Stunting, menurut WHO, merupakan masalah bagi suatu negara jika nilai prevelansinya di atas 20%. Indonesia termasuk negara dengan nilai prevalensi yang masuk dalam kategori tinggi, bahkan sempat menduduki posisi tertinggi ketiga di dunia. Oleh karena itu, sejak tahun 2013, Pemerintah telah menjadikan penurunan stunting sebagai prioritas yang ditandai dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Percepatan Perbaikan Gizi. Hal tersebut semakin diperkuat dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting (Perpres 72/2021) serta Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting (RAN PASTI) 2021-2024. Penurunan stunting semakin mendesak, sebab hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa Prevalensi Stunting Nasional Tahun 2022 masih sebesar 21,6%. Meskipun menurun 2,8% dari tahun 2021, namun jumlah tersebut masih kurang dari target pemerintah, yaitu 3,4% per tahun (Setwapres, 2023)
Secara global, berdasarkan data UNICEF dan WHO, angka prevalensi stunting Indonesia menempati urutan tertinggi ke-27 dari 154 negara yang memiliki data stunting. Bercermin dari praktik penanganan stunting di beberapa negara, penurunan prevalensi stunting secara signifikan membutuhkan waktu yang tidak singkat, bahkan ada yang lebih dari 25 tahun. Bank Dunia mencatat terdapat beberapa negara yang sukses menjalankan program pencegahan stunting diantaranya Peru, Thailand, Brazil, dan Vietnam. Peru mampu memangkas tingkat stunting dari 28% menjadi 13% dalam kurun waktu 8 (delapan) tahun, yakni dari 2008 hingga 2016. Namun perlu diketahui bahwa penurunan stunting di Peru selama periode tersebut tidak terlepas dari beberapa program yang telah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya. Sejak tahun 1970an dan 1980an, Pemerintah Peru telah berupaya mengurangi kelaparan dan malnutrisi. Sebagian besar upaya tersebut difokuskan pada program bantuan makanan yang dikoordinasikan terutama oleh organisasi nonpemerintah. Sementara itu, antara 1974 dan 2007, Brasil mampu menurunkan prevalensi stunting pada anak di bawah usia lima tahun dari 37,1 persen menjadi 7,1 persen.
Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia pada tahun 2022, yaitu sebesar 35,3%, meskipun tren Indeks Khusus Penanganan Stunting (IKPS) NTT mengalami kenaikan terbesar dalam lima tahun terakhir, sebanyak 4,3 poin. Sedangkan dalam konteks wilayah penelitian, Timor Tengah Selatan (TTS) menjadi kabupaten di Provinsi NTT dengan prevalensi stunting tertinggi di tahun 2022, yaitu sebesar 42,20%, sementara prevalensi stunting di Kabupaten Nagekeo adalah 30,50% (TPPS, 2023).
Anggaran untuk program penurunan stunting sebagian besar bersumber dari anggaran pemerintah pusat, baik yang dikelola kementerian maupun dana transfer yang dikelola pemerintah daerah dan desa. Menurut Kementerian Keuangan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memuat anggaran percepatan penurunan stunting yang dilaksanakan melalui tiga intervensi, yakni intervensi spesifik, intervensi sensitif, dan intervensi dukungan yang melibatkan berbagai instansi dan lintas sektor. Jumlah anggaran belanja pemerintah untuk mendukung percepatan penurunan stunting yaitu sebesar Rp34,15 triliun pada 2022 dan Rp30,4 triliun pada 2023 (KemenpanRB, 2023).
Dalam Perpres 72/2021, aspek penguatan perencanaan dan penganggaran penanganan stunting memiliki 4 (empat) indikator yang tersebar pada tiga dari lima pilar. Tiga pilar tersebut yaitu (i) Pilar 1 tentang peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di level kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa; (ii) Pilar 3 tentang peningkatan konvergensi intervensi spesifik dan intervensi sensitif di kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa; dan (iii) Pilar 5 tentang penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi.
Lampiran Perpres 72/2021 memuat Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting, termasuk di dalamnya paparan tentang keluaran dari kebijakan penguatan perencanaan dan penganggaran stunting yang berada di tiga pilar sebagaimana yang sudah disampaikan sebelumnya. Pada Pilar 1 tentang peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di level kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa, salah satu yang ditargetkan adalah persentase pemerintah daerah kabupaten/kota yang meningkatkan alokasi APBD untuk percepatan penurunan stunting. Adapun pada Pilar 3 tentang peningkatan konvergensi intervensi spesifik dan intervensi sensitif di kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa, targetnya adalah jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang mengintegrasikan program dan kegiatan percepatan penurunan stunting dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah (RPJPD, RPJMD, RAD Pangan dan Gizi, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, APBD, Rencana Kerja dan Anggaran Daerah). Kemudian pada Pilar 5 tentang penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi, keluarannya adalah tersedianya kajian anggaran dan belanja pemerintah untuk percepatan penurunan stunting.
Tidak hanya di level provinsi dan kabupaten/kota, kebijakan penganggaran menjangkau pula tingkat desa. Setidaknya sejak 2021 hingga 2023, prioritas penggunaan dana desa salah satunya tertuju kepada pencegahan stunting. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendes PDTT) Nomor 13 Tahun 2020 (prioritas dana desa tahun 2021), Permendes PDTT Nomor 7 Tahun 2021 (prioritas dana desa tahun 2022), dan Permendes PDTT Nomor 8 Tahun 2022 (prioritas dana desa tahun 2023) menetapkan bahwa penggunaan dana desa untuk program prioritas nasional yang sesuai dengan kewenangan desa (salah satunya) adalah pencegahan dan penurunan angka stunting. Bahkan melalui Permendes PDTT 7/2023, pencegahan dan penurunan stunting di desa masuk dalam prioritas penggunaan dana desa, tepatnya dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar, dan bidang pemberdayaan masyarakat (bagian dari penyelenggaraan promosi kesehatan dan gerakan masyarakat hidup sehat).
Dari aspek Public Financial Management (PFM) seperti dijelaskan di atas, jika dikaitkan dengan target penurunan stunting yang belum terpenuhi, maka terdapat dua kesimpulan sementara yang bisa diambil. Pertama, adalah bahwa alokasi anggaran yang sudah ada belum berhasil memenuhi kebutuhan pemerintah kabupaten untuk mendanai kegiatan percepatan penurunan stunting. Kedua, kurangnya pengawasan (pengendalian) terhadap pelaksanaan anggaran, perencanaan yang buruk, serta kurangnya kejelasan tentang lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas pengoperasian dan pemeliharaan telah menyebabkan tidak efektifnya penggunaan anggaran berdasarkan jumlah yang telah dialokasikan.
Oleh karena itu, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), bekerja sama dengan Seknas FITRA melakukan sebuah Studi Praktik Baik Model Penganggaran Penanganan Stunting. Studi tersebut dilaksanakan di dua kabupaten, yaitu TTS, dan Nagekeo yang mencakup 11 desa model penanganan stunting (3 desa di TTS dan 8 desa di Nagekeo). Studi ini mempunyai tujuan, antara lain: (1) memberikan masukan terhadap evaluasi pelaksanaan RAN PASTI 2021-2024 khususnya yang melibatkan pemangku kepentingan di daerah dan desa; (2) mempengaruhi policy narrative maupun keberlanjutan agenda pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang akan datang yang berkaitan dengan pencegahan stunting; serta (3) advokasi perencanaan dan penganggaran pencegahan stunting di masa depan terutama pada Program Implementation Area (PIA).