Oleh: Misbah Hasan dan Gurnadi Ridwan
Wacana penambahan kursi pimpinan MPR RI menjadi sepuluh kursi dilontarkan oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Tidak sedikit dari parpol lain juga meng’amini hal tersebut seperti PKS, Demokrat, dan Golkar. Bahkan terakhir PPP dan PKB tidak menutup kemungkinan jika jumlah pimpinan MPR ditambah. Gerindra melalui Fadli zon juga beranggarap bahwa penambahan kursi pimpinan MPR tidak menggau keuangan negara. Dasar dari penambahan kursi ketua MPR RI adalah untuk mengakomodasi kepentingan parpol akibat perebutan pos pimpinan MPR. Dengan penambahan kursi MPR menjadi sepuluh dengan rincian masing-masing fraksi mendapatkan satu kursi dan satu perwakilan DPD. Menanggapi hal tersebut *FITRA* sebagai elemen masyarakarat sipil memberikan beberapa catatan:
- Penambahan kursi pimpinan MPR RI sebenarnya tidak mendesak, mengingat jika melihat aktifitas dan beban kinerja pimpinan MPR RI dirasa tidak membutuhkan penambahan,
- Penambahan kursi pimpinan MPR tentu akan membutuhkan pembahasan dan revisi UU MD3. Saat ini pihak terkait tidak memberikan kajian terkait pentingnya penambahan kursi pimpinan MPR. Faktanya UU MD3 tersebut tidak masuk dalam legislasi nasional dan pada tahun 2018 sudah pernah diubah. Sehingga merevisi UU MD3 dalam waktu yang dekat akan menjadikan preseden buruk bagai kepemimpinan anggota dewan baru.
- Besarnya gaji dan oprasional pimpinan harus menjadi perhitungan, jika kita melihat pada pembahasan tahun lalu dimana penambahan satu pimpinan MPR kurang-lebih bisa memakan biaya mencapai Rp 115 miliar pertahun, jika ada 10 pimpinan, maka jumlah keuangan yang harus dikeluarkan untuk gaji dan oprasional bisa mencapai Rp 1,15 Triliun. Belum lagi renovasi gedung akibat penambahan jumlah pimpinan baru. Dan biaya sporting SDM pendukung seperti supir dan juga asisten rumah tangga.
Jika kita melihat anggaran MPR sendiri dalam empat tahun terakhir tidak mencapai Rp 1 triliun, artinya besarnya anggaran untuk penambahan kursi sepuluh pimpinan MPR bisa melampaui dari pagu anggaran organisasi MPR itu sendiri. Apa lagi mengingat kebutuhan akan belanja harus memperhatikan output dan outcome lembaga, jika tidak memiliki alasan yang jelas atas kebutuhan kursi pimpinan MPR maka sudah sepantasnya kebijakan tersebut ditolak dengan catatan. Jika tidak ditolak FITRA kawatir aka nada anggaran publik lain yang akan terpangkas, seperti sektor pendidikan dan kesehatan.