Skip to main content

Oleh : Yenny Sucipto

Direktur Resource Centre SEKNAS FITRA

Sejak terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh tahun 2005, pemerintah terlihat tak lagi main-main dengan ancaman bencana alam di Indonesia.

Bahkan berkali-kali pemerintah mendeklarasikan secara terbuka untuk secara serius dan sungguh-sungguh menangani persoalan bencana alam itu. Oleh karena itu, pemerintah kemudian menyusun suatu manajemen bencana yang tidak lagi parsial dan reaktif melalui suatu kebijakan regulasi yang khusus mengatur hal itu.

Perlu waktu dua tahun (dari tahun 2005 sampai tahun 2007) serta melalui serangkaian perdebatan panjang antara pemerintah dan DPR sampai dilahirkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Perdebatan yang paling panjang adalah menyoal perlu tidaknya dibentuk suatu badan khusus yang menangani bencana. DPR saat itu beralasan badan tersebut sangat diperlukan karena bencana tak bisa ditangani secara temporer melalui lembaga-lembaga koordinatif, butuh lembaga khusus yang bersifat permanen yang tugasnya hanya memikirkan penanganan bencana setiap hari.

Namun, pemerintah keberatan karena pembentukan badan baru akan semakin membebani anggaran belanja negara. Namun, DPR berkilah justru pembentukan badan khusus tersebut akan mengurangi beban anggaran negara karena akan diikuti dengan peleburan badan dan lembaga yang selama ini menangani bencana ke dalam satu atap.

Perdebatan itu akhirnya selesai dengan tetap dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tetapi sayangnya tanpa disertai ide peleburan (penyatuan ke dalam satu atap) sebagaimana gagasan yang telah muncul sebelumnya.

Namun, baik DPR maupun pemerintah sepertinya telah melupakan satu hal yang justru lebih urgen daripada perdebatan tentang badan penanggulangan bencana, yaitu masalah pembiayaan selama penanganan bencana, mulai tahap tanggap darurat, rehabilitasi, sampai rekonstruksi.

Hal itu karena belajar dari pengalaman bencana Aceh sampai Yogyakarta tahun 2005, pemerintah terlihat masih belum menyadari akan pentingnya prioritas anggaran bagi penanganan bencana di Indonesia.

Dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2010, pemerintah mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana sebesar Rp 3,79 triliun ditambah dengan Rp 2,64 triliun yang tersebar di delapan kementerian atau badan sehingga totalnya sebesar Rp 6,43 triliun. Alokasi dana penanggulangan bencana alam dalam APBN masih dinilai tidak cukup mengingat luasnya tingkat kerusakan dan dampak lain yang ditimbulkan akibat bencana alam akhir-akhir ini.

Minimnya alokasi dana untuk penanggulangan bencana di APBN itu menunjukkan bahwa pemerintah memang masih memandang remeh ancaman bencana di Indonesia. Angka Rp 6,43 triliun terlihat lebih sebagai bentuk ”formalitas” pemenuhan tuntutan ”isu bencana” yang memang sedang hangat di masyarakat daripada sebagai bentuk kesadaran pemerintah akan bahaya bencana.

Fragmentasi Anggaran

Keberadaan BNPB bukannya semakin mempermudah penanggulangan bencana, tetapi semakin memperumit. Sebab, selain semakin sulitnya koordinasi antarlembaga, hal itu membuat anggaran bencana semakin terfragmentasi (terpecah-pecah) ke banyak badan dan lembaga.

Fragmentasi anggaran jelas akan membuat anggaran bencana menjadi semakin tak efisien. Sebab, semakin banyak badan dan lembaga akan semakin banyak anggaran yang terbuang percuma karena belanja untuk memenuhi kebutuhan aparatur (gaji, tunjangan dan honorarium pegawai, pemenuhan kebutuhan kantor, kendaraan dinas) akan semakin membengkak.

Dampaknya seperti yang terjadi saat ini. Dari total anggaran yang terdapat di delapan badan dan lembaga yang terlibat dalam penanganan bencana, total anggaran yang benar-benar digunakan untuk program-program yang langsung berkaitan dengan penanggulangan bencana hanya sebesar Rp 2,64 triliun.

Jika saja badan dan lembaga-lembaga tersebut bisa disatuatapkan, tentunya anggaran yang muncul jauh lebih besar dari hanya Rp 2,64 triliun karena tidak perlu lagi ada double budget bagi pembiayaan kebutuhan aparatur sebagaimana tersebut di atas.

Jika diteliti lebih lanjut, untuk pengendalian bencana berupa pengembangan sistem peringatan dini tsunami, cuaca, dan iklim hanya dianggarkan Rp 137,85 miliar (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), Pengembangan Sistem Manajemen dan Penetapan Zona Rawan Bencana, baik darat maupun laut, sebesar Rp 42,27 miliar (BNPB dan Bakosurtanal).

Adapun untuk pelaksanaan tanggap darurat sebesar Rp 666,12 miliar (Mabes TNI, Kementerian PU, Kementerian Sosial, BNPB, dan Basarnas). Untuk Pengendalian Lahar Gunung Berapi Rp 6,89 miliar serta pengendalian bencana banjir Rp 1,5 triliun, itu pun hanya digunakan untuk membangun sarana dan prasarana penanggulangan banjir yang dikerjakan di bawah Departemen PU.

Kemauan Politik

Kesadaran pemerintah akan bahaya bencana seharusnya diikuti dengan langkah-langkah konkret dalam pemenuhan anggaran bencana. Kita harus berkaca pada bencana tsunami Aceh, di mana pembiayaan untuk tanggap darurat saja menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,25 triliun.

Mengingat banyak wilayah di Indonesia yang berpotensi bencana, pemerintah setidaknya mengalokasikan anggaran khusus untuk penanggulangan bencana lebih kurang 1 persen dari total APBN (sekitar Rp 12 triliun untuk tahun 2010).

Contohnya dapat kita lihat pada bencana letusan Gunung Merapi saat ini, di mana tercatat ada 289.613 pengungsi yang setiap harinya membutuhkan Rp 4,34 miliar untuk tiga kali makan dalam sehari. Hal itu belum termasuk kebutuhan tanggap darurat yang lain.

Di sini pentingnya kemauan politik (political will) dan keseriusan pemerintah dalam pengalokasian anggaran bencana yang ideal dalam setiap tahun anggaran.

Hal ini agar pemerintah tidak mengulangi kesalahan lagi seperti dalam penanganan bencana tsunami Aceh, yaitu karena alasan tidak ada alokasi dalam APBN, pemerintah lalu berutang ke luar negeri dengan total mencapai 326 juta dollar AS.

Melihat quo vadis arah kebijakan pendanaan pemerintah dalam penanganan bencana, sudah saatnya bagi kita memikirkan ulang ”manajemen dana bencana” agar tidak menimbulkan bencana baru pada masa depan.

* Yenny Sucipto Direktur Research Centre Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.