Oleh: Bernard Allvitro dan Gulfino Guevarrato
Para menteri dan kepala lembaga diinstruksikan untuk menghemat anggaran dengan memangkas biaya perjalanan dinas ASN setidaknya sebesar 50 persen mulai 7 November 2024. Namun, dalam Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor S-1023/MK.02/2024, Sri Mulyani tidak merinci alasan maupun tujuan spesifik dari pemangkasan tersebut. Langkah penghematan belanja perjalanan dinas merupakan upaya pemerintah untuk melakukan efesiensi anggaran guna membiayai pembentukan Kementerian dan Lembaga baru yang membutuhkan anggaran besar, juga menghadapi tantangan defisit anggaran yang semakin melebar.
APBN lebih banyak dihabiskan untuk membayar hutang, akibatnya APBN mengalami defisit anggaran senilai Rp 300 Triliun. Target belanja negara pada tahun 2025 tercatat sebesar Rp3.621,3 triliun, namun sebagian besar pendapatan negara akan digunakan untuk membayar utang jatuh tempo dan bunga utang. Pada 2025, utang jatuh tempo mencapai Rp800,3 triliun, dengan bunga utang yang harus dibayar sebesar Rp552,9 triliun. Jika demikian, maka Rp1.353,2 triliun dari APBN akan digunakan untuk membayar pokok dan bunga utang, yang setara dengan 45 persen dari target pendapatan negara yang diperkirakan sebesar Rp3.005,1 triliun.
Pemangkasan belanja perjalanan dinas juga menjadi upaya Pemerintah untuk menegakkan prinsip good governance dalam perjalanan dinas. Empat prinsip tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, Dan Pegawai Tidak Tetap. Keempat prinsip tersebut adalah selektif, yaitu hanya untuk kepentingan yang sangat tinggi dan prioritas yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan; ketersediaan anggaran dan kesesuaian dengan pencapaian kinerja Kementerian/Lembaga; efisiensi penggunaan belanja negara; dan akuntabilitas pemberian perintah pelaksanaan perjalanan dinas dan pembebanan biaya perjalanan dinas.
Perjananan Dinas Rawan Disalahgunakan
Belanja perjalanan dinas berpotensi tinggi disalahgunakan. Rilis BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Tahun 2023, mencatat adanya penyimpangan belanja perjalanan dinas sebesar Rp39.260.497.476 pada 46 Kementerian dan Lembaga (K/L). Bentuk penyimpangan belanja tersebut terbagi dalam empat kelompok, yaitu belum adanya bukti pembayaran; perjalanan dinas fiktif; belanja perjalanan dinas tidak sesuai ketentuan/kelebihan pembayaran; dan penyimpangan perjalanan dinas lainnya.
Perincian Penyimpangan Belanja Perjalanan Dinas Tahun 2023
No | Kelompok Permasalahan | Jumlah K/L | Nilai (Rp) |
1 | Belum ada bukti pertanggung jawaban | 14 | 14.759.974.928,00 |
2 | Perjalanan Dinas Fiktif | 2 | 9.308.814,00 |
3 | Belanja perjalanan dinas tidak sesuai ketentuan/kelebihan pembayaran | 38 | 19.647.343.160,10 |
4 | Permasalahan penyimpangan perjalanan dinas lainnya | 23 | 4.843.870.574,33 |
Jumlah | 39.260.497.476,43 |
Sumber: BPK, Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan (2023)
Tren Belanja Perjalanan Dinas K/L
Selain sebagai sarana mendukung kegiatan operasional, perjalanan dinas sejatinya harus mencerminkan efisiensi penggunaan anggaran serta upaya untuk meningkatkan kinerja aparatur negara. Oleh karena itu, Seknas FITRA melakukan kajian dan analisis terhadap belanja perjalanan dinas K/L dari tahun 2018 sampai dengan 2023.
Sumber: BPK, LKPP K/L 2021-2023, diolah FITRA
Sepintas, terlihat bahwa belanja perjalanan dinas mengalami kenaikan dari 2018 ke 2019, namun dengan adanya pandemi COVID-19, belanja tersebut berkurang hampir setengahnya di tahun 2020. Tahun 2021 sampai 2023, belanja perjalanan dinas kembali meningkat, mendekati Rp10 triliun per tahun.
Secara persentase per K/L, analisis FITRA berdasarkan LKPP K/L selama tiga tahun terakhir (2021-2023) memberikan hasil bahwa tidak ada K/L yang memiliki belanja perjalanan dinas di atas 50 persen. Pada 2021, persentase tertinggi hanya mencapai 33 persen; 2022 sebesar 38 persen; dan 2023 sekitar 47 persen. Meskipun meningkat, namun perlu dicatat bahwa tentunya kenaikan ini harus mempertimbangkan dengan total belanja pada masing-masing kementerian.
Berdasarkan kementerian, tingginya persentase masih didominasi oleh Kementerian Koordinator. Namun menurut FITRA, tingginya persentase belanja perjalanan dinas di Kementerian Koordinator terjadi karena beberapa faktor, antara lain fungsi koordinasi yang diemban Kementerian Koordinator; skala operasinya yang lebih luas; peran sentral dalam penyusunan kebijakan; koordinasi proyek berskala besar; serta pelaksanaan tugas representatif.
Tahun 2021, posisi tiga teratas ditempati Kemenko Marves 33,86 persen; Kementerian Perekonomian 21,26 persen; dan Kemenko Polkukam 21 persen. Tahun 2022, persentase tersebut juga masih didominasi oleh Kementerian Koordinator, besarannya pun meningkat namun tidak ada yang menyentuh persentase 40 persen (Kemenko Marves 38,22 persen; Kemenko Polkukam 37,79 persen; Kemenko PMK sebesar 24,86). Tahun 2023, Kemenko Marves 47,35 persen; Kemenko Polkukam 41,68 persen; dan Kementerian Perekonomian sebesar 32,93 persen.
Sedangkan tiga posisi teratas di luar Kementerian Koordinator, tahun 2021 KemenPAN/RB ada di urutan pertama dengan 20,96 persen; Kemen PPA 19,20 persen; dan KLHK 16,52 persen. Tahun 2022, Kemen PPA 31,59 persen; dan Kemenkop UKM serta KemenPAN/RB masing-masing 23,67 persen. Tahun 2023, Kemen PAN/RB 31,30 persen; Kemen PPA 29,37 persen; dan KLHK 23,19 persen. Sedangkan Kementerian dengan persentase paling kecil adalah Kemensos di 2023 dan 2022 (0,67 dan 0,48 persen), serta Kemenkes di 2021 (0,86 persen).
Sedangkan untuk Lembaga dan Badan Negara, secara umum dari 2021 sampai dengan 2023 persentasenya tidak sampai 40 persen, kecuali untuk Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang pada 2023 mencapai 41,32 persen. Tahun 2021 MPR, Bawaslu dan LPSK menempati posisi tiga teratas (32,32 persen; 23,84 persen dan 22,15 persen). Tahun 2022 adalah MPR, Bawaslu dan BNPP (33,60 persen; 33,28 persen dan 27,35 persen). Tahun 2023, setelah Bapanas di posisi pertama, BPIP dan MPR menyusul dengan 38,78 persen dan 35,28 persen. Selama 2021 hingga 2023, BIN selalu menempati posisi persentase terkecil (0,06 persen; 0,08 persen; dan 0,04 persen)
Besaran angka persentase belanja perjalanan dinas K/L memiliki arti bahwa angka tersebut menunjukkan jumlah dari total belanja yang dipakai untuk membiayai perjalanan dinas pejabat dan pegawai di K/L tersebut. Misalnya jika pada tahun 2023 persentase di Bapanas adalah 41,32 persen, artinya 41,32 persen atau hampir setengah dari total belanja di Bapanas digunakan untuk membiayai perjalanan dinas yang mencakup biaya-biaya seperti transportasi, akomodasi, konsumsi, dan tunjangan terkait dengan perjalanan dinas. Sisa dari persentase tersebut adalah jumlah yang digunakan untuk belanja pegawai dan modal.
Plus Minus Pemangkasan Belanja Perjalanan Dinas
Pemotongan biaya perjalanan dinas pada kementerian dan lembaga memberikan dampak positif dalam hal efisiensi anggaran negara. Dengan penghematan ini, pemerintah dapat mengurangi pengeluaran rutin yang tidak selalu memiliki dampak langsung terhadap pembangunan. Dana yang sebelumnya digunakan untuk perjalanan dinas dapat dialihkan ke program-program prioritas. Contohnya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang oleh Badan Gizi Nasional disebut akan membutuhkan anggaran Rp1,2 triliun per hari. Alokasi ulang ini tidak hanya meningkatkan kualitas pelayanan publik tetapi juga mempercepat pencapaian target pembangunan nasional yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, kebijakan ini mendorong kementerian dan lembaga untuk lebih selektif dalam merencanakan perjalanan dinas. Setiap perjalanan harus dirancang dengan mempertimbangkan relevansinya terhadap tugas pokok dan fungsi masing-masing instansi. Perjalanan yang tidak esensial atau yang dapat digantikan dengan teknologi komunikasi jarak jauh, seperti rapat daring, harus dikurangi. Dengan begitu, kebijakan ini memacu terciptanya budaya kerja yang lebih efisien, di mana hanya perjalanan dengan dampak besar terhadap pencapaian tujuan organisasi yang mendapatkan prioritas.
Lebih jauh, pengurangan perjalanan dinas juga mendukung peningkatan efisiensi dalam penggunaan sumber daya secara keseluruhan. Selain hemat biaya, waktu yang biasanya digunakan untuk perjalanan dapat dialokasikan untuk tugas-tugas lain yang lebih produktif. Misalnya, penggunaan teknologi untuk rapat virtual tidak hanya mengurangi biaya perjalanan tetapi juga memungkinkan komunikasi yang lebih cepat dan fleksibel. Dengan demikian, kebijakan pemotongan ini bukan sekadar langkah penghematan anggaran, tetapi juga merupakan strategi untuk mendorong inovasi dalam cara kerja pemerintahan.
Namun, selain berdampak positif, pemotongan anggaran perjalanan dinas dapat menimbulkan gangguan terhadap pelaksanaan berbagai program pemerintah yang memerlukan kehadiran fisik. Kegiatan seperti pengawasan, monitoring, dan evaluasi lapangan, yang sering kali membutuhkan interaksi langsung untuk memastikan kelancaran dan efektivitas implementasi, berisiko terhambat. Hal ini terutama berdampak pada program-program yang dilaksanakan di daerah terpencil atau lokasi strategis yang memerlukan kunjungan langsung untuk memahami kondisi lapangan secara menyeluruh.
Selain itu, pemotongan ini dapat memengaruhi kegiatan maupun koordinasi antara kementerian dan lembaga di tingkat daerah maupun pusat. Metode virtual terkadang tidak mampu menggantikan efektivitas komunikasi langsung, terutama dalam situasi yang membutuhkan penyelesaian konflik atau pembahasan teknis yang kompleks.
Penurunan produktivitas juga menjadi risiko lain jika perjalanan dinas yang penting dibatasi. Koordinasi antarpemangku kepentingan, baik di sektor publik maupun swasta, bisa terhambat, khususnya di sektor yang sangat bergantung pada interaksi tatap muka. Kondisi ini dapat memperlambat pengambilan keputusan, mengurangi efektivitas pelaksanaan kebijakan, serta memengaruhi kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam menangani isu-isu strategis.
Melihat kebijakan pemotongan anggaran perjalanan dinas Kementerian dan Lembaga, Seknas Fitra menyatakan sikap:
- Kebijakan efesiensi belanja pemerintah pusat, melalui pemotongan 50% belanja perjalanan dinas merupakan langkah positif yang perlu didukung. K/L perlu lebih selektif dalam merencanakan dan melakukan perjalanan dinas, terlebih mendahulukan perjalanan dinas yang berkontribusi pada optimalisasi program/kegiatan yang berkaitan langsung dengan pemenuhan hak masyarakat dan kelompok rentan.
- Kementerian Keuangan perlu mendorong supaya kebijakan efesiensi anggaran dapat dilakukan dalam setiap perencanaan anggaran ke depannya. Sehingga tidak hanya perjalanan dinas yang mendapat perhatian, namun juga belanja barang dan jasa untuk kegiatan di hotel yang selama ini juga menyedot anggaran besar. Dorongan tersebut juga dilakukan sampai pada tingkat Pemerintah Daerah, sehingga nantinya tradisi baik ini juga bisa diimplementasikan, demi efisiensi anggaran di tingkat daerah.
- Pemerintah perlu menyadari bahwa semakin banyaknya kementerian dan lembaga baru yang dibentuk otomatis akan mendongkrak belanja negara. Upaya yang patut diutamakan adalah intensifikasi pendapatan dan pengelolaan anggaran yang efektif dan efesien. Sedangkan upaya ekstensifikasi pendapatan negara melalui kenaikan tarif pajak merupakan langkah yang berpotensi blunder. Pemerintah harus lebih banyak fokus pada efesiensi belanja negara.