Oleh: Misbah Hasan dan Gulfino Guevarrato
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyarankan pemerintah harus cermat mengelola tren peningkatan proporsi pembayaran bunga utang terhadap belanja negara agar tidak mengorbankan alokasi anggaran belanja bersifat produktif dan afirmatif seperti belanja modal dan belanja bantuan sosial.
Sekretaris Jenderal FITRA, Misbah Hasan menyatakan pemerintah melalui utang ingin mendorong target pembangunan infrastruktur untuk mendorong peningkatan daya saing ekonomi. Akan tetapi target infrastruktur yang besar belum dibarengi dengan kemampuan negara dalam meningkatkan pendapatan, membuat pemerintah harus melakukan utang untuk menutup defisit anggaran.
Hingga akhir tahun 2018, total utang pemerintah pusat mencapai Rp 4.418,30 triliun atau tumbuh 10,59 persen dibandingkan tahun 2017 (Rp 3.995,25 triliun). Utang pemerintah yang bersumber dari pinjaman mencapai Rp 805,62 triliun pada tahun 2018 atau mengalami kenaikan 4,48 persen dibandingkan tahun 2017 (Rp740,54 triliun). Sementara itu, utang pemerintah yang bersumber dari SBN (Surat Berharga Negara) mencapai Rp 3.612,90 triliun pada tahun 2018 atau naik sebesar 17,75 persen dibandingkan tahun 2017 (Rp 3.248,93 triliun).
“Pemerintah harus cermat mengelola tren peningkatan proporsi pembayaran bunga utang terhadap belanja agar tidak mengorbankan alokasi anggaran belanja bersifat produktif dan afirmatif seperti belanja modal dan belanja bantuan sosial” kata Misbah Hasan dalam seminar tata kelola utang untuk pembangunan nasional yang digelar FITRA di Jakarta, Selasa (26/3) hari ini.
Seminar tersebut juga dihadiri oleh Pengamat Ekonomi, Faisal Basri, dan Indra Sakti Lubis, mewakili Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi.
Meski kondisi utang pemerintah masih masuk dalam kategori yang prudent. Namun Misbah berpendapat bahwa pemerintah tetap perlu mencermati dan mengantisipasi potensi risiko yang mungkin muncul.
“Memang indikator seperti rasio utang pemerintah terhadap PDB masih di level 30 persen, jauh dari batas aman 60 persen. Namun perlu cermat mengelola utang yang berdenominasi valas, terutama Dollar Amerika Serikat, karena adanya risiko gejolak nilai tukar Rupiah yang dapat mengakibatkan beban tambahan dalam pembayaran bunga maupun pokok utang,” ulasnya.
Kantor Staf Presiden yang diwakili Indra Sakti Lubis menyambut baik temuan FITRA. Menurut Indra, studi tentang tata kelola utang penting agar publik mengetahui lebih jauh tentang posisi utang di Indonesia. “Dalam rentang waktu 20 tahun terakhir komposisi utang sudah berubah sebelumnya didominasi oleh bilateral dan multilateral, hari ini sudah didominasi oleh SBN. Selain itu, data yang disampaikan FITRA menunjukkan bahwa (kita) sudah spending untuk infrastruktur. Jika sebelumnya pembangunan Indonesia concern di Jawa sekarang sudah bergeser ke luar pulau Jawa,” kata Indra.
Pengamat Ekonomi, Faisal Basri, mengungkapkan bahwa utang pemerintah terus meningkat sebesar 71 persen pada tahun 2014-2018. Namun alih-alih untuk menutup defisit dan meningkatkan pembangunan, dalam kurun waktu yang sama, belanja pemerintah untuk membayar bunga utang justru meningkat 94 persen. Beban bunga itu membuat pemerintah tidak leluasa untuk meningkatkan belanja lain yang penting bagi masyarakat. Menurutnya, belanja pegawai dan masih ditemukan belanja barang yang boros, tidak sebanding dengan belanja modal yang digunakan untuk infrastruktur berupa fisik yang dalam setahun hanya mencapai 26 persen dari belanja APBN. Artinya porsinya masih sangat kecil.
Misbah Hasan menambahkan bahwa pembiayaan utang juga perlu memperhatikan perkembangan kinerja perpajakan. Sebab, dengan performa penerimaan pajak yang baik maka pemerintah dapat mengelola beban pembayaran bunga dan pokok utang.