Oleh: Misbah Hasan*.
Beberapa hari terakhir kita dikejutkan dengan beredarnya 64 nama calon anggota BPK yang dirilis oleh DPR. Dari nama-nama yang muncul, 15 orang di antaranya berasal dari partai politik, sebagian berlatar belakang pengusaha, akademisi, incumbent BPK dan perwakilan BPK daerah, serta sedikit dari organisasi masyarakat sipil. Tentu ini mengecewakan. Padahal, BPK punya peran strategis dalam menjaga dan memperbaiki kredibilitas pengelolaan keuangan lembaga negara dan upaya pencegahan korupsi.
Kekecewaan publik pertama karena minimnya sosialisasi dan sempitnya masa pendaftaran seleksi anggota BPK. Praktis hanya dua minggu waktu yang disediakan oleh Komisi XI DPR RI bagi publik untuk mendaftarkan diri menjadi anggota BPK. Ini pun mundur dari jadwal sebelumnya yang mestinya pertengahan Mei 2019 menjadi 17 Juni hingga 1 Juli 2019. Di tengah riuhnya sidang Mahkamah Konstitusi atas sengketa Pilpres 2019 dan ramainya seleksi calon pimpinan KPK, proses pendaftaran seleksi anggota BPK nyaris tidak terdengar.
Kekecewaan kedua adalah longgarnya persyaratan dalam pendaftaran seleksi anggota BPK. Pada pasal 13 huruf d UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) menyebutkan bahwa calon anggota BPK harus memiliki integritas moral dan kejujuran. Selama ini, integritas moral dan kejujuran susah sekali diukur indikatornya, kecuali melalui selembar Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Rekam jejak (track record) calon anggota BPK pada saat mereka berkiprah di lembaga sebelumnya jarang sekali menjadi pertimbangan.
Kekecewaan publik ketiga adalah ketiadaan tim Panitia Seleksi yang independen sebagaimana pemilihan KPK. Pasal 14 ayat (1) UU BPK menyatakan bahwa pemilihan calon anggota BPK dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Di sinilah salah satu titik masalahnya selama ini. Proses terpilihnya 64 bakal calon anggota BPK yang sebagian besar didominasi para politisi mengindikasikan bahwa terjadi konflik kepentingan dalam proses ini.
Padahal, anggota BPK RI periode 2019-2024 ke depan mempunyai tantangan besar untuk mengembalikan marwah organisasi yang mulai meredup. Jamak diketahui bahwa BPK saat ini terlalu mudah memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, Bank Indonesia, BUMN/BUMD, dan lembaga publik yang mendapat kucuran anggaran dari APBN/APBD, padahal banyak temuan indikasi penyimpangan keuangan dan pencatatan aset yang belum baik. Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan publik. Hal ini diperparah dengan terjadi kasus demi kasus yang menerpa anggota BPK maupun auditor BPK, dari pelanggaran kode etik, terindikasi menerima gratifikasi hingga terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
Beberapa kasus yang pernah menerpa BPK di antaranya adalah kasus suap Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terhadap PT. Jasa Marga (Persero) pada Tahun 2017 berupa satu unit sepeda motor Harley Davidson Sportster 883, yang melibatkan Sigit Yugoharto, Auditor Madya pada Sub Auditorat VII B2 BPK. Kasus lain adalah dugaan gratifikasi atas pengurusan Dana Insentif Daerah (DID) Tahun Anggaran 2018 untuk Kota Balikpapan dan Kabupaten Tabanan Bali yang melibatkan Wakil Ketua BPK dan pejabat di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan. Besaran gratifikasi kasus DID Tabanan mencapai Rp 600 juta dan 55 ribu dolar Amerika, sedang gratifikasi kasus DOD Kota Balikpapan sebesar Rp 1,3 milyar.
Kasus berikutnya adalah jual beli opini BPK yang melibatkan Auditor Utama AKN 3 dan Kepala Sub Auditorat III Auditorat Keuangan Negara BPK atas Laporan Keuangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Tahun Anggaran 2016. Tersangka didakwa menerima suap Rp 200 juta dan terbukti menerima 1 mobil Honda Odyssey. Sedangkan, Kepala Sub Auditor III BPK didakwa menerima suap sebesar Rp 240 juta, uang Rp 10,5 miliar, 80.000 dolar Amerika Serikat, dan hadiah berupa satu unit mobil Mini Cooper tipe S F57 Cabrio A/T. Baru-baru ini, anggota IV BPK RI, Rizal Djalil juga bergulat dengan dugaan ‘dagang audit’ proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Tahun Anggaran 2019.
Dengan banyaknya kasus yang menerpa BPK di atas, calon anggota BPK ke depan dituntut tidak cukup hanya mempunyai kemampuan teknis audit keuangan semata, tetapi juga memiliki integritas yang tinggi, bebas dari kasus korupsi, profesional, dan lepas dari konflik kepentingan, terutama dengan Partai Politik. Kedua, KPK perlu terus mengawasi jalannya seleksi calon BPK saat ini karena dikhawatirkan terjadinya ‘transaksi gelap’ yang dilakukan antara Tim Seleksi dengan calon anggota BPK yang sudah terpilih. Ketiga, dalam jangka menengah, DPR harus mulai membahas revisi UU BPK yang sebelumnya sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019 atas usulan pemerintah dan memasukkan pasal tentang pembentukan Panitia Seleksi Calon Anggota BPK yang independen, sebagaimana Tim Seleksi KPK. Keempat, seluruh proses seleksi anggota BPK harus lebih transparan dan melibatkan masyarakat secara luas. Kontrol masyarakat penting untuk tetap menjaga marwah BPK.
*Penulis adalah: Sekretaris Jenderal FITRA periode 2018-sekarang. Saat ini sedang menyelesaikan kuliah Kajian Gender di Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Lebih dari 15 tahun aktif di dunia NGOs. Fokus isu yang didalami antara lain terkait dengan ekonomi makro, anggaran publik (APBN/APBD), kesetaraan gender, dan kebijakan publik.