Pertumbuhan ekonomi hijau berupaya mengurangi atau menghindari biaya biaya kerusakan lingkungan untuk mencapai pertumbuhan yang adil dan merata. Komitmen Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi hijau telah tertuang dalam komitmen nasional dan global. Untuk konteks nasional sejumlah butir NAWACITA mengamanatkan aksi tentang penguatan sektor kehutanan, serta membangun tata ruang dan lingkungan yang berkelanjutan (RPJPN 2005 2025). Untuk konteks global, komitmen Indonesia dalam pertumbuhan ekonomi hijau berkontribusi pada capaian Sustainable Deveopment Goals (SDGs), Nationally Determined Contribution (NDC) dan Dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2021 (LTS LCCR 2021 2021)3 dimana Indonesia berencana mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Meskipun demikian, jika melihat alokasi anggaran untuk perubahan iklim pada tahun 2018 dan 2019 trennya mengalami penurunan dan puncaknya pada tahun 2020. Sejumlah kebijakan realokasi dan refocusing Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat pandemi COVID19 pada tahun 2020 berdampak pada penurunan anggaran perubahan iklim menjadi Rp 77,81 triliun atau setara 41% dari anggaran perubahan iklim pada tahun 2018 yaitu sebesar Rp 132,47 triliun. Sehingga untuk mendorong inisiasi ekonomi hijau maka perlu membuat program transisi pemulihan hijaun yang lintas sektor dan lintas kemitraan.
Pemulihan hijau tidak hannya menjadi tugas Pemerintah Pusat (Pempus) tetapi juga menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah ( Pemda). Namun demikian, berbagaitantangan dihadapi pemda dalam menjalankan program pengendalian perubahan iklim antara lain lain;
- Ketidaksetaraan pemahaman risiko perubahan iklim diantara pemangku kepentingan daerah
- Ketiadaan perencanaan matang untuk program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
- Pendanaan program lingkungan hidup yang dilihat sebagai “ cost ” bukan investasi
- Kebergantungan anggaran yang tinggi terhadap transfer dari pusat, dan
- Proporsi anggaran belanja untuk lingkungan hidup yang masih sangat minim.
Tantangan semakin besar di tengah pandemi COVID 19 yang membuat keseimbangan anggaran daerah bergeser. Upaya refocusing dan realokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dilakukan Pemda sepanjang tahun 2020 2021 untuk penanggulangan COVID 19 mengorbankan anggaran yang diperlukan untuk kepentingan jangka panjang, termasuk anggaran untuk mendukung pendanaan pe rubahan iklim. Di dalam struktur APBD 2021, proporsi alokasi anggaran belanja untuk lingkungan hidup hanya sekitar 3% jika dibandingkan dengan pos belanja lainnya seperti pendidikan (34%), pelayanan umum (32%), kesehatan (11%), dan ekonomi (11%).
Inisiatif Pemulihan hijau dapat memainkan peran penting dalam rangka pemulihan pasca pandemi sekaligus sebagai transisi menuju ekonomi hijau. Inisiatif pemulihan hijau memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan, dan menciptakan lapangan pekerjaan untuk keluarga berpendapatan rendah dan menengah, dan pada sisi yang lain lebih baik untuk lingkungan, terutama mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, konservasi keanekaragaman hayati biodiversity ) dan kota sehat. Ia tidak hanya membangkitkan per tumbuhan dan menciptakan lapangan kerja, tetapi juga mengurangi ketergantungan karbon, melindungi ekosistem dan menurunkan kemiskinan
Di tengah berbagai usaha untuk memperkuat dan memandu inisiatif pemulihan hijau nasional, Melalui Program RESTORE (Response Toward Resilience)
United Nations Development Programme (UNDP Indonesia) bekerja sama dengan Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) ingin berkontribusi untuk memastikan inisiatif pemulihan hijau pasca pandemi menjadi prioritas perenc anaan dan penganggaran pembangunan daerah, sekaligus memastikan adanya sumber pendanaan tersedia untuk keberlanjutan pengembangan ekonomi hijau di daerah. Salah satunya dengan mengembangkan Kerangka transisi pasca pandemi dari kondisi BAU (Business as Usual) ke Ekonomi Hijau yang bisa digunakan oleh pemerintah daerah untuk memandu penyusunan rencana dan implementasi yang jauh lebih relevan dengan mempertimbangkan kondisi setiap daerah. Kerangka ini disusun dengan mengambil pilot pada empat provinsi yakni Riau, NusaTenggara Barat, Sulawesi Tengah dan Jawa Barat. Sejalan dengan itu, program ini juga bertujuan mengembangkan Kerangka Monitoring dan Evaluasi (Monev) Inisiatif Pemulihan Hijau di daerah yang diharapkan dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan dalam memantau dan mengevaluasi implementasi inisiatif pemulihan hijau di daerah.