Skip to main content

Oleh: Gurnadi Ridwan

Pada 27 Maret 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengusut dugaan korupsi pembayaran tunjangan kinerja (Tukin) di Kementerian ESDM, terutama pada Ditjen Mineral dan Batubara (Minerba). Diduga modus korupsi yang digunakan adalah dengan markup anggaran atau memanipulasi nilai Tukin yang diterima oleh para pegawai di Kementerian ESDM. Peluang korupsi ini tercipta karena terdapat sisa anggaran Tukin yang cukup besar mengendap pada masa pandemi Covid-19. Kemudian ada upaya oknum Kemen ESDM pengemplangan anggaran tersebut, yang sebenarnya dapat dikembalikan ke kas negara.

Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Menteri ESDM Nomor 44 tahun 2018, Tukin sendiri merupakan tunjangan di luar gaji pokok yang diberikan kepada pegawai. Meskipun besaran Tukin telah diatur dalam regulasi, tidak semua pegawai bisa mendapatkan Tukin secara penuh. Hal ini dikarenakan adanya indikator capaian kinerja yang menjadi perhitungan besaran Tukin yang bisa diterima. Berdasarkan Pasal 13 Peraturan Menteri ESDM Nomor 44 tahun 2018, perhitungan capaian Tukin sebagai berikut:

a. Realisasi kinerja yang terdiri atas kinerja organisasi dan kinerja individu dengan bobot 60% (enam puluh persen); dan

b. kehadiran menurut hari kerja dan jam kerja di lingkungan satuan organisasi dengan bobot 40% (empat puluh persen).

Fenomena korupsi Tukin di Kementerian ESDM, menunjukan lemahnya proses evaluasi kinerja yang dilakukan oleh Kementerian Menpan RB selaku kementerian yang bertanggung jawab pada urusaan kepegawaian dan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab dalam pembayaran tunjangan kinerja. Oleh karena itu, KPK perlu untuk lebih komperhensif dalam melihat korupsi Tukin yang berpotensi juga terjadi di Kementerian dan Lembaga lainnya.

Korupsi Tukin menyebabkan turunnya etos kerja pegawai di Kementerian ESDM. Tukin sendiri bertujuan untuk memberikan semangat dan penghargaan kepada pegawai yang memiliki kinerja baik, jika besaran Tukin dimanipulasi dengan cara digelembungkan nilainnya (modus typo saat input) maka subtansi Tukin akan hilang. Pemberian Tukin juga harus didasarkan pada kriteria kesiapan kementerian/lembaga dalam melaksanakan reformasi birokrasi secara berkesinambungan. Kasus potensi korupsi Tukin sendiri bisa menjadi preseden buruk bagi semangat reformasi birokrasi di Kementerian ESDM.

Selain itu, KPK juga menduga adanya keterlibatan auditor BPK RI dalam kasus ini. Diduga alokasi Tukin yang dikorupsi tersebut juga digunakan untuk mempengaruhi opini pemeriksaan BPK. Jika dugaan tersebut benar, ini merupakan raport merah bagi BPK karena kasus serupa juga pernah terjadi di Kemendes pada tahun 2018 dan Pemda Kabupaten Bogor tahun 2022, yaitu dengan memberikan gratifikasi untuk mendapatkan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Hal ini bisa terjadi karena kurangnya perhatian pimpinan BPK, padahal praktek tersebut terjadi pada zona sensitif terkait relasi antara pemeriksa BPK dan Objek pemeriksaan, yang dapat menentukan opini BPK terhadap pengelolaan keuangan negara.

Berdasarkan permasalahan diatas, Seknas FITRA merekomendasikan:

  1. Dugaan keterlibatan auditor BPK harus segera dibuktikan, jika terbukti terlibat dalam kasus dugaan korupsi Tukin di Kementerian ESDM, maka pimpinan BPK (Isma Yatun) perlu melakukan pembenahan di internal BPK dan memberikan sanksi tegas kepada pemeriksa/auditor yang berpotensi bermain mata dalam melakukan pemeriksaan.
  2. Mendorong sistem akuntabilitas Tukin agar negara membayar Tukin sesuai dengan output yang dihasilkan, sistem akuntabilitas Tukin perlu di perkuat oleh Kemenpan RB.
  3. Mendorong peran aktif Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional (TRBN) dalam membuat sistem atau mekanisme laporan Tukin yang terintegarsi sesuai dengan prinsip equal pay for equal work (pemberian besaran tunjangan kinerja sesuai dengan harga jabatan dan pencapaian kinerja).