JAKARTA–Pembahasan RAPBD 2016 DKI Jakarta terancam deadlock dan berpotensi kejadian seperti anggaran tahun ini, yang menggunakan peraturan gubernur (pergub).
Pasalnya, hingga saat ini belum ada kejelasan lanjutan pembahasan Kebijakan Umum Anggaran Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUAPPAS) semenjak diserahkan sejak Agustus 2015.
Padahal, sesuai jadwal Permendagri No.52/2015, RAPBD 2016 seharusnya sudah mendapatkan persetujuan DPRD DKI Jakarta untuk menjadi perda paling lambat 30 November 2015.
Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI Jakarta bersama Tim Penyusun Anggaran Daerah (TPAD) Pemprov DKI Jakarta telah berkali- kali melakukan pembahasan, namun hingga saat ini belum mencapai titik kesepahaman tanpa alasan yang jelas.
Peneliti Kopel Indonesia, Syamsudin Alimsyah mengatakan bahwa sesuai Permendagri No.52/2015 kesepakatan rancangan KUAPPAS harus dilakukan akhir Juli 2015, penyampaian raperda APBD kepada DPRD pada minggu pertama Oktober, dan pengambilan persetujuan bersama DPRD dan Kepala Daerah menjadi perda adalah paling lambat 1 bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan.
Hasil pemantaun Kopel, jadwal Permendagri tersebut tidak dijalankan dengan baik, bahkan DPRD membuat jadwal sendiri yang selama ini pun tidak dipatuhi.
“Jadwal DPRD untuk pengambilan persetujuan bersama dengan kepala daerah untuk KUAPPAS menjadi Raperda APBD saja baru akan dilaksanakan pada 30 November 2015. Padahal sesuai Permendagri itu merupakan jadwal persetujuan RAPBD untuk menjadi Perda APBD 2016” ujarnya.
Jadi, lanjutnya, bisa dibayangkan, waktu yang dimiliki komisi-komisi untuk melakukan pembahasan Raperda APBD 2016, pasca penandatangan memorandum of understanding (MoU) KUAPPAS 2016 itu menjadi sangat singkat.
Menurutnya hal ini dikuatirkan menyebabkan anggaran yang disusun tidak akan berkualitas mengingat minimnya waktu yang tersisa oleh komisi dalam membahas Raperda APBD untuk menjadi Perda APBD 2016, dengan melihat banyaknya satuan kerja perangkat daerah di DKI Jakarta dengan nilai anggaran yang sangat besar.
Menurut Koalisi Peduli Anggaran Jakarta yang terdiri dari ICW, Seknas Fitra, Indonesia Budget Center, dan Kopel Indonesia terdapat 5 hal yang menguatkan ancaman deadlock tersebut, yakni pembahasan yang selalu molor, tidak adanya titik temu DPRD dan Gubernur DKI Jakarta, tirani di DPRD karena dominasi Banggar, kuatnya ego masing-masing pihak sehingga komunikasi politik buruk, dan ketidakjelasan pengawasan Kemendagri.
“Penyerahan KUAPPAS sebenarnya sudah dilakukan pada Agustus 2015 lalu dan telah dilakukan pembahasan selama kurang lebih 3 bulan. Namun hingga jadwal pembahasan berikutnya belum, ada kejelasan,” ujarnya.
Menurutnya tidak adanya titik temu antara Gubernur dengan DPRD DKI, sudah tampak di akhir pembahasan KUAPPAS 2016. Sudah beberapa kali jadwal penandatanganan kesepahaman bersama dilakukan, namun selalu berakhir gagal akibat adanya perubahan-perubahan nominal diluar dari mekanisme pembahasan di DPRD.
Sementara itu, peneliti Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam menyatakan bahwa ancaman deadlock juga dapat dilihat dari adanya tirani di internal DPRD yang lebih didominasi Banggar.
“Komisi sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD yang idealnya berfungsi untuk membahas secara detail per urusan dalam APBD justru tidak dilibatkan dalam proses. Hal ini kemungkinan menyebabkan resistensi diantara anggota DPRD sendiri, yang berimbas pada pembahasan DPRD,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, tidak berjalannya dengan baik komunikasi politik antara Gubernur DKI dan DPRD karena ego masing-masing juga meenguatkan ancaman terjadinya deadlock.
Sementara itu menurut peneliti Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan menilai bahwa ancaman deadlock ini juga karena ketidakjelasan pengawasan Kemendagri.
“Kejadian serupa pernah terjadi tahun lalu yang cukup memberikan preseden buruk yang kemungkinan akan terjadi lagi. Buntutnya penandatanganan KUAPPAS sekarang ini seharusnya menjadi perhatian Mendagri untuk memberikan supervisi kedua belah pihak, namun faktanya tidak dilakukan,” tuturnya.
Keterlambataan penetapan APBD akan menambah citra buruk kinerja keuangan pemerintah DKI Jakarta yang juga tentu akan berimplikasi pada nasib perekonomian masyarakat Jakarta lantaran rendahnya serapan APBD.
Sesuai data APBD 2013 menunjukkan realisasi pendapatan baru 95,2% belanja daerah 80% dan pada 2014 pendapatan hanya 67% dan belanja hanya 55%.
Oleh karena itu, Koalisi Peduli Anggaran Jakarta mendorong perbaikan mekanisme pembahasan internal DPRD DKI Jakarta yang lebih terbuka dan demokratis dengan melibatkan komisi-komisi, pasalnya selama ini waktu pembahasaan KUAPPAS habis didominasi oleh Badan Anggaran.
“Besok, Senin, 30 November 2015, mereka harus memanfaatkan waktu yang tersisa beberapa jam itu untuk melakukan pembahasan yang sebaik-baiknya. Mereka harus lembur lah untuk selesaikan itu. Pasca pengesahan itu juga harus ada uji publik, ” tutur peneliti Seknas Fittra, Apung Widadi.
Selain itu, lanjutnya, koalisi juga mendorong untuk mempublikasikan secara lengkap hasil penyisiran KUAPPAS 2016 yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta sehingga bisa dijadikan alasan yang rasional terhadap keterlambatan pengesahan KUAPPAS 2016 dan berpotensi terhadap keterlambatan pengesahan APBD 2016.
“Kami juga mendorong Kemendagri dan Kemenkeu untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah terkait sanksi yang lebih tegas, khususnya bagi pemprov dan DPRD DKI Jakarta yang selalu terlambat menetapkan APBD setiap tahun anggaran karena berimplikasi terhadap hak masyarakat Jakarta atas anggaran,” ujarnya.
Jakarta,30 November 2015
Sumber : http://jakarta.bisnis.com/