Namun upaya ini dinilai kurang efektif karena akurasi rapid test yang telah dibeli hanya 30 persen. Bahkan Negara seperti Spanyol, Ceko, Belanda, Georgia, dan Turki telah mengembalikan alat rapid test ke Cina. Akibatnya, sampel yang diambil tidak sesuai harapan dan negara berpotensi rugi akibat pembelian alat rapid test tersebut.

5. Ketidakmampuan pemerintah dalam melakukan uji sampel spesimen secara maksimal membuat informasi publik yang disampaikan tidak akurat. Juru Bicara Pemerintah untuk Penanggulangan virus Corona, Achmad Yurianto menyatakan bahwa kapasitas Litbangkes untuk memeriksa sampel spesimen per harinya sekitar 1.700 sample. Namun rata-rata spesimen yang diperiksa sejak tanggal 27 Maret-6 April 2020 hanya sekitar 607 sample. Akibatnya Indonesia sulit menekan angka kematian yang per 6 April 2020 masih di angka 8 persen.

Usulan Kebijakan

1. Perlu dibuat satu kebijakan utuh yang dipayungi dalam bentuk PP, Perpres atau instrumen hukum lainnya yang memadai sebagai payung dalam mendesain tata kelola kelembagaan yang secara khusus difungsikan untuk menangani pandemi corona dan dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya publik yang akan, sedang dan telah dimanfaatkan. Mekanisme sebagaimana BRR bisa menjadi salah satu alternatif kebijakan nasional penanganan pandemi COVID-19 karena desain kelembagaan model BRR telah mencakup berbagai aspek yang dibutuhkan dalam penanganan bencana, baik dalam rangka memperbaiki koordinasi dan komunikasi, transparansi dan akuntabilitas serta kebijakan teknis di lapangan yang dapat memandu setiap komponen yang bekerja untuk menangani pandemi dapat berjalan lebih efektif dan efisien.

2. Jika Pemerintah Pusat sudah menetapkan BNPB sebagai institusi yang menjadi garda depan penanggulangan bencana COVID-19, perlu penguatan kelembagaan BNPB agar dapat menjadi juru bicara untuk menjaga kualitas informasi publik, koordinator dalam menjembatani komunikasi yang tidak berjalan efektif antara pusat dan daerah, serta pelaksana dan penanggung jawab utama seluruh sumber daya publik yang dimanfaatkan dalam penanganan pandemi.

3. Pemerintah Pusat segera mendesain kebijakan pengadaan barang dan jasa penanganan pandemi serta mekanisme distribusi sarana medis yang esensial bagi pekerja medis di lapangan dengan tepat, cepat dan kredibel untuk menutup berbagai celah dan potensi penyimpangan dalam pengadaan dan distribusi sarana medis. LKPP dapat menjadi sumber rujukan utama dalam perumusan pelaksanaan pengadaan yang transparan dan akuntabel.

4. Pemerintah segera membuat kebijakan dengan meminta pertimbangan lembaga lain seperti KPK, BPK, BPKP, dan LKPP terkait seleksi pembelian barang sesuai dengan skala prioritas untuk menanggulangi potensi barang tidak digunakan.

5. Pemerintah segera memaksimalkan proses uji sampel spesimen di seluruh laboratorium sesuai kuota masing- masing dengan mengeluarkan kebijakan setingkat Peraturan Menteri Kesehatan guna mempercepat proses identifikasi sebaran COVID-19.

6. Pemerintah segera membuat Standar Operasional Prosedur untuk memberikan informasi yang berlandaskan analisis dari ahli kesehatan agar setiap informasi yang disampaikan kepada publik dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

DISUSUN OLEH:

MISBAH HASAN (SEKNAS FITRA), ADNAN TOPAN HUSODO (ICW), ROY SALAM (IBC), DAN DANANG WIDOYOKO (TII)

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.