Oleh: Misbah Hasan
Memasuki tahun ketiga masa jabatan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, polemik terkait keterbukaan informasi anggaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI harusnya tidak perlu terjadi. Namun kenyataannya, masyarakat menganggap ada kemunduran signifikan atas prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan daerah yang transparan, partisipatif, akuntabel, dan responsif di DKI Jakarta, khususnya dalam proses penyusunan APBD. Hal ini ditandai dengan keengganan Pemprov. DKI mengunggah Rancangan KUA-PPAS 2020 dalam website resmi mereka. Keengganan ini dapat berpengaruh terhadap rendahnya kualitas partisipasi warga DKI dan turunnya kepercayaan masyarakat atas akuntabilitas pengelolaan anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Dalam perspektif hak, azas keterbukaan informasi atau transparansi merupakan prasyarat utama akuntabilitas pemerintah kepada warganya atau sering disebut dengan akuntabilitas sosial. Transparansi berkonsekuensi terhadap pemenuhan hak atas informasi (right to know) bagi masyarakat. Masyarakat memiliki hak untuk tahu apa yang akan, sedang, dan telah dikerjakan oleh Pemerintah Provinsi DKI, baik pada tahap perencanaan pembangunan, proses penganggaran, hingga tahap implementasi dan pertanggungjawaban anggaran. Untuk itu, Pemerintah Provinsi DKI wajib menyediakan media yang mempermudah masyarakat memperoleh informasi yang dibutuhkan, misalnya dengan melalui website, baliho, poster, infografis anggaran, papan pengumuman, atau media informasi lainnya.
Informasi anggaran yang didapatkan oleh warga DKI diharapkan mampu mendorong terjadinya diskursus di tingkatan masyarakat (public discourse) dan meningkatkan jumlah warga DKI yang mau terlibat dan berpartisipasi dalam seluruh proses perencanaan, penganggaran, dan tahapan pembangunan berikutnya di DKI. Konsep partisipasi dalam perspektif hak melahirkan hak masyarakat untuk diundang dan terlibat dalam pembangunan (right to involve), khususnya bagi kelompok perempuan, lanjut usia (lansia), anak, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lainnya.
Selain mendorong secara kuantitas jumlah warga DKI yang mau terlibat dalam proses pembangunan, dengan menguasai informasi, misalnya terkait Rancangan Kebijakan Anggaran serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) yang sedang dibahas antara Tim Anggaran Pemerintah Provinsi DKI (TAPD) dengan Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI, masyarakat dapat memantau apakah usulan-usulan yang disuarakan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan telah tertuang dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) masih terakomodir dalam KUA-PPAS tersebut atau tidak.
Dengan adanya transparansi dan partisipasi masyarakat, Pemerintah Provinsi DKI diharapkan lebih akuntabel dalam menyusun dan mengelola anggarannya. Artinya, program, kegiatan, dan anggaran yang telah direncanakan dapat dilaksanakan secara optimal, berkinerja baik – dapat diukur masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), penerima manfaat (beneficiaries), dan dampaknya (impact), serta dapat dipertanggungjawabkan (audited), baik kepada DPRD DKI, Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri), maupun kepada warga DKI sebagai ‘subyek’ dan penerima manfaat utama anggaran DKI. Dalam konteks hak, prinsip akuntabilitas ini melahirkan hak masyarakat untuk melakukan klaim (right to claim) atas kinerja Pemerintah Provinsi DKI.
Ketiga prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di atas bila dijalankan dengan benar akan mampu memberi manfaat yang besar (responsiveness) tidak hanya bagi perbaikan tata kelola perencanaan dan penganggaran DKI, tetapi juga peningkatan kesejahteraan warga DKI, terutama bagi warga miskin, kelompok perempuan, penyandang disabilitas, lansia, anak, dan kelompok rentan lainnya. Tentu saja bila Pemerintah Provinsi DKI lebih responsif terhadap kebutuhan yang berbeda antar kelompok warga tersebut. Di sinilah apa yang dimaksud dengan prinsip efisiensi dan efektifitas anggaran telah dijalankan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Mengakhiri polemik tata kelola anggaran yang terjadi di DKI saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu menerapkan konsep Akuntabilitas Sosial yang dimaknai sebagai tindakan dan mekanisme yang diinisiasi oleh warga dan/atau organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk menjamin pemerintah atau pemerintah daerah, politisi dan penyelenggara pelayanan publik bertanggung jawab atas tindakan dan kinerja dalam menyelenggarakan pelayanan, meningkatkan kesejahteraan dan melindungi hak-hak rakyat (ANSA-EAP, 2010). Dan prasyarat akuntabilitas sosial tersebut adalah adanya transparansi pemerintah daerah dan mendorong lahirnya masyarakat yang aktif (active citizen), khususnya di DKI Jakarta.
*Penulis adalah Sekjen FITRA periode 2018-2020. Lahir di Jepara, 14 Juli 1976 dan mengenyam kuliah di Universitas Darul Ulum Jombang, Jawa TImur. 15 tahun lebih berkecimpung dan aktif di dunia NGOs. Fokus isu yang didalami antara lain terkait dengan ekonomi makro, tata kelola pemerintahan, anggaran (APBN/APBD), dan kebijakan publik.