Skip to main content
Uncategorized

Menanti Pelacakan Perusahaan Cangkang

By October 18, 2021December 20th, 2021No Comments6 min read
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta Convention Center, 18 Desember 2017

Jakarta, 18 Oktober 2021 – Pemerintah didesak menyelidiki temuan dokumen Pandora Papers yang menguak perusahaan cangkang milik sejumlah pejabat publik dan politikus yang berlokasi di negara suaka pajak. Dua lembaga, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Direktorat Jenderal Pajak, diminta bekerja sama mengusut temuan tersebut.

Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan, mengatakan pemerintah harus menyelidiki temuan itu untuk mencegah tindak kejahatan atau kerugian negara dari pembuatan perusahaan cangkang di negara suaka pajak. Sebab, kata dia, pendirian perusahaan cangkang bisa bertujuan menghindari pajak. “Kalau ada indikasi itu, jelas suatu pelanggaran. Apalagi ada pejabat yang terlibat,” ujar dia, kemarin.

Misbah menuturkan, BPK bisa melakukan audit investigatif atas temuan Pandora Papers. BPK, menurut dia, bisa bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak untuk mengusut lebih dalam potensi kerugian negara dari pembentukan perusahaan cangkang yang bertujuan menghindari pajak.

Terungkapnya sejumlah nama pejabat publik pemilik perusahaan cangkang bermula dari Pandora Papers, dokumen yang berisi bocoran data finansial dari 14 agen perusahaan offshore di negara suaka pajak. Konsorsium Internasional Jurnalis Investigatif atau International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) memperoleh bocoran data tersebut dari sumber anonim.

Dari dokumen itu, dua pejabat publik, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto serta Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, disebut-sebut punya perusahaan cangkang masing-masing di British Virgin Islands dan Panama. Airlangga disebut mendirikan Buckley Development Corporation dan Smart Property Holdings Limited. Adapun Luhut disebut-sebut menghadiri rapat direksi perusahaan bernama Petrocapital S.A., yang terdaftar di Republik Panama, pada 2007-2010. Bukan kali ini saja tercantum dalam persoalan perusahaan cangkang, nama Luhut juga terseret skandal hampir sama pada 2016: Panama Papers.

Selain itu, ada nama Chairul Tanjung, Menteri Koordinator Perekonomian pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut dokumen itu, Chairul bersama adiknya, Chairal Tanjung, mendirikan Mintville Corporation di British Virgin Islands pada 2010. Pendiri CT Group ini mendirikan perusahaan cangkang untuk mengurus kepemilikan jet Gulfstream G-550.

Airlangga mengklaim tidak mengetahui pendirian Buckley Development dan Smart Property. Adapun Luhut, melalui juru bicaranya, Jodi Mahardi, menyatakan hanya menjabat eksekutif Petrocapital selama tiga tahun sejak 2007. Sedangkan Peter Gontha, juru bicara Chairul, menjelaskan bahwa pendirian perusahaan cangkang untuk mengurus pembelian pesawat merupakan hal biasa. Alasannya, kata Peter, kalau mau beli pesawat, leasing selalu memakai perusahaan di British Virgin Islands karena leasing company di Indonesia belum dipercaya.

Misbah mengatakan laporan mengenai kepemilikan perusahaan cangkang juga pernah diungkap dengan bocornya dokumen Panama Papers pada 2016. Dokumen milik firma hukum Mossack Fonseca tersebut kala itu menyebutkan empat nama menteri Joko Widodo memiliki perusahaan cangkang di negara-negara suaka pajak. Nama Luhut, salah satu menteri, tercantum dalam Panama Papers. Ia disebut sebagai Direktur Mayfair International Ltd, perusahaan cangkang di Republik Seychelles, pada 2006. Tapi Luhut membantah mendirikan Mayfair. “Skandal Panama Papers dan Pandora Papers menjadi perhatian serius pemerintah untuk menindaklanjutinya,” ucap Misbah.

Keberadaan perusahaan cangkang, Misbah melanjutkan, juga berpotensi merugikan negara saat pemerintah menerapkan kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak dan repatriasi jilid II. Sebab, perusahaan cangkang dalam dokumen Panama dan Pandora Papers tidak pernah tercatat dalam pengampunan pajak jilid I sebelumnya. “Padahal itu potensi penerimaan pajak yang cukup besar.”

Dalam pengampunan pajak dan repatriasi jilid I, kata dia, pemerintah gagal karena tidak mencapai target. Pemerintah harus belajar dari kegagalan pengampunan pajak tahap sebelumnya untuk menjalani jilid II. “Ini seharusnya dikejar oleh pemerintah sekaligus menerbitkan regulasi yang mengatur punishment bagi perusahaan-perusahaan cangkang tersebut,” ujar Misbah.

Misbah mengatakan penerimaan pajak berpotensi hilang dan beban defisit anggaran semakin berat jika pemerintah tidak menindaklanjuti temuan ini. Dampaknya, Indonesia bisa terjerat utang yang luar biasa besar. Hal lain, kata dia, pembiaran kasus tersebut dapat menurunkan tingkat kepercayaan global, terutama investor, karena tidak adanya kepastian hukum.

Di beberapa negara, kata Misbah, pejabat yang tersangkut kasus semacam ini berani mundur dari jabatannya. “Contohnya di Islandia dan Spanyol,” katanya. Menurut dia, citra pemerintah bakal semakin buruk jika mengabaikan temuan ini. “Terutama di mata wajib pajak yang taat. Seakan-akan ada diskriminasi perlakuan.”

Peneliti dari Transparency International Indonesia, Ferzian Yazid, mendorong Direktorat Jenderal Pajak memeriksa nama-nama wajib pajak yang terungkap dalam dokumen Pandora Papers. Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tahu apakah perusahaan wajib pajak mengalihkan keuntungan kepada perusahaan-perusahaan cangkang tersebut. Data-data ini harus dipakai untuk menelusuri pengalihan ini seperti yang dilakukan negara lain, kata Ferzian.

Menurut catatan Transparency International, Denmark menjadi satu-satunya negara di dunia yang benar-benar serius menindaklanjuti dokumen investigasi sebelumnya, yakni Panama Papers. Negara itu membeli dokumen dari seorang pembocor seharga sekitar US$ 1 juta (atau sekitar Rp 14 miliar) untuk menelusuri kemungkinan penghindaran pajak dari wajib pajak Denmark.

Pada Juni lalu, setelah hampir lima tahun menelusuri dokumen tersebut, pemerintah Denmark mengumumkan temuan tagihan pajak US$ 70 juta nyaris Rp 1 triliun dari 250 wajib pajak perorangan dan perusahaan yang selama ini disembunyikan di negara suaka pajak.

Menurut Ferzian, Direktorat Jenderal Pajak seharusnya melakukan langkah serupa. Apakah dengan membeli dokumen seperti yang dilakukan Denmark atau meminta bantuan Tempo yang memiliki dokumen ini, katanya. Tempo menjadi satu-satunya media di Indonesia yang terlibat dalam kolaborasi liputan internasional Panama Papers, Paradise Papers, dan Pandora Papers.

Pemerintah masih bergeming saat dimintai konfirmasi perihal terungkapnya dua nama menteri kabinet Presiden Jokowi dalam bocoran data Pandora Papers. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Menteri Sekretariat Negara Pratikno tidak merespons pesan pendek dan sambungan telepon Tempo untuk meminta konfirmasi atas temuan tersebut.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. enggan berkomentar banyak. “Tanya ke yang ahli perusahaan saja,” ujarnya, kemarin. Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, Panutan Sulendrakusuma, dan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, menyatakan belum bisa memberi keterangan berkaitan dengan sikap pemerintah terhadap temuan tersebut.

Direktorat Jenderal Pajak menyebutkan pendirian perusahaan cangkang, seperti yang terekam dalam Pandora Papers, di negara suaka pajak dapat menimbulkan dugaan menyembunyikan atau menghindari pajak oleh wajib pajak. Kami telah melakukan berbagai upaya preventif, kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Neilmaldrin Noor.

Sumber: https://koran.tempo.co/read/berita-utama/468507/pemerintah-didesak-usut-temuan-pandora-papers