Penulis : Yenti Nurhidayat*.
Belakangan ini, jagat media Indonesia diramaikan oleh isu Omnibus Law sebagai senjata pamungkas untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Omnibus Law sendiri disebut secara eksplisit dalam pidato pertama Presiden Jokowi setelah dilantik pada 20 Oktober 2019.
Presiden menyebutkan bahwa Omnibus Law ini akan menyederhanakan kendala regulasi yang berbelit-belit dan panjang. Kedua, Omnibus Law ini juga akan memperkuat perekonomian nasional dengan memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian dalam perlambatan ekonomi global.
Memahami Omnibus Law
Omnibus Law termasuk hal yang baru di Indonesia walaupun negara-negara lain telah menerapkan seperti Amerika Serikat (The Omnibus Act of June 1868, The Omnibus Act of February 22,1889), Kanada (Criminal Law Amandment Act, 1968-69), dan Filipina (Tobacco Regulation Act of 2003).
Selain itu, ada 39 negara yang mengadopsi Omnibus Law dalam hal perlindungan data personal. Ke-39 negara itu adalah Argentina, Australia, Austria, Belgium, Canada, Chile, Czech Republic, Denmark, Estonia, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Israel, Italy, Japan, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Malta ,The Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Romania , Russia, Slovak Republic, Slovenia, Spain, Sweden, Switzerland, Taiwan, Thailand, dan United Kingdom[1]
Omnibus Law dalam Kamus Hukum Merriam-Webster dikenal juga sebagai Omnibus Bill, yaitu undang-undang yang mencakup berbagai isu atau topik. “Omnibus” sendiri berasal dari Bahasa latin yang berarti “segalanya”.
Sementara dalam Black Law Dictionary Ninth Edition, Bryan A Garner menyebut Omnibus: relating to or dealing with numerous object or item at once ; inculding many thing or having varius purposes[2].
Menyesuaikan dengan definisi tersebut, jika dikontekskan dengan UU, maka dapat dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan sebuah kebijakan tertentu, yang tercantum dalam dalam berbagai UU, ke dalam satu UU payung.
Konsep Omnibus Law yang diterapkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belgia, Inggris menawarkan pembenahan permasalahan yang timbul akibat konflik dan tumpang tindih (overlapping) suatu norma/peraturan perundang-undangan.
Sementara di Indonesia, sebagian besar ahli hukum sepakat penerapan konsep Omnibus Law akan dapat menyelesaikan beberapa persoalan sengketa regulasi di Indonesia, antara lain:
Mengatasi konflik peraturan perundangundangan secara cepat, efektif, dan efisien;
Menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun didaerah untuk menunjang iklim investasi;
Pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien, dan efektif;
Mampu memutus rantai birokrasi yang berlama-lama;
Meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu;
Adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.
Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
Saat menyampaikan pidato pelantikan pada 20 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo RI menyampaikan bahwa “Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua UU besar. Yang pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Yang kedua, UU Pemberdayaan UMKM. Masing-masing UU tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU”.
Secara umum, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bertujuan untuk penguatan perekonomian untuk penciptaan dan perluasan lapangan kerja melalui peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan serta perlindungan UMKM.
Muatan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sendiri terdiri atas 11 klaster[3]. Hingga kini 79 Undang-Undang (UU) dan 1.244 pasal telah direvisi terkait UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang telah diselesaikan oleh pemerintah hingga Rapat Terbatas (Ratas) 15 Januari 2020[4].
Omnibus Law dan Tantangan ke depan
Omnibus Law di satu sisi memberikan banyak kemudahan bagi masuknya investasi yang diharapkan dapat membuka lapangan kerja baru, terutama di daerah. Namun di sisi lain, rencana pengesahan undang-undang ini mendapat banyak tentangan dan kritik dari berbagai kalangan.
Salah satu pihak yang menentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah kelompok buruh. Pada 20 Januari 2020 lalu, ratusan buruh yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh menggelar aksi demo menolak Omnibus Law.
Setidaknya ada lima alasan penolakan kelompok buruh terhadap RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Sebab, aturan tersebut dinilai akan semakin memiskinkan kelas buruh Indonesia. Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menilai RUU Cipta Lapangan Kerja kian memudahkan pemutusan hubungan kerja (PHK), pengurangan pesangon secara besar-besaran, perluasan jenis pekerjaan kontrak (outsourcing), perhitungan upah berdasarkan jam kerja, dan lainnya[5].
Kritik lain datang dari ekonom Faisal Basri. Dia menilai Omnibus Cipta Lapangan Kerja yang menimbulkan gejolak di kalangan buruh akan merugikan banyak pihak. Sebab, kemudahan untuk investor melalui Omnibus Law terlalu kebablasan dan merugikan masyarakat[6].
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengingatkan agar DPR dan Pemerintah berhati-hati dengan penerapan konsep Omnibus Law. Omnibus Law memiliki karakteristik khusus yang dapat membahayakan demokrasi.
Oleh karena itu, pembahasan Omnibus Law perlu dilakukan secara transparan dan partisipatif. DPR dan pemerintah harus membuka akses informasi dan melibatkan masyarakat secara luas. PSHK juga berharap agar DPR dapat menjadi penyeimbang yang efektif melalui peran check and balances terhadap pemerintah dalam menyusun Omnibus Law.[7]
Penolakan dan kritik yang dilontarkan oleh kelompok-kelompok masyarakat ini bukanlah hal yang tidak berdasar dan tanpa kajian. Hampir sepanjang usia kemerdekaan Indonesia, konflik pengelolaan sumber daya alam, kerusakan lingkungan, dan budaya disebabkan oleh eksploitasi besar-besaran terhadap kekayaan alam Indonesia. Tanpa karpet merah saja, dampak-dampak eksploitasi oleh investor dan pemilik modal sudah begitu membekas, apalagi sekarang karpet merah dibentangkan seluas-luasnya.
Persoalan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi tidak hanya terkait kemudahan perizinan, tetapi juga bagaimana menjaga sustainability dan keadilan bagi masyarakat lainnya. Tantangan inilah yang seharusnya menjadi pembahasan yang ketat dalam penyusunan RUU Omnibus Law.
Dengan kata lain, jangan sampai UU Omnibus law Cipta Lapangan Kerja ini menjadi ”UU Cilaka” yang memberi ruang bagi modus baru praktik korupsi.
*Penulis adalah Peneliti sekaligus Knowledge Management Manager di Seknas FITRA.
Analisis ini telah dipublikasikan di www.infoanggaran.com tanggal 19-02-2020 14:57 WIB