Skip to main content

Oleh: Ervyn Kaffah dan Wasanti

Pada 8 Agustus 2019 kemarin, bertepatan dengan kongres PDI perjuangan ke V yang berlangsung di Bali, Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) menjemput anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan *Nyoman Damantra* dimana sebelumnya Asisten Nyoman lebih dulu ditangkap dalam oprasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) terkait dugaan suap impor bawang putih dengan barang bukti berupa tanda transfer sebanyak Rp 2 miliar dan uang sejumlah USD 50.

Menjadi menarik apabila melihat posisi Nyoman di komisi VI DPR RI yang menangani soal Perdagangan, Perindustrian, Investasi, Koperasi, UKM & BUMN, Standarisasi Nasional. Penangkapan yang terjadi di komisi VI DPR bukan kali pertama, sebelumnya bulan juni lalu KPK menangkap anggota DPR RI Komisi VI Bowo Sidik Pangarso dengan dugaan suap pengangkutan pupuk dan penerimaan gratifikasi, Bowo diduga menerima suap dan gratifikasi sekitar Rp 8 miliar.

Komisi VI yang menangani soal perdagangan memang memiliki potensi kerawanan cukup tinggi, karena sektor pangan ini banyak melibatkan lintas _stakeholder_ seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Bolog yang mana di setiap kementerian memiliki ego sektoral yang cukup tinggi. Hal ini berpengaruh kepada besaran pangan yang akan diimport, data yang dikeluarkan antara Kementerian Pertanian dengan Kementerian Perdagangan seringkali tidak sinkron.

Persoalan data antara kebutuhan impor pernah ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), berdasarkan data yang ada konsumsi beras mencapai 45,2 juta ton dengan produksi 44,1 juta ton, berarti ada selisih sebesar 1,1 juta ton, namun pemerintah menerbitkan alokasi impor 1,5 juta ton atau bertambah 0,4 ton. Beberapa catatan Fitra terkait berulangnya korupsi di sektor pangan disebabkan karena:

  1. Tidak akuratnya data yang menjadi celah korupsi ditubuh eksekutif dan legislatif dalam menentukan quota.
  2. Belum terbentuknya Lembaga Pangan Nasional sebagaimana amanat UU dan
  3. Penegakan hukum dalam pemberantasan mafia impor pangan yang belum terintegrasi dalam sistem peradilan pidana terpadu (_Criminal justice system_).

Ideologi pembangunan Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla adalah Pancasila dan Trisakti. Trisakti diwujudkan dalam bentuk kedaulatan dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan kepribadian dalam kebudayaan. Untuk mewujudkan perekonomian yang mandiri dan berdikari, sektor-sektor strategis ekonomi domestik perlu lebih digiatkan diantaranya dengan membangun kedaulatan pangan, sebagaimana yang tercantum dalam nawacita Pemerintahaan Jokowi-JK. Sehingga untuk mencegang korupsi di sektor pangan agar tidak terulang perlu adanya perbaikan sistem seperti menindak tegas pejabat negara tidak melaporkan LHKPN dan melakukan penyelidikan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak wajar, seperti diketahui Nyoman dalam laporan LHKPN 2016 memiliki harta kekayaan sebesar 25 Miliar yang bersumber dari harta bergerak dan tidak bergerak. Selain itu, perlu juga mendorong ketersediaan aplikasi agar setiap pengadaan quota yang dilakukan bisa lebih transparan dan efektif. Dan terakhir lagi-lagi langkah represif yang tegas sehingga menimbulkan efek jerah.