Kementerian Keuangan memiliki visi lembaga yang luhur, “Memastikan belanja negara yang berkeadilan, efektif, efisien dan akuntabel”. Dari visi itu tergambar tujuan dari Kementerian yang menjadi wakil presiden untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara, untuk mengoptimalisasikan belanja negara supaya dapat memberikan dampak bagi pembangunan nasional, termasuk menjunjung prinsip keadilan.
Kementerian Keuangan memiliki fungsi yang sangat penting bagi pengelolaan keuangan negara: mengelola pendapatan negara termasuk pajak, merumuskan kebijakan fiskal, mengelola aset negara dan banyak lainnya. Dalam menjalankan fungsinya Kemenkeu harus diisi oleh orang-orang yang profesional dan berkompeten pada bidangnya. Dengan tugas yang berat dan penting, maka diperlukan fokus kinerja yang baik.
Namun, dari pantauan Seknas Fitra, setidaknya 39 pegawai Kementerian Keuangan dari eselon I dan II yang merangkap jabatan, mayoritas menjadi Komisaris di BUMN dan anak perusahaan BUMN. Jika ditelaah secara lebih luas, rangkap jabatan ASN di BUMN tersebar hampir di seluruh Kementerian dan Lembaga. Pada tahun 2023, Seknas Fitra melalukan uji petik pada 243 komisaris BUMN di seluruh BUMN, ditemukan fakta minimalnya terdapat 95 aparatur negara atau 45% yang rangkap jabatan menjadi Komisaris BUMN.
Dalam pemantauan ini, Seknas Fitra akan fokus pada Kementerian Keuangan dikarenakan alasan yang telah diuraikan di atas, sekali lagi, karena Kementerian Keuangan memiliki fungsi dan peran yang penting dan vital bagi pengelolaan keuangan di Republik Indonesia. Sedangkan, dengan adanya fokus kinerja yang bercabang (akibat rangkap jabatan), Seknas Fitra khawatir akan berdampak pada kinerja aparatur Kementerian Keuangan baik di lembaga dan di perusahaan plat merah. Alasan lainnya, persoalan rangkap jabatan sejatinya telah melanggar regulasi sehingga kebijakan rangkap jabatan ini patut untuk dievaluasi kembali. Menjadi suatu alat pemerintah atau bisa disebut juga aparatur pemerintah, Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut ASN) mempunyai kedudukan sentral dalam melaksanakan komponen kebijakan-kebijakan atau peraturan pemerintah untuk mencapai tujuan bersama secara nasional. Kedudukan ASN dalam penyelenggaraan dan dalam melaksanakan penata kelolaan pemerintahan yang baik (good governance) sangatlah penting, yang membentuk ASN sebagai peserta penting dalam pencapaian tujuan kesejahteraan sosial. Sehingga profesionalitas dan tidak berpihak menjadi kunci dari pada ASN dalam menjalankan tugas serta kewajibanya, salah satunya mengenai hal rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.
Regulasi Indonesia Melarang Rangkap Jabatan bagi Aparatur Negara
Amanat Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas mengatur supaya negara memberikan pelayanan publik kepada warga negara dalam upaya memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya. Penyelenggara pelayanan public merupakan instansi yang sumber dananya berasal dari APBN dan APBD.
UU Pelayanan public secara tegas mengatur larangan adanya rangkap jabatan pada pelaksana pelayanan publik, dalam hal ini, termasuk juga Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam upaya optimalisasi pelayanan publik, pelaksana pelayanan publik dalam ini, termasuk juga aparatur pemeritahan, telah diatur larangan untuk rangkap jabatan. Dalam Undang-Undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan public, Pasal 17 huruf a, adanya larangan untuk rangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.
Dalam mengoptimalkan peran BUMN dalam perekonomian nasional diperlukan pengurusan dan pengawasan secara professional. Manifestasi dari Profesionalisme telah dirumuskan dalam UU 19/2003 tentang BUMN, dalam Pasal 33 ayat (2), berbunyi “ Anggota Komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai (2) jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Dapat ditafsirkan, ASN yang memiliki jabatan dilarang untuk merangkap sebagai komisaris BUMN.
Sekalipun terdapat Peraturan Menteri BUMN yang memperbolehkan rangkap jabatan Komasaris BUMN. Namun, perlu dicermati dalam konsep hierarki perundang-undangan dengan mengacu pada asas lex superior derogate legi inferiori dapat diartikan bahwa peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.
Berdasarkan asas tersebut Peraturan Menteri BUMN yang mengizinkan rangkap jabatan harusnya tidak berlaku lagi. Karena apabila tetap dipertahankan justru menciptakan ketidakpastian hukum. Alih-alih menciptakan kepastian, justu menciptakan kekacauan hukum karena menciptakan pertengangan.
Bahkan terdapat Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, MK telah memberikan penegasan larangan rangkap jabatan yang berlaku tidak hanya pada Menteri namun juga kepada Wakil Menteri. Alasan MK karena pengangkatan dan pemberhentian Wakil Menteri merupakan hak prerogative presidenm sebagaimana halnya Menteri. Oleh karena itu, wakil Menteri statusnya harus ditempatkan seperti Menteri. Berdasarkan temuan Seknas Fitra, wakil Menteri Keuangan juga menjabat sebagai komisaris Perusahaan Listrik Negara.
Efektivitas Rangkap Jabatan dalam Kinerja BUMN
Kajian Seknas FITRA pada 2022, menemukan dugaan sejumlah 39 pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan merangkap jabatan paling banyak sebagai Komisaris dan Direktur di BUMN. Hal ini menunjukkan, adanya indikasi rangkap penghasilan karena yang bersangkutan masih dalam status aktif menjabat secara stuktural. Selain itu ditemukan ada dominasi beberapa Kementerian dan Lembaga tertentu dalam penempatan Komisaris di BUMN. Permasalahan tersebut dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja K/L dan BUMN yang ditempati, sehingga masyarakat luas bahkan negara berpotensi kehilangan manfaat atas kondisi seharusnya. Dalam kasus BUMN, temuan Ombudsman RI pada tahun 2020 menunjukkan ada 397 komisaris BUMN merangkap jabatan dan 197 komisaris anak perusahaan, terindikasi rangkap jabatan dan penghasilan.[1] Akibatnya, pelaksanaan dan pengawasan yang dilakukan berpotensi tidak optimal karena adanya hubungan kedekatan emosional dengan yang diawasi, minimnya kompetensi dan tidak memiliki keahlian dengan jabatan yang didudukinya. Sehingga hanya menerima gaji saja tanpa melakukan apa-apa. Di samping itu, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 17 huruf (a) Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik (selanjutnya disebut UU Pelayanan Publik), disebutkan bahwa “pelaksana pemerintahan dilarang merangkap sebagai Komisaris/Pengurus Organisasi usaha bagi pelaksana yang dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN dan BUMD”
Konflik Kepentingan Penyakit Akut
Sejak disahkannya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), ASN diakui sebagai sebuah profesi. Implikasi dari pengakuan tersebut adalah ASN kini wajib menginkorporasikan prinsip-prinsip keprofesian di dalam diri dan pekerjaannya. Sistem keprofesian selalu menyertakan kode etik (Dahl, 2015: 1), yang secara universal memuat keutamaan-keutamaan universal seperti integritas, jujur, amanah, dan bertanggung jawab. Dalam rangka menjaga agar keutamaan tersebut tetap terpelihara, ASN wajib menghindari situasi dan kondisi di mana prinsip-prinsip profesionalitasnya tergadaikan. Salah satu ancaman yang paling nyata dan terang adalah konflik kepentingan (conflict of interest).
Sebagai orang yang bekerja di sektor publik dan tindak tanduknya berkaitan erat dengan hajat masyarakat umum, ASN adalah pekerjaan yang sangat rawan dengan jebakan dan perangkap konflik kepentingan. Kepentingan publik begitu luas dan umum. Seringkali kepentingan publik tersebut berseberangan dengan kepentingan privat, entah itu kepentingan pribadi, keluarga, sejawat, kelompok, maupun golongan. Ketika keduanya berseberangan, dan ASN dituntut untuk bertindak atau membuat keputusan di tengah persimpangan tersebut, maka hadirlah konflik kepentingan secara aktual.
Berdasarkan uraian diatas, pejabat/ASN Kementerian Keuangan yang merangkap jabatan di BUMN melanggar Pasal 1 ayat (14) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi; “Kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya” dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (PerMenpan RB) No 12 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Penanganan Konflik Kepentingan yang berbuyi “Situasi di mana Penyelenggara negara memiliki atau patut diduga memiliki kepentingan pribadi terhadap setiap penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi kualitas keputusan dan/atau tindakannya”.
Jika dibiarkan konflik kepentingan ini dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara dan melemahkan kepercayaan masyarakat pada institusi publik tersebut. Konflik kepentingan jika tidak dicegah bisa menjadi pintu masuk bagi praktik KKN, yang akan merugikan lebih banyak pihak.
Rendahnya Kontribusi BUMN pada APBN
Jumlah BUMN mengalami penurunan dari tahun 2021 ke tahun 2022, dari 142 menjadi 91. Faktornya karena holding. Pada tahun 2022, dari 91 BUMN di Indonesia (79 Persero dan 12 Perum) yang tersebar di 12 sektor Industri dengan total nilai Kekayaan Negara Dipisahkan yang diinvestasikan kepada BUMN sebesar Rp2.469 Triliun (s.d. tahun 2021). Namun secara kontribusi langsung pada APBN relative tidak berdampak signifikan. Dari 91 BUMN, sebagai contoh pada tahun 2020 hanya 11 BUM yang memberikan kontribusi signifikan pada pendapatan negara. Hal serupa untuk tahun 2022, dari 37 T, 25 T berasal dari Bank Himbara.
Negara mengeluarkan lebih banyak anggaran untuk BUMN.
Di sisi lain, sekalipun konstribusi BUMN tidak signifikan, setiap tahunnya pemerintah memberikan Penyertaan Modal Negara. Sejak 2020 hingga 2023, total PMN bagi BUMN sebesar Rp 205T. Sedangkan total deviden bagi negara Rp 161,4 T. Negara lebih banyak memberikan kepada BUMN sebesar 43,9 T. Sekalipun, dalam kasus tertentu, pada tahun 2021 fokus dari PMN untuk upaya pemulihan ekonomi akibat Covid-19.
Tidak Maksimalnya Peran Pengawas BUMN
Selain itu, berdasarkan statistik tindak pidana berdasarkan instansi, sejak tahun 2004-2022 terdapat 119 kasus korupsi yang menjangkiti BUMN dengan total kerugian Rp 47,9 triliun.[1]Dari data di atas menunjukan ketimpangan antara kontribusi dan belanja negara untuk BUMN. Kemudian persoalan lainnya dalam internal BUMN, seperti korupsi, pengelolaan yang buruk sehingga menyebabkan kerugian, kinerja pelayanan yang buruk. Namun di sisi lain, akibat rangka jabatan, BUMN membayarkan remunerasi sebesar Rp 180 Miliar.
Secara umum Komisaris merupakan jabatan tertinggi di dalam sebuah perusahaan, mereka bisa bertindak sebagai pemilik perusahaan atau pemilik saham. Dalam Pasal 114 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tugas komisaris adalah mengawasi kegiatan perusahaan, bertanggung jawab atas kerugian perusahaan atas kelalaiannya, dan juga memberikan nasihat kepada direksi atau pimpinan perusahaan. Pengangkatan seorang Dewan Komisaris akan diputuskan di dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Komisaris tidak boleh memiliki permasalahan keuangan, pailit, atau beberapa potensi lainnya yang dapat membuat perusahaan rugi atau bangkrut. Dalam kasus BUMN, peran Komisaris atau Dewan Pengawas cukup startegis, sehingga menjadi keharusan jika Komisaris di BUMN memiliki kemampuan yang sesuai dengan sektor bisnisnya. Berdasarkan pemantauan Ombudsman RI terhadap maladministrasi Rangkap Jabatan Komisaris BUMN pada 2020, potensi maladministrasi dalam proses Rekrutmen atau Pengangkatan Komisaris BUMN, yakni pada konflik kepentingan, diskriminatif, tidak transparan, dan tidak akuntabel berpotensi terjadi di tubuh BUMN, hal tersebut tentu akan berdampak pada kinerja BUMN. Oleh sebab itu perlu juga mendorong Komisaris atau Dewan Pengawas memiliki kontrak kerja atau Key Performance Index (KPI). Minimal bagaimana komisaris dan Dewan Pengawas bisa bertanggung jawab jika terdapat korupsi atau fraud di dalam BUMN tersebut.
Temuan Pemantaun Rangkap Jabatan[3]
No | Jabatan | Gaji dan Tunjangan yang diterima (diambil berdasarkan jabatan terendah) | Jabatan yang merangkap | Remunerasi (Honor, tunjangan, tantiem, asuransi, dan fasilitas lainnya) dari BUMN per bulan | LHKPN Yang meningkat |
1 | Wakil Menteri Keuangan | 121.601.200 | Komisari PLN | 2.163.083.333 | 45.774.354.478 |
2 | sekretaris Jenderal | 90.505.200 | Komisari Pertamina | 2.865.714.286 | 12.547.455.653 |
3 | Direktur Jenderal Anggaran | 90.505.200 | komisari PT Telkom | 1.829.000.000 | 22.041.585.337 |
4 | Direktur Jenderal Pajak | 123.276.200 | Komisari PT SMI | 2.872.659.961 | 8.308.060.889 |
5 | Direktur Bea dan Cukai | 90.505.200 | Komisaris BNI | 1.048.175.000 | 21.573.859.320 |
6 | direktut Kekayaan Negara | 90.505.200 | Komisaris Bank Mandiri | 1.717.633.333 | 32.051.773.407 |
7 | Direktur Jenderal Perbendaharaan menjadi | 90.505.200 | komisaris PT Semen Indonesia Grup | 370.052.083 | 8.667.417.688 |
8 | Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan | 90.505.200 | Komisioner Lembaga Simpan Pinjam (bukan BUMN) | 16.061.112.240 | |
9 | Inspektur Jenderal Kemenkeu | 90.505.200 | Komisioner PT Penjamin dan Infrastruktur | 113.270.139 | 5.405.541.500 |
10 | Kepala Badan Kebijakan Fiskal | 90.505.200 | komisaris PT Pupuk Indonesia | 732.855.376 | 1.309.960.691 |
11 | Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan | 90.505.200 | Komisaris Bank Tabungan Negara | 512.081.496 | 332.099.252 |
Jika dilihat dari besaran remunerasi yang didapatkan oleh ASN yang rangkap jabatan dan dibandingkan dengan gaji dan tunjangan kinerja maka buka perbandingan yang seimbang. Jabatan Wakil Menteri mendapatkan gaji sebesar Rp 121 juta. Sedangkan dengan jabatan komisaris di PLN bisa mendapatkan Rp 2,1 M setiap bulannya. Dari simulasi 11 pejabat di Kemenkeu yang rangkap jabatan menjadi Komisaris BUMN, Fitra menghitung negara membayar 180 Miliar setiap tahunnya. Nilai ini jauh lebih besar jika rangkap jabatan itu dilakukan oleh 95 pejabat ASN.
Dengan ketimpangan tersebut, Seknas Fitra perlu untuk khawatir karena fungsi sebagai wakil Menteri berpotensi tidak dijalankan secara optimal karena lebih fokus mengurusi kepentingan di BUMN. Sekalipun, telah diulas di atas, bahwa kinerja BUMN tidak juga membaik meskipun 45% Komisaris berasal dari birokrat.
Temuan tersebut mengindikasikan bahwa BUMN tidak hanya diperas oleh kepentingan politik namun juga diperas oleh aparatur negara yang berkamuflase sebagai pengawas.
Jika peran-peran pengawasan yang menjadi tanggungjawab Komisioner maksimal harusnya BUMN bisa lebih baik kinerja. Ironisnya, sekalipun tidak berkinerja baik, negara tetap saja memberikan PMN besar-besar. Sedangkan, instansi yang mengatur urusan keuangan adalah Kemenkeu. Atas dasar itu, Fitra menilai keterlibatan aparatur Kemenkeu di BUMN justru menciptakan problematika baru dalam pengelolaan BUMN. Kehadirannya tidak memberikan dampak signifikan bagi perbaikan BUMN.
Peran Serta Masyarakat dalam Pelayanan Publik
Masyarakat memiliki peran dalam penyelanggaran pelayanan publik dimulai dari proses penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan penghargaan. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UU Pelayanan Publik. Sehingga apabila ditemukan pelanggaran dalam aparatur pelaksana pelayanan publik maka masyarakat berhak mengadukan kepada penyelenggara layanan, Ombudsman, DPR RI dan DPRD. Pengaduan masyarakat telah dijamin dalam UU Pelayanan publik yang juga mengatur lingkup aduannya, yaitu terhadap penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan dan pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan.
Dalam hal rangkap jabatan, pelaksana layanan telah melanggar ketentuan Pasal 17 huruf (a). Telah diatur juga dalam UU Pelayanan publik, bahwa Penyelenggara atau pelaksana yang melanggar ketentuan, termasuk pelarangan rangkap jabatan, maka sanksinya adalah pembebasan dari jabatan.
Rekomendasi
Atas permasalah tersebut, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) meminta;
- Menteri BUMN mengkaji temuan masyarakat sipil atas rangkap jabatan ASN Kementerian keuangan di tubuh BUMN yang berpotensi merugikan masyarakat luas dan negara karena diduga tidak memiliki kompetensi yang dapat mendongkrak kinerja BUMN tersebut. Sebab, demi meningkatkan daya saing BUMN dalam menjalani suatu persaingan usaha yang semakin berat serta semakin ketat, terkhusus di dalam era globalisasi seperti sekarang ini, dalam pengelolaan BUMN khususnya dalam pengelolaan sumber daya harus memiliki kehandalan, profesionalisme, integritas, dan dedikasi dan sumber daya manusia yang kompeten.
- Menteri BUMN mencabut regulasi yang menciptakan ketidakpastian dalam pelarangan rangkap jabatan, mendorong keterbukaan dalam proses rekrutmen/pengangkatan Komisaris BUMN dan meningkatkan pengawasan terhadap kinerja BUMN sesuai dengan Surat Edaran Nomor SE-9/MBU/09/2021 tentang Evaluasi Kinerja Anggota Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas BUMN.
- Menteri Keuangan harus menetapkan status ASN yang memiliki rangkap jabatan karena ASN tersebut mendapatkan gaji ganda, hal ini bertentangan dengan semangat Kementerian keuangan untuk menjaga kualitas belanja publik. Sehingga, pegawai Kementerian Keuangan yang rangkap jabatan harus mundur dan fokus pada peningkatan kinerja dan pelayanan publik di Kementerian Keuangan sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga.
- Menteri Keuangan juga bisa memberikan sanksi administratif ringan hingga berat kepada ASN yang merangkap jabatan di BUMN tanpa sepengatahuan pimpinan lembaga sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
- Ombudsman RI harus menindak tegas temuan rangkap jabatan di BUMN oleh ASN di Kementerian Keuangan, dengan memberikan teguran keras kepada menteri BUMN dan Keuangan atas kelalaian sebagai pimpinan lembaga. Dan meminta menteri BUMN dan menteri Keuangan membuat peraturan internal mengenai kode etik sebagai dasar hukum bagi organisasi untuk melakukan pencegahan dan penanganan mengenai etika atau perilaku yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di masa mendatang. Dan mendorong pengelolaan dan pengawasan BUMN dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten.
Daftar Rangkap Jabatan
No | Nama | Jabatan | Jabatan yang merangkap |
1 | Suahasil Nazara | Wakil Menteri Keuangan | Komisari PLN |
2 | Heru Pambudi | sekretaris Jenderal | Komisari Pertamina |
3 | Isa rachmatarwata | Direktur Jenderal Anggaran | komisari PT Telkom |
4 | Suryo Utomo | Direktur Jenderal Pajak | Komisari PT SMI |
5 | Askolani | Direktur Bea dan Cukai | Komisaris BNI |
6 | Rionald Silaban | direktur Kekayaan Negara | Komisaris Bank Mandiri |
7 | Astera Primanto Bhakti | Direktur Jenderal Perbendaharaan | komisaris PT Semen Indonesia Grup |
8 | Luky Alfirman | Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan | Komisioner Lembaga Simpan Pinjam (bukan BUMN) |
9 | Awan Nurmawan Nuh | Inspektur Jenderal Kemenkeu | Komisioner PT Penjamin dan Infrastruktur |
10 | Febrio Nathan Kacaribu | Kepala Badan Kebijakan Fiskal | komisaris PT Pupuk Indonesia |
11 | Andin Hadiyanto | Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan | Komisaris Bank Tabungan Negara |
12 | Sudarto | Staff Ahli Organisasi, Reformasi Birokrasi dan Teknologi Informasi | Komisaris Pegadaian |
13 | Suminto | Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko | Ketua Komite Remunerasi dan Nominasi Indonesia Exim Bank |
14 | Nufransa Wira Sakti | Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak | Komisaris Utama di PT Sarana Multigriya Finansial |
15 | Yon Arsal | Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak | Komisaris PT Indonesia Infrastructure Finance |
16 | Made Arya Wijaya | Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara | komisaris PT Biofarma |
17 | Rina Widiyani Wahyuningdyah | Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Kelembagaan menjabat sebagai (Persero) | komisaris PT Sarana Multigriya Finansial/SMF |
18 | R. Wiwin Istanti | Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan | Komisaris PTPN 7 |
19 | Ari Wahyuni | Kepala Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan, | Komisaris Jamkrindo |
20 | Arief Wibisono | Kepala Biro Hukum | wakil Presiden Komisaris PT PON (Petra Oxo Nusantara) |
21 | Tio Serepina Siahaan | Kepala Biro Advokasi | Komisaris Utama PT Geodipa energi |
22 | Rukijo | Kepala Biro Sumber Daya Manusia | Komisaris PT Mass Rapid Transit Jakarta (PT MRT Jakarta) |
23 | Sugeng Wardoyo | Kepala Biro Umum | Komisaris PT Pelayaran Bahtera Adhiguna |
24 | Hidayat Amir | Kepala Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan | Komisaris PT Angkasa Pura I |
25 | Agung Kuswandono | Tenaga Pengkaji Bidang Pengelolaan Kekayaan Negara | komisaris PT Biro Klasifikasi Indonesia |
26 | Rofyanto Kurniawan | Direktur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara | Komisaris PT ASABRI |
27 | Chalimah Pujihastuti | Direktur Anggaran Bidang Perekonomian dan Kemaritiman | Komisaris PT POS |
28 | Dedy Syarif Usman | Sekretaris DJKN | Komisaris PT Waskita Karya TBK |
29 | Encep Sudarwan | Direktur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) | Komisaris Askrindo |
30 | Dwi Pudjiastuti Handayani | Direktur Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara | Komisaris Indonesia Re |
31 | Wawan Sunarjo | Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian/Lembaga | Komisaris PT Surveyor Indonesia |
32 | Lisbon Sirait | Direktur Sistem Penganggaran | Anggota Dewan Pengawas LLP-KUKM |
33 | Sudarso | Inspektur V | Komisaris PT Barata Indonesia |
34 | Meirijal Nur | Direktur Kekayaan Negara Dipisahkan | Komisaris Indosat |
35 | Joko Prihanto | Direktur Lelang | Komisaris PT Karaba Digdaya (bukan BUMN) |
36 | Mariatul Aini | Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan | Komisaris PT Penjamin dan Infrastruktur |
37 | Bhimantara Widyajala | Direktur Kapasitas Pelaksana Transfer | Komisaris PT Indonesia Infrastructure Finance |
38 | Heri Setiawan | Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara | Komisaris PT Geodipa energi |
39 | Adi Budiarso | Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) | Komisaris PT SUCOFINDO |
[1] https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel–benturan-kepentingan-sebagai-bentuk-maladministrasi di akses pada 2023
[2] Tren Penindakan Kasus Korupsi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2016 – 2021 dikeluarkan oleh ICW
[3] Temuan detailnya dilampirkan dalam dokumen terpisah