Skip to main content

Sebagai salah satu prioritas utama pemerintah Indonesia capaian pembangunan terkait akses air minum, sanitasi yang layak, dan penanganan sampah rata-rata sudah relatif tinggi di daerah-daerah lokasi penelitian, dengan capaian diatas 95% untuk air minum layak dan akses sanitasi layak tapi tidak untuk kawasan pesisir. Sebagian besar kawasan pesisir masih menghadapi kesulitan untuk mengakses air minum sehingga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mendapatkannya. Banyak kawasan pesisir yang masuk kategori kawasan kumuh. Indikasinya adalah buruknya tata kelola sanitasi dan persampahan di kawasan tersebut. Belum lagi saat terjadinya banjir rob yang intensitasnya tinggi karena faktor perubahan iklim. Kondisi ini tentu berimplikasi terhadap kesehatan dan kesejahteraan nelayan kecil, termasuk perempuan nelayan, anak perempuan, dan penyandang disabilitas.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengupas kebijakan air minum, sanitasi, dan persampahan di level nasional dan daerah, mengelaborasi pembagian kewenangan pemerintahan dan peran berbagai pemangku kepentingan serta membedah prioritas, implementasi, dan kredibilitas anggarannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berperspektif gender. Pengumpulan data dilakukan melalui analisis dokumen kebijakan dan anggaran, studi literatur (desk study), wawancara mendalam (indepth interview), dan Focus Group Discussion (FGD) dan observasi lapangan. Lima area fokus penelitian ditentukan berdasarkan prioritas target program SPARK II, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Tengah dan Kota Semarang, Provinsi Banten dan Kabupaten Tangerang, serta Provinsi Sumatera Utara dan Kota Medan.

Temuan dari penelitian ini, antara lain pada Aspek Kebijakan. Regulasi terkait air minum, sanitasi, dan persampahan sudah cukup banyak dan relatif lengkap, baik di tingkat pusat maupun daerah. Persoalannya adalah sebagian besar regulasi tersebut belum optimal dijalankan, baik karena faktor lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) di masing- masing daerah yang beragam, letak geografis dan potensi konflik yang ditimbulkan, maupun keterbatasan anggaran. Hal ini berimplikasi terhadap besaran cakupan dan target pemenuhan air minum, sanitasi yang layak, serta pengelolaan persampahan.

Sebagian besar target yang ditetapkan dan luasan cakupan yang dicanangkan pemerintah daerah sudah terpenuhi, namun di sebagian besar kawasan pesisir tidak terpenuhi. Contohnya di kawasan Dadap Kabupaten Tangerang, sama sekali tidak pernah mendapatkan program pemenuhan air minum, sanitasi layak, dan pengelolaan sampah yang baik, padahal kondisinya sangat memprihatinkan.

Temuan lain adalah air minum, sanitasi layak, dan tatakelola persampahan yang baik belum sepenuhnya menjadi prioritas dan terintegrasi dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah. Alokasi anggaran air minum, sanitasi, dan persampahan rata- rata relatif kecil, itupun tidak terserap seluruhnya. Penggunaan anggaran tersebut lebih banyak untuk Belanja Pegawai, bukan untuk Belanja Program/Kegiatan yang memberi manfaat langsung kepada masyarakat pesisir.

Dalam konteks gender dan perubahan iklim, hampir semua daerah belum melakukan gender mainstreaming dalam setiap tahapan perencanaan dan penganggaran bidang air minum, sanitasi, dan persampahan. Hal ini dapat dibuktikan dari analisis terhadap Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat (APKM) perempuan dan anak perempuan pesisir yang masih lemah. Mereka masih sulit mendapatkan akses informasi dan akses layanan air minum, sanitasi dan persampahan yang baik. Perempuan dan anak perempuan pesisir juga jarang sekali dilibatkan dalam pengambilan kebijakan pembangunan air minum, sanitasi, dan persampahan, sehingga kontrol terhadap hal tersebut pun lemah dan manfaat yang diterima tidak optimal. Sebagian besar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang terkait dengan air minum, sanitasi, dan persampahan juga kurang memahami isu gender, apalagi konsep Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI).

Isu perubahan iklim juga mendapat tantangan serius di tengah minimnya alokasi anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Belum ada upaya yang serius dari Pemerintah Daerah untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di kawasan pesisir, padahal dampaknya sudah sangat dirasakan oleh masyarakat pesisir, mulai dari banjir rob yang menyebabkan minimnya stok air minum, rusaknya infrastruktur dan fasilitas sanitasi, serta sampah yang naik ke daratan dan masuk ke area pemukiman nelayan, hingga pemanasan air laut yang menyebabkan minimnya varietas ikan dan menurunnya jumlah tangkapan nelayan.

Untuk itu, perlu adanya penguatan komitmen dan kebijakan tentang air minum, sanitasi, dan persampahan, baik berupa regulasi, program/kegiatan, maupun peningkatan alokasi anggaran. Anggaran yang sudah dialokasikan pun harus dikelola dengan lebih baik, agar serapannya tinggi dan memberi manfaat yang lebih besar bagi masyarakat pesisir, terutama perempuan, anak, dan penyandang disabilitas. Pemahaman tentang dampak lingkungan akibat perubahan iklim juga penting untuk terus diberikan kepada masyarakat pesisir agar lebih adaptif dan antisipatif.