oleh: Misbah Hasan*.
Peringatan ulang tahun Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) ke-47 pada 29 November lalu ditandai dengan kenaikan tunjangan kinerja pegawai (remunerasi) bagi empat kementerian, yakni Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan. Jumlah tunjangan kinerja tertinggi per kelas jabatan rata-rata mencapai Rp 33,24 juta dan terendah Rp 2,53 juta. Khusus untuk menteri dan kepala lembaga negara, nilai tunjangannya sebesar 150 persen dari tunjangan tertinggi aparatur sipil negara (ASN) di instansi masing-masing, dan diberikan terhitung mulai Januari 2017.
Bukan kali ini saja pemerintah menaikkan remunerasi bagi kementerian. Pada 2017, pemerintah telah mengeluarkan 14 peraturan presiden tentang pemberian tunjangan kinerja pegawai bagi 14 kementerian/lembaga. Selama tahun ini, ada 24 peraturan remunerasi yang dikeluarkan, termasuk bagi empat kementerian tersebut. Layakkah ASN diberi remunerasi setiap tahun di tengah gaji yang juga naik pada tahun depan?
Sejak digulirkannya wacana reformasi birokrasi yang ditandai dengan lahirnya Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, upaya menciptakan birokrasi yang profesional, berintegritas tinggi, serta menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara ternyata masih jauh panggang dari api. “Penyakit” birokrasi yang menghambat laju reformasi itu antara lain tingginya belanja pegawai dalam postur APBN dan APBD; tingginya kasus korupsi ASN; dan maraknya kasus jual-beli jabatan oleh kepala daerah.
Berdasarkan penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), belanja pegawai pada era Kabinet Kerja 2015-2019 rata-rata mencapai Rp 322 triliun atau 24 persen dari total belanja APBN. Dalam APBN 2019, alokasi belanja pegawai ditetapkan sebesar Rp 368,6 triliun atau 22,9 persen, naik sekitar Rp 26,1 triliun dibanding 2018. Di tingkat provinsi, rata-rata belanja pegawai untuk tahun anggaran 2014-2018 sebesar 23 persen dari total APBD provinsi di seluruh Indonesia, yang nilai rata-ratanya mencapai Rp 46,3 triliun. Adapun di tingkat kabupaten dan kota masing-masing sebesar 45 persen dari Rp 199,3 triliun dan 47 persen dari Rp 48,2 triliun. Tingginya persentase belanja pegawai ini dapat dipastikan akan membebani APBN dan APBD.
Tingginya belanja pegawai dan remunerasi ternyata tak mengubah karakter korup aparatur sipil. Transparansi Internasional mencatat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia jalan di tempat dengan 37 poin. Peringkat Indonesia justru turun dari urutan ke-90 pada 2016 menjadi peringkat ke-96 pada 2017 dari 180 negara (triwulan II 2018). Hal ini tidak lepas dari tingginya kasus korupsi ASN.
Hingga 2018, ASN yang terjerat kasus korupsi mencapai 2.357 orang. Korupsi ASN di tingkat pusat sebanyak 98 orang dan di tingkat daerah mencapai 2.259 orang. Kementerian Perhubungan, Kementerian Agama, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat berturut-turut menempati peringkat pertama, kedua, dan ketiga penyumbang koruptor. Adapun di daerah ditempati Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Riau (BPN, 2015-2018).
Penyakit lain adalah maraknya jual-beli jabatan oleh kepala daerah. Berawal dari operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Bupati Klaten, kasus serupa kemudian banyak muncul di sejumlah daerah, seperti di Kabupaten Jombang, Nganjuk, dan Cirebon. Berbagai kasus tersebut merugikan keuangan negara sangat tinggi.
Sebagai simulasi, bila dihitung secara kasar berdasarkan lowongan jabatan pimpinan organisasi perangkat daerah tahun 2016, terdapat 19.190 lowongan untuk jabatan pimpinan tinggi (JPT), 424.171 lowongan non-JPT, dan 297.368 kepala sekolah. Dengan asumsi rata-rata tarif untuk JPT sekitar Rp 250 juta, non-JPT Rp 100 juta, dan kepala sekolah Rp 25 juta, nilai transaksi jabatan yang terjadi sebesar Rp 53,6 triliun (KASN, 2017).
Berbagai penyakit ini harus segera disembuhkan, antara lain dengan menjaga postur APBN dan ABPD lebih responsif terhadap layanan dasar masyarakat, terutama bagi masyarakat miskin dan rentan, bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran ASN; menerapkan remunerasi secara ketat berdasarkan pemantauan dan evaluasi kinerja ASN; memberikan sanksi yang tegas bagi ASN korup dan menyita seluruh aset hasil korupsinya; serta mengintensifkan kerja sama antara Komisi Aparatur Sipil Negara, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta KPK dalam upaya pencegahan dan penindakan korupsi ASN. Selama penyakit birokrasi ini belum diatasi secara serius, kenaikan gaji dan remunerasi ASN patut dipertanyakan.
*Penulis adalah: Sekretaris Jenderal FITRA periode 2018-sekarang. Saat ini sedang menyelesaikan kuliah Kajian Gender di Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Lebih dari 15 tahun aktif di dunia NGOs. Fokus isu yang didalami antara lain terkait dengan ekonomi makro, anggaran publik (APBN/APBD), kesetaraan gender, dan kebijakan publik.