Jakarta, 29 April 2020
KPK mengimbau kementerian/lembaga dan pemda memublikasikan data penerima bansos agar masyarakat dapat mengawasi. Namun, Mensos Juliari P Batubara menilai hal tersebut sulit dilakukan mengingat banyaknya data.
Pemberian bantuan sosial bagi masyarakat miskin selama pandemi Covid-19 masih menyisakan persoalan, seperti tidak tepat sasaran dan bisa berpeluang terjadi kasus tindak pidana korupsi akibat dari ketidakakuratan data. Sebagai upaya untuk meminimalisasi ketidakakuratan data, setiap instansi yang terkait didorong untuk transparan dalam pendataannya.
Persoalan ketidakakuratan data tersebut telah terjadi di sejumlah daerah. Seperti di Bekasi, Jawa Barat, dari 500 keluarga yang diusulkan pihak RW, baru 195 keluarga yang mendapatkan bantuan sosial (bansos) dari Pemerintah Kota Bekasi. Begitu juga sebaliknya, warga yang mampu justru memperoleh bantuan seperti yang terjadi di DKI Jakarta (Kompas, 23/4/2020).
Hasil temuan Komisi Pemberantasan Korupsi pada dua minggu lalu di Padang, Sumatera Barat, menunjukkan adanya kesemrawutan dalam pendataan masyarakat miskin yang berhak memperoleh bansos.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, Senin (27/4/2020) malam, mengungkapkan, pada saat realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19, Pemerintah Kota Padang merencanakan untuk memberikan bansos pada 51 persen penduduknya. ”Jumlah tersebut sangat besar, sedangkan anggaran mereka tidak mencukupi,” kata Pahala saat dihubungi di Jakarta.
Setelah dilihat pada Data Kesejahteraan Sosial Terpadu (DTKS), ternyata hanya ada 21 persen penduduk Kota Padang yang masuk dalam kategori miskin. Meskipun demikian, data di DTKS tersebut harus diperbarui sesuai dengan kondisi di lapangan.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding menambahkan, untuk meminimalisasi ketidakakuratan data, sebaiknya setiap instansi mau membuka datanya ke publik.
Untuk meminimalisasi ketidakakuratan data, sebaiknya setiap instansi mau membuka datanya ke publik.
Selain sebagai bentuk transparansi, publik juga dapat memberikan masukan siapa saja yang berhak menerima dan yang tidak. ”Di era teknologi digital, seharusnya mereka dapat memublikasikan data secara daring sampai rinci,” kata Ipi.
KPK dalam surat edarannya Nomor 11 Tahun 2020 mendorong pelibatan dan peningkatan peran serta masyarakat untuk mengawasi dana bansos. KPK juga mengimbau kementerian/lembaga dan pemda untuk menyediakan sarana layanan pengaduan masyarakat yang mudah, murah, dan dapat ditindaklanjuti segera.
KPK menerbitkan pada 21 April 2020 tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data non-DTKS dalam pemberian Bantuan Sosial kepada masyarakat dalam upaya mengatasi dampak pandemik global Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Melalui SE yang ditujukan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 baik di tingkat nasional maupun daerah, dan pimpinan kementerian/lembaga/pemerintah daerah tersebut, KPK merekomendasikan lima hal agar pendataan dan penyaluran bansos tepat sasaran.
Sulit publikasikan
Menteri Sosial Juliari P Batubara mengungkapkan, tidak mungkin memublikasikan data DTKS ke publik karena jumlahnya banyak. Hingga saat ini, ada 97 juta orang atau sekitar 27 juta keluarga yang terdata di DTKS.
Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbakhul Hasan mengatakan, persoalan data merupakan masalah klasik yang masih terjadi hingga sekarang. Permasalahan tersebut terjadi karena pencatatannya masih dilakukan secara manual.
”Seharusnya sudah berbasis teknologi informasi seperti terintegrasi dari pusat hingga daerah dengan e-KTP misalnya. Sekarang untuk verifikasi data harus berjenjang dari pusat hingga ke desa, bahkan tingkat RT. Begitu dikembalikan dari desa ke pusat, prosesnya memakan waktu dan data sudah berubah,” kata Misbakhul.
Ia menambahkan, banyak hasil verifikasi data yang dilakukan desa tidak mengubah data yang sudah ada di pemerintah pusat. Sementara yang disalahkan selalu pemerintah paling bawah, yakni ketua RT, RW, dan kepala desa.
Sumber: https://kompas.id/baca/polhuk/2020/04/28/keterbukaan-dibutuhkan-untuk-meningkatkan-akurasi-data/