Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra), Yenny Sucipto, mengatakan cuti bagi petahana yang ikut dalam pilkada merupakan keharusan, termasuk pada kasus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
“Cuti petahana adalah keharusan agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam hal penggunaan fasilitas negara dan potensi politisasi anggaran untuk kampanye,” kata Yenny melalui siaran pers, Rabu (3/8/2016).
Basuki atau Ahok telah mengajukan judicial review terhadap UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ahok ingin agar pasal yang mengatur soal cuti kampanye diubah.
Ahok sepakat jika calon petahana harus cuti selama masa kampanye. Namun, dia ingin ada pilihan bagi calon petahana yang menolak cuti. Dia bersedia untuk tidak kampanye jika diperbolehkan tidak cuti.
Alasan Ahok tidak mau kampanye adalah karena ingin fokus mengawal pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI 2017.
Namun Yenny mengatakan, pembahasan APBD merupakan serangkaian proses yang tidak berlangsung menjelang Pilkada saja.
“Pembahasan APBD telah berlangsung lama dan terstruktur, bukan hanya bulan menjelang pilkada 2017 saja,” kata Yenny.
“Tidak ada urgensi, argumentasi, relevansi pengawalan APBD sehingga tidak wajib cuti bagi petahana,” tambah dia.
Ketentuan yang mengatur wajib cuti bagi calon petahana tercantum dalam Pasal 70 UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam UU itu tertulis, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan: a) menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan b) dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.”