Skip to main content

Oleh: Badiul Hadi

Dunia dalam bayang-bayang resesi. Sebagian besar Negara mulai kalang kabut dan kewalahan menangani pandemi Covid-19, yang berdampak pada stabilitas ekonomi dan keamanan. Situasi ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia, khususnya pemerintah dalam mengelola sumber daya di tengah ancaman bencana yang bisa datang kapan saja.

Saat ini keselamatan manusia menjadi barang mahal. Para pengambil kebijakan dihadapkan pada pilihan sulit: nyawa manusia atau stabilitas ekonomi Negara. Sementara fakta empiris kematian akibat pandemi kian tak terperi. Dalam kondisi terpuruk seperti saat ini, menyelamatkan nyawa manusia jauh lebih penting dan harus menjadi pilihan utama.

Pandemi juga mengoyak stabilitas ekonomi, pertumbuhan ekonomi ter koreksi cukup tajam, bahkan menorehkan catatan sejarah dimana pertumbuhan ekonomi minus 5 persen. Strategi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) jadi pilihan. Konsekuensinya Negara harus mengerahkan segenap sumber daya utamanya anggaran. Namun, strategi itu sampai saat ini masih jauh dari harapan.

Alih-alih menangani pandemi dengan menjaga stabilitas ekonomi. Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 justru membunyikan alarm tentang peningkatan jumlah kasus Covid-19. Angka kasus baru dan kematian justru mengalami peningkatan. Apa sebenarnya yang salah dari kebijakan pemerintah? pertanyaan ini tentu sangat mudah di ucapkan, tetapi sulit mendapatkan jawaban.

Pemerintah harus meningkatkan koordinasi guna merumuskan kebijakan strategi penanganan dampak pandemi. Di sisi lain, solidaritas sosial masyarakat harus terus ditingkatkan. Melawan pandemi tidak bisa hanya ditaruh pada satu pundak pemerintah atau masyarakat, tetapi harus ditaruh di atas pundak kita bersama.

Fakta Data

Kondisi perekonomian dunia yang lesu karena merebak nya virus Covid-19 dari provinsi Wuhan, Tiongkok disinyalir menjadi faktor penyebab simultan terhadap perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Lesunya perekonomian berkontribusi kepada angka kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, terdiri dari kemiskinan di daerah perkotaan sebesar 11,16 juta orang atau 7,38 persen dan di daerah perdesaan sebesar 15,26 juta orang atau 12,82 persen . angka kemiskinan perkotaan naik 1,3 juta orang dari 9,86 juta orang pada September 2019 menjadi 11,16 juta orang pada Maret 2020. Sedangkan angka kemiskinan di perdesaan mengalami kenaikan 333,9 ribu orang dari 14,93 juta orang pada September 2019 menjadi 15,26 juta orang pada Maret 2020.

Garis kemiskinan Indonesia sebesar Rp 454,652 per kapita per bulan dengan rata-rata rumah tangga miskin memiliki 4,66 orang anggota rumah tangga, artinya rata-rata garis kemiskinan di Indonesia sebesar Rp2.118.678,-/rumah tangga miskin/bulan.

Pelambanan kenaikan angka kemiskinan di perdesaan tidak terlepas dari sektor pekerjaan mayoritas penduduknya yaitu pertanian. Dimana pertanian salah satu sektor yang tidak terdampak pandemi secara signifikan dibanding industri dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Sedangkan masyarakat perkotaan rata-rata bekerja di sektor industri dan UMKM yang mengalami pukulan pandemi berdampak pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Tantangan

Walaupun pemerintah sudah memberikan stimulus kepada masyarakat yang ter dampak pandemi, jika melihat fakta data kemiskinan tidak menutup kemungkinan sampai akhir tahun 2020 angka kemiskinan akan naik lebih tinggi di kisaran 0,5-2 persen. Terlebih dampak pandemi akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi lebih tajam lagi.

Strategi pemerintah dalam menjaga stabilitas perekonomian dengan memberi stimulus kepada masyarakat, ternyata belum sepenuhnya efektif, beberapa hal yang perlu mendapat perhatian adalah:

Pertama, berkaitan dengan program jaring pengaman sosial melalui skema bantuan, baik bantuan berupa bahan makanan, subsidi, maupun bantuan langsung tunai. Bukan rahasia lagi bahwa problem mendasar dari bantuan ini adalah akurasi data, sehingga bantuan tidak tepat sasaran. Pemerintah perlu melakukan evaluasi pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 Tentang Satu Data Indonesia.

Kedua, pengambilan keputusan berdasarkan bukti (evidence based policy) menjadi keniscayaan terutama dalam menentukan prioritas dan target intervensi. Penelitian yang komprehensif dapat memproduksi kebijakan yang berkualitas dan aplikatif. Membumikan kebijakan berbasis penelitian masih menjadi tantangan di Indonesia.

Pengambilan kebijakan berbasis penelitian membuka kran partisipasi dan kolaborasi peneliti untuk berkontribusi dalam pengambilan kebijakan. Keynes menyatakan Tak ada yang lebih dibenci oleh suatu pemerintahan selain pengetahuan yang lengkap dan rinci, karena hal tersebut membuat proses untuk sampai ke keputusan-keputusan menjadi jauh lebih kompleks dan sulit.

Ketiga, memperkuat peran Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan terutama dalam mengoordinasikan lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan termasuk ketersediaan data terpadu dan hasil-hasil penelitian penanggulangan kemiskinan. Fungsi ini selama ini belum berjalan secara baik, dampaknya program penanggulangan kemiskinan tidak berjalan efektif.

Pandemi Covid-19 akan menjadi tantangan serius bagi upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Jika salah mengambil kebijakan, bukan penurunan angka kemiskinan tetapi kenaikan angka kemiskinan. Sinergi dan kolaborasi harus terus dilakukan dan yang tidak kalah penting perbaikan data kemiskinan agar tercipta data yang akurat dan kredibel.