Skip to main content

Oleh: Misbah Hasan dan Gurnadi Ridwan

Bertepatan dengan peringatan ‘Hari Bumi se Dunia’ (Earth Day) dengan tema ‘Pulihkan Bumi Kita (Restore Our Earth)’, Seknas FITRA mendesak kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk turut memulihkan bumi Indonesia dari persoalan sampah dengan rekomendasi sebagai berikut: 1. Mendorong lahirnya Perda Persampahan dan Perda Retribusi Persampahan di seluruh daerah; 2. Menaikkan anggaran program tata kelola sampah minimal 5 persen di APBD; 3. Mendorong reformulasi dana transfer ke daerah (TKDD) berbasis kinerja lingkungan; 4. Mengembangkan inovasi dan teknologi infrastruktur pengelolaan sampah yang mutrakhir.

Berdasarkan studi FITRA pada akhir 2020[1] –kebijakan dan komitmen anggaran untuk tatakola sampah secara nasional masih memprihatinkan dan jauh dari harapan. Hal ini bisa dilihat dari tiga temuan studi. Pertama, rata-rata alokasi anggaran tata kelola sampah di 50 daerah studi hanya mencapai Rp 16,6 miliar atau 0,7% dari total APBD di 50 daerah tersebut. Hanya Kota Denpasar, Kota Pekanbaru, Kota Banjarmasin, Kota Tangerang dan Kota Ambon yang mengalokasikan anggaran program pengelolaan sampah lebih dari dua persen dari total Belanja Daerah (Lihat Grafik 1). Minimnya alokasi anggaran tata kelola persampahan menunjukan sektor ini belum menjadi prioritas utama pemerintah daerah. Padahal dampak dari buruknya tata kelola sampah bisa berakibat pada menurunnya derajat kesehatan masyarakat dan bencana ekologi.

Grafik 1. Persentase Belanja Program Pengelolaan Sampah di 50 Kab/Kota

Sumber: DJPK Kementerian Keuangan 2020, diolah oleh FITRA

Kedua, minimnya regulasi terkait tata kelola sampah di level daerah. Dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia –hanya 45% yang sudah memiliki Perda Persampahan dan Perda Retribusi Persampahan.[2] Kab/Kota di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan daerah dengan regulasi tata kelola sampah terbanyak. Minimnya regulasi di level daerah menunjukkan bahwa komitmen untuk menyelesaikan persoalan sampah di daerah masih rendah. Padahal, dalam regulasi tersebut Pemda bisa mengatur retribusi sektor persampahan yang dapat meningkatkan pendapatan darerah dan kinerja di sektor tersebut. (lihat grafik 2)

Grafik 2. Perda Persampahan dan Perda Retribusi Persampahan

Sumber: Kementerian PUPR 2020, diolah oleh FITRA

Ketiga, minimnya infrastruktur modern pendukung pengelola persampahan. Berdasarkan grafik 3, ketersediaan infrastruktur di Indonesia diangap masih kurang memadai karena jika kita bandingkan dengan jumlah sampah yang dihasilkan dengan jumlah infrastruktur yang ada masih jauh dari ideal. Ketersediaan infrastruktur persampahan ini harus dibarengi dengan inovasi dan teknologi mutakhir agar bisa mengurangi jumlah timbunan sampah, jika tidak maka seperti yang terjadi di TPST Bantargebang dimana pada tahun 2021 akan terjadi overload. Meningkatkan infrastruktur sampah di Indonesia tentu harus didukung dengan kebijakan anggaran, sehingga kinerja persampahan bisa lebih efektif.

Grafik 3. Infrastruktur Pengelolaan Persampahan

Sumber: Kementerian PUPR 2020, diolah oleh FITRA

Jika merujuk pada rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2019, jumlah timbunan sampah secara nasional diperkirakan sebanyak 175.000 ton per hari atau dalam setahun bisa mencapai 64 juta ton (jika diasumsikan setiap orang per hari menghasilkan sampah 0,7 kg). Selain itu, permasalahan sampah di laut (marine litter) menjadi isu penting dibanyak negara karena pencemaran marine litter terus meningkat setiap tahunnya. Jika permasalahan sampah tidak dikelola dan ditangani serius, maka akan berakibat pada kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan sampah tidak bisa dipandang sebelah mata, diperlukan kebijakan strategis baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Oleh karena itu FITRA merekomendasikan:

  1. Penguatan regulasi/kebijakan pengelolaan sampah di Kab/kota. Karena berdasarkan data yang ada, dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia, hanya 45% yang sudah memiliki Perda Persampahan dan Perda Retribusi Persampahan, hal ini menunjukan bahwa belum semua pemerintah daerah berkomitmen dalam mengatasi masalah sampah.
  2. Menikatkan inovasi dalam menarik retribusi Pelayanan Persampahan dan Kebersihan agar alokasi dari retribusi tersebut bisa maksimal digunakan untuk kebutuhan sektoral.
  3. Meningkatkan anggaran sektor persampahan dan memantau evektivitasnya, seperti contoh di Kota Medan dan Kab Sikka alokasi anggaran belanja langsungnya lebih banyak digunakan untuk alokasi belanja pegawai langsung, hal ini mengurangi porsi belanja untuk oprasional sampah harian dan infrastruktur jangka panjang. 
  4. Mendorong reformulasi dana transfer ke daerah (TKDD) yang berbasis pada kinerja lingkungan bukan hanya sekedar kriteria umum. Dana transfer yang bisa direformulasi adalah salah satunya adalah Dana Insentif Daerah (DID). Dana Bantuan Keuangan dari Provinsi kepada Kab/Kota juga potensial untuk difokuskan untuk mendorong daerah melakukan perbaikan lingkungan, khususnya kinerja pengelolaan sampah. 
  5. Pengelolaan bantuan CSR atau bantuan dari pihak swasta lainnya yang transparan dan akuntabel, hal ini bertujuan agar bantuan CSR atau bantuan dari pihak swasta bisa maksimal karena bantuan tersebut merupakan sumber pendanaan potensial.

[1] Studi dilakukan atas kerjasama dengan Systemiq, Lembaga yang konsen untuk isu-isu persampahan di Indonesia.

[2] http://ciptakarya.-pu.go.id, diakses pada Desember 2020