One Term Plus 2 Years of SBY: Social Justice Further Away than Ever
Indonesia’s political and bureaucratic elite has been ransacking the public purse. President Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) admitted precisely that (“the public purse has been ransacked”) after inaugurating his second United Indonesia Cabinet. Considering that he has been head of state for the past 7 years such an admission is clear evidence that SBY lacks the capacity to lead. On his watch, not only has the public purse been ransacked but the realization of every Indonesian’s dream of achieving social justice for all has receded further from sight. Seknas FITRA’s reflections on all of this are as follows:
1. Current Budgetary Processes Benefit a Rent-Seeking Political Elite: The expense of politicking and the nature of Indonesian budgetary processes motivate the political elite to engage in budgetary rent seeking. Political leaders—both in parliament in Senayan and within the Cabinet—are expected to be a source of income for their political parties. That means they have to return money spent on the last electoral campaign, put together a pot of money for the next one and generally enrich themselves at the expense of the State budget. Our ailing budgetary system provides ample opportunity for such people to seek to benefit, systematically and on a grand scale, from every step of the budgetary process and from virtually any area of budget appropriations. 2. In the past seven years the national Audit Board (BPK) has reported on budgetary misappropriations totaling Rp 103.19 trillion. BKP recommendations on cases involving just Rp 37.87 trillion of that total have been followed up. Only Rp 17.93 trillion has so far been confirmed as having been embezzled and of that just Rp. 1.8 trillion has been re-credited to the public purse. Of the 305 cases (involving Rp 33.6 trillion) already in the hands of law enforcement agencies, no action has yet been taken on 139. This accumulated plundering of the public purse over seven years has turned BPK audits into annual rituals that not only do not have any positive effect but don’t even act as a deterrent to would-be budget thieves. And all this has happened because of SBY’s weakness and lack of firm direction as head of government. 3. Expenditure of the Rp. 89.5 billion official travel vote has amounted to something of a feeding frenzy for the bureaucracy. Travel votes have consistently risen every year, as have the number of abuses associated with official travel. The Audit Board’s report on central government finances (known as LKPP) for 2009 identified abuse of official travel funds totaling Rp 73.5 billion. That figure rose to Rp 89.5 billion across 44 ministries and agencies in audit reports on the first half of 2011. And yet, each year, SBY has been urging the bureaucracy to save money on official travel and be selective about travel. But misappropriation has occurred over and over again. And the whole problem can be sheeted back to the Presidential palace.
How can a person be a agent for change or a role model for saving money when, after installing his second United Indonesia Cabinet, he authorizes expenditure of Rp 278 billion for the purchase of official motor vehicles? The vehicles in question were: 79 Toyota Royal Saloons for government officials; 9 Presidential VVIP Mercedes Benz S-600s; 32 VVIP security escort Mercedes Benz CDIs; 2 Presidential VVIP Mercedes Benz G-500s; 8 Toyota Innovas for official adjutants; and 8 Toyota Avanzas for official female adjutants. 4. The policy framework of the 2012 draft budget postpones even further realization of social justice for all Indonesians. Indeed the 2012 budget is shaping up to be the worst budget for 5 years. The skewed nature of its policies is evident from the allocation of Rp 215.7 trillion for costs associated with Indonesia’s 4.7 million civil servants; and four times less than that (just Rp 50 trillion) for reducing poverty levels among Indonesia’s 31 million poor. This level of civil service funding (Rp 215.7 trillion) has made civil service costs the biggest single line item in the budget, eclipsing subsidies which had been the previous No. 1 ticket item. Although capital expenditure has now reached Rp 168 trillion, only Rp 54.6 trillion of that amount is to be spent on infrastructure that will play an economic role. This scenario leads Seknas FITRA to ask President SBY to take concrete and resolute action to put a stop to the plundering of the public purse and to rectify imbalances within the budget by way of the following:
Yuna Farhan Secretary-General, Seknas FITRA, Jakarta 23 October 2011 Tel +62 (0) 8161860874 |
Keadilan Sosial Semakin Jauh Dari Harapan
Elit Politikdan Birokrasi Merampok Uang Rakyat setelah melantikhasil reshuffle KIB 2, Presiden SBY menyatakan “Uang Negara dirampok”. SebagaiKepala Negara yang telah berkuasa selama 7 tahun, ucapan ini justru menggambarkan ketidakmampuan SBY memimpin, sehingga terjadi perampokan oleh uang rakyat dan menyebabkan semakin jauhnya cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berkaitan dengan ini, Seknas FITRA menyatakan sebagai berikut :
- Politik Anggaran Menguntungkan Elit Politik Pemburu Rente Anggaran.
Biaya politik tinggi dan politika anggaran memicu elit politik untuk memburu rente anggaran. Elit politik di Senayan maupun Kementerian dituntut untuk menghidupi partai politiknya, mengembalikan modal dana kampanye, mencari modal untukkampanye, danmemperkaya diri, merampok uang rakyat dari APBN. Politik anggaran yang masih carut marut menguntungkan para elit politik secara leluasa memburu rente anggaran secara sistematis dan massif pada setiap tahapan penganggaran dan struktur anggaran. - Selama 7 tahunRp. 103,19 triliun BPK menemukan penyimpangan anggaran. Dari temuan yang direkomendasikan BPK ini, baruRp. 37,87 triliun yang ditindaklanjuti. SebanyakRp. 17,93 trilyun penyelesaian kerugian negara, barudiangsursebesarRp. 1,8 triliun. Dari 305 kasussenilaiRp. 33,6 trilyun yangdiserahkankepenengakhukum, sebanyak 139 kasusbelum ditindaklanjuti. Perampokan uang rakyat yang terkakumulasi selama 7 tahun tersebut, hanya menjadikan temuan audit BPK sebagai ritual prosedur tahunan tanpa memiliki dampak terhadap perbaikan atau pun efek jera pada para perampok anggaran. Hal ini terjadi karena lemahnya dan tidaktegas-nya SBY dalam memimpin Pemerintahannya
- Rp. 89,5 miliarbelanjaperjanandinasjadiajangbancakanbirokrasi. Hampir setiap tahun belanja perjalanan dinas mengalami peningkatan, begitu pula denganpenyimpanganbelanjaperjalanandinas. Pada LKPP 2009 senilahRp. 73,5 miliardi temukan penyimpang belanja perjalanan dinas, kemudianmeningkatmenjadiRp. 89,5 miliarpada 44 Kementerian/Lembaga berdasarkan hasil audit BPK semester I 2011. Padahalhampirsetiaptahun SBY mengintruksikan jajaran birokrasinya untuk melakukan penghematan belanja perjalanan dinas dan selektif, Namun, kasus ini terus berulang. Hal ini terjadi karena Istana. Tidak mampu menjadi lokomotif penghematan anggaran ,sebagai contoh pembentukan KIB II hanya untuk fasilitas kendaraan, memakan anggaran hinggaRp. 278 miliar seperti diuraikan dibawah ini : • 79 Unit Kendaraan Pejabat Negara (Toyota Crown Royal Saloon); • 9 Unit Kendaraan VVIP Kepresidenan (Mercedes Benz S-600); • 32 Unit KendaraanKawal VVIP (Mercedes Benz 280 CDI); • 2 Unit Kendaraan VVIP Kepresidenan (Mercedes Benz G-500); • 8 Unit Kendaraan Ajudan RI 1 dan RI 2 (Toyota Innova); • 8 Unit Kendaraan Ajudan Ibu RI 1 dan RI 2 (Toyota Avanza)
- Kebijakan RAPBN 2012 semakin menjauhkan mimpi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.RAPBN 2012 merupakan postur anggaran terburuk dalam 5 tahun terkahir. Ketimpangan kebijakan anggaran RAPBN 2012 terlihatnya ketika Pemerintahmenganggarakan belanja pegawai Rp. 215,7 triliun untuk 4,7 juta pegawai, sementara anggaran kemiskinan untuk 31 juta penduduk miskin 4kali.
Lebih rendah dari belanja pegawai atau hanya Rp. 50 triliyun. Belanja pegawai senilai Rp. 215,7 triliun merupakan belanja tertinggi belanja pemerintah pusat, bahkan mengalah dominasi belanja subsidi selama ini. Meskipun belanja modal meningkat menjadi Rp. 168 triliun, namun hanya Rp. 54,6 triliun yang berkaitan dengan infrastuktur untuk fungsi ekonomi. Dari gambaran di atas, Seknas FITRA meminta kepada Presiden SBY untuk melakukan tindakan nyata dan tegas untuk menghentikan terjadinya perampokan uangrakyat dan memperbaiki ketimpangan anggaran langkah-langkah sebagai berikut:
- Memperbaiki regulasi pendanaan parpol dan kampanye yang menekan biaya politik tinggi
- Membenahi mekanisme pada setiap tahapan pembahasan anggaran baik pada lingkungan birokrasi maupun di DPR untuk menutup peluang berkeliarannya para perampok uang rakyat.
- Menjadikan laporan audit BPK sebagai bahan evaluasi jajaran birokrasi dan menindak lanjuti seluruh laporan audit BPK baik pada birokrasi maupun kepada penegak hukum. Istana juga harus menjadi lokomotif dalam penghematan anggaran termasuk belanja perjalanan dinas dan fasilitas pejabat negara.
- Mengembalikan APBN sesuaimandatKonstitusiuntuksebesar-besarnyakemakmuranrakyat.
Jakarta, 23 Oktober 2011
Yuna Farhan SekJen FITRA
08161860874