Oleh: Misbah Hasan*.
Langkah Partai NasDem menyelenggarakan sekolah legislatif bagi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) terpilih dari partainya patut mendapat apresiasi. Pertanyaannya, seberapa besar publik dapat berharap pada kinerja anggota DPR Partai NasDem ini ke depan?
Pertanyaan ini patut dikemukakan mengingat buruknya hasil evaluasi atas kinerja DPR periode sebelumnya. Dalam bidang legislasi, DPR Periode 2014-2019 hanya mampu melahirkan tidak lebih dari tiga undang-undang (UU) setiap tahunnya.
Dari sisi fungsi anggaran dan pengawasan, DPR lebih banyak mementingkan diri dan golongannya jika dibandingkan dengan kepentingan rakyat. Banyak anggota dewan yang justru terlibat kasus korupsi jika dibandingkan dengan menjalankan fungsi pengawasan atas pelaksanaan anggaran.
Masyarakat sendiri cenderung ragu akan kualitas DPR terpilih periode 2019-2024 saat ini. Padahal, sebagai salah satu lembaga tinggi negara, DPR punya peran strategis dalam mewarnai pencapaian arah kebijakan pembangunan nasional.
PR internal
Keraguan atas kinerja dewan ke depan musti dijawab anggota dewan dengan mulai membangun kepercayaan (trust) publik. Caranya ialah dengan mengidentifikasi persoalan yang membelit dewan secara kelembagaan. Contoh kasus, Pada 2017, pimpinan dan anggota DPR telah menghabiskan anggaran perjalanan dinas hingga Rp845,5 miliar.
Angka ini naik signifikan jika dibandingkan dengan anggaran perjalanan dinas tahun sebelumnya yang terserap sebesar Rp682,4 miliar. Jumlah tersebut 62% digunakan untuk perjalanan dinas dalam negeri dan selebihnya digunakan untuk perjalanan dinas luar negeri.
Meski setiap anggota DPR diberi kelonggaran yang sangat besar mengelola uang perjalanan dinasnya, toh BPK masih menemukan indikasi pembelian tiket fiktif senilai Rp2,05 miliar (2015), perjalanan fiktif, hingga yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp945,46 miliar (2016), dan ketidaksesuain biaya perjalanan dinas dalam negeri sebesar Rp76,9 juta (LHP BPK, 2015-2017).
Kelonggaran lain yang dimanfaatkan anggota DPR ialah penggunaan dana reses untuk kebutuhan lain. Penulis pernah menyampaikan kritik bahwa reses yang dilakukan DPR tidak efektif karena tidak mempunyai indikator capaian yang jelas dan cenderung menghamburkan anggaran negara. Hal ini diperparah dengan masih digunakannya PP No 61 Tahun 1990 tentang Perjalanan Dinas DPR sebagai acuan untuk memanfaatkan ruang abu-abu dan praktik akuntabilitas semu.
Penulis katakan ‘akuntabilitas semu’ karena ketentuan pertanggungjawaban perjalanan dinas DPR hanya melampirkan ‘surat perintah perjalanan dinas’ atas nama yang bersangkutan dan kuitansi atau tanda bukti penerimaan biaya perjalanan dinas (lumsum), bukan berdasar actual cost dan dilampiri laporan narasi hasil perjalanan dinas.
Ketentuan ini sebenarnya merujuk pada perkembangan akuntansi modern yang sudah lama meninggalkan mekanisme lumsum. Mengingat, Setiap rupiah yang dikeluarkan lembaga negara, termasuk DPR harus dapat dipertanggungjawabkan secara real cost disertai dengan keluaran (output) yang jelas.
Tidak hanya ruang abu-abu di atas, ada ruang lebih gelap yang juga terus dirawat DPR hingga kini, yakni arena pembahasan anggaran. Tercatat sebanyak 121 orang anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi sepanjang 2015 hingga Mei 2018 karena tersesat di ruang gelap ini. Modus yang dilakukan beragam, tapi sebagian besar terkena suap terkait pembahasan anggaran.
Masih kuat dalam ingatan kita kasus KTP elektronik (KTP-E) yang menjerat mantan Ketua DPR dari Fraksi Golkar dan diduga merugikan keuangan negara lebih dari Rp2,3 triliun. Sebelumnya, mantan anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat terkena operasi tangkap tangan (OTT) dengan sangkaan menerima suap sebesar US$D40 ribu dan Rp500 juta untuk mengegolkan rencana pembangunan 12 ruas jalan proyek Sumatra Barat dalam APBN Perubahan 2016.
Ada juga kasus Wakil Ketua DPR dari Fraksi PAN yang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima hadiah atau janji sebesar Rp3,65 miliar terkait dengan perolehan anggaran DAK fisik untuk Kabupaten Kebumen pada APBN Perubahan 2016.
Open parliament
Dengan masih luasnya ruang abu-abu dan ruang gelap di gedung parlemen saat ini, calon anggota DPR terpilih perlu membangun komitmen diri, internal partai, maupun secara kelembagaan dewan untuk lebih transparan dan akuntabel.
Platform ‘open parliament’ dengan menjadikan lembaga legislatif lebih terbuka dan responsif terhadap kepentingan masyarakat luas penting untuk kembali dikumandangkan. Ide open parliament telah digagas bersama antara pemerintah, DPR, dan organisasi masyarakat sipil sejak 2012, tadi redup.
Open parliament merupakan sebuah inisiatif yang bertujuan mendorong agar DPR semakin transparan, akuntabel, dan inklusif. Pasca-Konferensi Tingkat Tinggi Open Government Partnership (KTT OGP) Juli 2018 di Tbilisi, Georgia, DPR sebenarnya sudah mendeklarasikan inisiatif open parliament DPR RI dengan meluncurkan aplikasi DPR Now!. Aplikasi itu diklaim menjadi media keterbukaan dan akuntabilitas parlemen, selain upaya mendekatkan suara masyarakat dengan DPR.
Inisiasi ini patut dilanjutkan karena untuk menuju parlemen yang modern, DPR harus mengembangkan kultur transparansi dan akuntabilitas yang sejati serta meninggalkan pola-pola lama dalam mengelola dan membelanjakan anggaran negara. Basis utama akuntabilitas ialah transparansi anggaran. Penggunaan teknologi informasi sebagaimana aplikasi DPR Now!, memudahkan masyarakat turut berpartisipasi dan melakukan kontrol terhadap kinerja DPR.
Langkah berikutnya ialah mendorong pemerintah merevisi PP No 61 Tahun 1990 tentang Perjalanan Dinas DPR. Ini memang semacam pil pahit bagi DPR sendiri karena menutup ruang-ruang abu-abu dan ruang gelap parlemen.
Jangan sampai upaya DPR mengembangkan citra terbuka, akuntabel, dan inklusif terkesan kamuflase karena tetap mempertahankan peraturan pemerintah ini. DPR dapat menggunakan acuan Peraturan Menteri Keuangan/PMK No 113/2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai tidak Tetap dalam melakukan revisi PP tersebut. PMK 113/2012 secara teknis mengatur tata cara pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas berdasarkan real cost.
Terakhir, DPR dapat menggunakan momentum awal masa jabatan untuk membuat gebrakan positif di mata publik, yakni upaya modernisasi parlemen. Parlemen yang modern bukan berarti membangun gedung baru, tetapi berkomitmen terhadap keterbukaan dan akuntabilitas yang lebih substantif.
Sekolah legislatif yang digagas Partai NasDem, harusnya mampu mendorong akuntabilitas anggaran DPR lebih baik jangan hanya semangat dadakan di awal periode, tetapi meredup saat nanti masuk gelanggang parlemen.
*Penulis adalah: Sekretaris Jenderal FITRA periode 2018-sekarang. Saat ini sedang menyelesaikan kuliah Kajian Gender di Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Lebih dari 15 tahun aktif di dunia NGOs. Fokus isu yang didalami antara lain terkait dengan ekonomi makro, anggaran publik (APBN/APBD), kesetaraan gender, dan kebijakan publik.