Oleh: Tim Peneliti Utang Seknas FITRA
Saat ini pemerintah sedang fokus pada pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Konsekuensinya belanja Negara jadi ekspansif, dan proporsi belanja semakin besar sementara penerimaan Negara (perpajakan, bea cukai, PNBP, dan hibah) tidak mencukupi sehingga Negara mengalami defisit.
Untuk menutup kekuarangan (defisit) mau tidak mau pemerintah harus utang. Berdasarkan catatan pemerintah, utang pemerintah digunakan untuk pembiayaan secara umum (general financing) dan untuk membiayai kegiatan/proyek tertentu. Utang Negara untuk pembiayaan defisit APBN adalah konsekuensi dari belanja Negara yang lebih besar dibanding pendapatan Negara.
Paling tidak terdapat beberapa indikator yang sering digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pengambian utang negara. Indikator pertama adalah rasio utang pemerintah terhadap PDB. Semakin meningkat rasio utang terhadap PDB maka risiko kegagalan kesinambungan fiskal semakin meningkat.
Sejak 2012 hingga 2018, terjadi peningkatan rasio utang terhadap PDB. Pada 2015, outstanding utang pemerintah mencapai Rp 3.165 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 27,4%. Kemudian pada 2018 akumulasi utang pemerintah menjadi Rp 4.220 triliun atau setara dengan 29,8% terhadap PDB.
Indikator kedua yang dapat dipakai untuk mengukur risiko utang pemerintah yaitu rata-rata tertimbang jatuh jatuh tempo pokok utang pemerintah pusat (average time to maturity/ATM). Indikator ATM utang pemerintah Indonesia mengalami penurunan dari 9,7 tahun pada 2014 menjadi 8,9 tahun per Juli 2017. Dengan penurunan rata-rata jatuh tempo pokok utang pemerintah tersebut, pemerintah perlu lebih berhati-hati dan menjaga jarak jatuh tempo utang menjadi lebih berjangka panjang (lebih dari 10 tahun).
Indikator risiko utang pemerintah ketiga adalah debt maturity yang mencerminkan proporsi utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek (1/3/5 tahun) terhadap total outstanding utang.
Secara umum, proporsi debt maturity atau utang jatuh tempo di bawah lima tahun mengalami peningkatan dari 61,7% pada tahun 2014 menjadi 71,3% per Juli 2017. Peningkatan porsi debt maturity utamanya disumbang oleh utang jatuh tempo dengan tenor 5 tahun, dari 32,4% pada 2012 menjadi 38,9% per Juli 2017.
Selain itu, hal yang juga perlu diwaspadai pemerintah yaitu terjadinya kenaikan porsi utang pemerintah yang jatuh tempo dalam 1 tahun, dari 7,2% pada 2012 menjadi 8,8% per Juli 2017.
Berdasarkan data terakhir yang didapat dari DJPPR Kemenkeu (Januari, 2018), profil jatuh tempo utang pemerintah dapat ditunjukkan dalam grafik berikut. Nilai jatuh tempo utang pemerintah menumpuk dalam periode 2018-2022. Pada 2018, nilai jatuh tempo utang pemerintah sebesar Rp396 triliun yang terdiri dari SBN sebesar Rp324 triliun dan pinjaman sebesar Rp72 triliun. Lalu pada 2019, nilai jatuh tempo utang pemerintah mencapai Rp356 triliun yang terdiri dari SBN Rp274 triliun dan pinjaman Rp82 triliun. Untuk mengurangi tekanan terhadap APBN dan stabilitas nilai tukar Rupiah, pemerintah perlu mengoptimalkan reprofiling struktur jatuh tempo utang sehingga dapat diarahkan pada pinjaman bertenor jangka panjang.
Indikator lain yang cukup relevan untuk mengukur risiko utang luar negeri pemerintah adalah dengan melihat rasio kewajiban pinjaman luar negeri terhadap cadangan devisa. Kewajiban pinjaman luar negeri terdiri dari pembayaran bunga dan pokok pinjaman pemerintah.
Sejak 2012, rasio kewajiban luar negeri pemerintah terhadap cadangan devisa terus mengalami penurunan, dari 7,9% pada 2012 menjadi 4,9% per Juli 2017. Hal ini mengindikasikan bahwa pembayaran kewajiban utang luar negeri pemerintah masih didukung oleh cadangan devisa yang mencukupi, sehingga tidak terlalu menggerus cadangan devisa yang berakibat pada volatilitas nilai tukar Rupiah.
Pembayaran Utang dibandingkan Penerimaan Pajak
Mungkinkah pemerintah tidak utang? Atau adakah negara di dunia ini yang tidak utang? Pertanyaan pertama tentu sangat penting dijawab, terutama bagi masyarakat awam. Sementara di sisi lain, Pemerintah menegaskan utang Negara untuk pembiayaan defisit APBN adalah konsekuensi dari belanja Negara yang lebih besar dari pada pendapatan Negara.
Untuk pertanyaan adakah negara di dunia ini yang tidak utang, jawabannya jelas: tidak ada negara di dunia yang tidak memiliki utang. Negara sebesar Amerika Serikat juga memiliki utang yang besar. Atau Negara kaya seperti Saudi Arabia juga memiliki utang. Bahkan Negara tetangga Singapura juga memiliki utang yang cukup besar.
Central government debt to GDP ratio tahun 2018, posisi Indonesia hanya sebesar 30, sementara Amerika Serikat sebesar 105, Arab Saudi 17 dan Singapura 111.
Sejak 2017, pembayaran bunga utang terus mengalami peningkatan. Pada 2017 pemerintah membayar bunga utang sebesar Rp216.60 triliun, naik 16% dibandingkan pada 2016 saat kemampuan pemerintah membayar bunga utang hanya sebesar Rp182.80 triliun.
Kemampuan pemerintah membayar bunga utang ini tidak lepas dari pertumbuhan pendapatan Negara. Di 2017, pendapatan Negara sebesar Rp1,339.80 triliun, sedang untuk tahun 2016 pendapatan Negara sebesar Rp1,285 triliun. Angka ini mengalami pertumbuhan 4% atau sebesar Rp54.80 triliun.
Pemerintah telah membayar bunga utang Rp251,1 triliun untuk periode Januari-November 2018, meningkat 19,3% dibanding tahun sebelumnya. Jika dibanding dengan tahun sebelumnya terjadi kenaikan pembayaran bunga utang pemerintah sebesar 16% atau sebesar Rp34,5 triliun.
Perbandingan Rasio utang dan Rasio pajak
Utang pemerintah pada dasarnya dimanfaatkan untuk kegiatan produktif sehingga dapat meningkatkan kapasitas ekonomi nasional sehingga berdampak positif terhadap kinerja penerimaan pajak.
Salah satu indikator untuk melihat kinerja perpajakan ialah melalui rasio penerimaan pajak terhadap PDB (Tax Ratio). Peningkatan utang idealnya dibarengi dengan peningakatan tax ratio sehingga dapat menjamin pembayaran kewajiban utang di masa mendatang.
Pada grafik di bawah terlihat bahwa peningkatan rasio utang terhadap PDB sejak 2013-2017 berbanding terbalik dengan penurunan tax ratio. Baru pada tahun 2018, tax ratio mengalami peningkatan dari 10,7% pada 2017 menjadi 11,5% pada 2018.
Komparasi Beban Utang dengan Belanja Lainnya
Salah satu komponen utama yang menjadi beban utang pemerintah yang harus dikeluarkan selama kurun waktu tertentu atas perolehan pokok utang yaitu bunga utang. Sebetulnya ada biaya-biaya lain yang terkait pengadaan pinjaman luar negeri seperti commitment fee, management fee, dan premi asuransi. Namun pada penjelasan kali ini beban utang hanya difokuskan pada bunga utang saja.
Untuk mengukur sejauh mana pembayaran bunga utang menjadi beban fiskal, maka dapat dilihat perbandingan pembayaran bunga utang baik dengan belanja negara maupun dengan belanja pemerintah pusat.
Pada 2014, rasio pembayaran bunga utang terhadap belanja negara sebesar 7,5%. Rasio tersebut terus meningkat hingga mencapai 11,3% pada APBN 2019. Selain itu, rasio pembayaran bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat juga terus meningkat dari 11,1% pada 2014 menjadi 17,1% pada APBN 2019. Data tersebut menunjukkan bahwa pembayaran bunga utang semakin menggerus porsi belanja pemerintah sehingga ada porsi belanja pemerintah lainnya yang dikorbankan.
Penyebab utama meningkatnya beban bunga utang pemerintah adalah karena tingginya biaya Surat Berharga Negara (SBN). Sebagai perbandingan, tingkat imbal hasil (yield) SBN Indonesia bertenor 10 tahun saat ini sudah menembus level 8%, paling tinggi dibandingkan SBN negara-negara kawasan ASEAN seperti Malaysia (4%), Filipina (6,2%), Thailand (2,2%), dan Vietnam (5%).
Di tengah melesatnya kenaikan proporsi pembayaran bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat (17,2% pada APBN 2019), proporsi belanja pemerintah lainnya mengalami penurunan. Subsidi menyusut dari 32,57% pada 2014 menjadi 13,74% pada APBN 2019. Begitupun dengan porsi Belanja Sosial yang mengalami penurunan dari 8,14% pada 2014 menjadi 6,42% pada APBN 2019. Sementara itu, porsi Belanja Modal yang pernah menyentuh 18,21% pada 2015, kini hanya mencapai 13,18% pada APBN 2019.
Utang Indonesia, Amankah?
Bila merujuk pada PDB, secara umum hingga 2019, rasio utang pemerintah terhadap PDB yang masih berada di level aman.
Berdasarkan data Trading Economics dalam Basri, 2019, rasio utang pemerintah terhadap PDB Indonesia masih lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN seperti Thailand (42%), Filipina (42%), Malaysia (51%), dan Vietnam (62%). Bahkan lebih kecil apabila dibandingkan dengan negara-negara emerging markets lainnya, seperti Brasil (74%), India (69%), Afrika Selatan (53%), dan China (48%).
Analisis ini telah dipublikasikan di www.infoanggaran.com tanggal 08-03-2020 16:35WIB