JOINT PRESS RELEASE
Sovereignty (rather, lack thereof) over Foodand Energy
in the Draft 2013 State Budget
Jakarta, 12 September 2012: In his budget speech to the House of Representatives (DPR), President SBY placed food security and energy security at fifth and eighth respectively on the list of national priorities. This statement has clear implications for the way government should manage budget plans contained in the draft 2013 State Budget (APBN for short).
Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Chairman, Gunawan, puts it thus: “The citizenry’s right to food is realized by productive management of resources and revitalization of the primary sector—processes that should place farmers and fishermen front and center. This is the essence of food security.”
A report of the United Nations (UN) Secretary-General to the UN General Assembly (document A/57/356/27 dated August 2002) states that access to land is a key element in efforts to rid the earth of hunger. Accordingly, policy choices for country strategies aimed at achieving food security have to encompass agrarian reform, given that access to land is so fundamental.
In many countries, agrarian reform programs, properly implemented to effect real change, have been very successful in reducing poverty and inequality.
Article 33 Paragraph (3) of Indonesia’s 1945 Constitution reads: “The land and waters, and the natural resources within them, shall be under the power of the State and shall be used for the greatest possible benefit of the people”. This provision goes to citizens’ rights that are constitutionally guaranteed and thus—it is important to make very clear—their realization is in the hands of the State. The rights in question are to public welfare deriving from the use of the nation’s land and waters, and the natural resources within them.
In light of this, in respect of land-related rights protected by the Constitution, government formulates national land policies aimed at promoting public welfare. Those policies include redistribution of land ownership and placement of limits on the control and ownership of agricultural land to prevent them from being the sole preserve of certain groups.
The irony is that in the draft 2013 APBN, the budget line “National Land Management Programs” only allocates Rp 4 412 132 000 for “land reform”. That is much less than allocations for “management of State land”, “abandoned land” and “land in crisis” (Rp 9 636 205 000) and “land control” (Rp 10 892 168), not to mention “increasing quality of land measurement” and “information maps on plots of land, open spaces and waterways”.
All this shows that land redistribution is a low-level—or not even a clearly defined—objective, given the large sums considered necessary for measurement, mapping, oversight and organization of land.
Meanwhile not one of the appropriations on food security in the budget of the Food Security Agency within the Ministry of Agriculture is targeted at agrarian reform. Draft allocations for food security in the draft 2013 APBN amount to Rp 83 trillion and cover: 1) “food security in the form of price stabilization and satisfaction of people’s need for food” (Rp 64.3 trillion); and 2) “irrigation infrastructure in support of food security” (Rp 18.7 trillion). This funding is far from sufficient; it is also three times less than amounts allocated for the Ministry’s civil service costs (Rp 241 trillion). Thus the extent to which government is pro-farmers and pro-people’s right to food remains a very big question; and the draft 2013 APBN provides no answer.
As for fisheries, Abdul Halim, program coordinator for the People’s Coalition for Justice in Fisheries (KIARA), explains that people’s right to food from the fisheries sector is coming more and more under threat, not least because of government policies that are segmenting coastal areas (e.g. for reclamation and giant sea walls), where traditional fishermen have been carving out their livelihoods. And this is happening despite the Constitutional Court’s decision that segmentation and/or privatization of coastal areas and small islands are unconstitutional.
Moreover, the draft 2013 APBN does not address special situations (extreme weather) being faced by 92.8% of Indonesia’s traditional fishermen, even though over the past three years the number of fishermen lost at sea has been rising: 86 in 2010, 146 (2011) and 186 (2012). The unavoidable outcome has been reduced access for fishermen to traditional fishing grounds.
These circumstances have opened the floodgates for vessels entering Indonesian waters to conduct illegal, unreported and unregulated fishing. Data available to KIARA (2012) indicates that between 2001 and August 2012, 2 469 such vessels have been detained. It is no surprise, therefore, that in a situation of declining fish stocks made worse by theft of Indonesia’s fish, the government has taken the easy way out by importing as much as 450 000 tonnes of fish.
Mr. Halim also points out that in the draft 2013 APBN—worth Rp 1 657 trillion—the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries is allocated a mere 0.003% of total resources. An even greater irony is that the State is extending no protection for fishermen by way of, for example, insurance, access to cheap and dependable finance and infrastructure for effective upstream & downstream management of fisheries across the archipelago. All this amounts to a lack of State sovereignty over food resources in the fisheries sector—something not addressed in the 2013 draft State budget of President SBY and Vice President Boediono.
Siaran Pers Bersama
Ke(tidak)daulatan Pangan dan Energi di dalam RAPBN 2013
Jakarta, 12 September 2012. Pidato Presiden SBY di depan Rapat Paripurna DPR RI menempatkan ketahanan pangan dan energi ke dalam prioritas ke-5 dan ke-8. Penempatan ini jelas berimplikasi terhadap rencana pengelolaan anggaran pemerintah, sebagaimana tercermin di dalam RAPBN 2013.
Gunawan, Ketua IHCS mengatakan, “Hak atas pangan warga negara yang pemenuhannya melalui pengelolaan sumber daya produktif bertumpu pada pembaruan agraria dengan menjadikan petani dan nelayan serta masyarakat adat sebagai tulang punggung. Itulah esensi dari kedaulatan pangan”.
Laporan Sekretaris Jenderal PBB (dokumen A/57/356/27 August 2002), kepada Sidang Umum PBB, bahwa akses tanah adalah elemen kunci yang penting untuk membasmi kelaparan di dunia. Hal ini berarti bahwa pilihan kebijakan seperti reforma agraria harus memainkan peranan penting dalam strategi suatu negara dalam hal kedaulatan pangan, di mana akses atas tanah adalah mendasar.
Program reforma agraria, ketika dijalankan secara benar untuk memberi kontribusi dalam perubahan transformatif, amat sukses dalam mengurangi kemiskinan dan ketaksetaraan di banyak negara.
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam rumusan tersebut terdapat kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi dan karena itu penting ditegaskan adanya penguasaan oleh negara. Kepentingan yang hendak dilindungi oleh konstitusi adalah kemakmuran rakyat dalam kaitannya dengan pemanfaatan bumi, air, kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu, sepanjang menyangkut tanah, maka atas dasar adanya kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi itulah dibuat kebijakan nasional di bidang pertanahan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat, diantaranya berupa pendistribusian kembali pemilikan atas tanah dan pembatasan pemilikan luas tanah pertanian, sehingga penguasaan atau pemilikan tanah tidak terpusat pada sekelompok orang tertentu.
Ironinya dalam anggaran Progam Pengelolaan Pertanahan Nasional BPN, pengelolaan Landreform hanya Rp 4.412.132.000, – jauh di bawah Pengelolaan Tanah Negara, Tanah Terlantar dan Tanah Kritis (Rp 9.636.205.000,-) dan Pengendalian Pertanahan. Rp 10.892.168, apalagi Peningkatan Kualitas Pengukuran, Pemetaan Informasi Bidang Tanah, Ruang dan Perairan.
Hal tersebut menunjukan, obyek redistribusi lahan masih minim atau bahkan kurang jelas, sehingga masih diperlukan alokasi anggaran yang besar untuk pengukuran dan pemetaan dan pengawasan serta penertiban.
Sedangkan anggaran di Kementerian Pertanian khususnya di Badan Ketahanan Pangan tidak mengalokasikan untuk pembaruan agraria. Total anggaran untuk ketahanan pangan sebesar Rp83 Triliun, terdiri dari (1) Ketahanan Pangan untuk Stabilisasi Harga dan Memenuhi Kebutuhan Pangan Rakyat sebesar Rp64,3 Triliun; dan (2) Infrastruktur Irigasi untuk mendukung Ketahanan Pangan senilai Rp18,7 Triliun. Anggaran ini masih jauh dari memadai, 3 kali lebih rendah dibandingkan belanja pegawai yang mencapai Rp. 241 trilyun. Keberpihakan pemerintah terhadap petani dan kedaulatan rakyat atas pangan menjadi pertanyaan besar yang tidak terjawab dalam RAPBN 2013
Dalam konteks perikanan, Abdul Halim (Koordinator Program KIARA) menyebutkan bahwa hak atas pangan warga justru terus didera ancaman, di antaranya lewat pengkaplingan wilayah pesisir (reklamasi, giant sea wall, dsb) yang menjadi ruang penghidupan nelayan tradisional. Sekalipun Putusan Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa pengkaplingan dan atau privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam RAPBN 2013, situasi khusus (cuaca ekstrem) yang dihadapi oleh 92,8% nelayan tradisional justru tidak direspons. Padahal, dalam 3 tahun terakhir jumlah nelayan tradisional yang hilang dan meninggal dunia di laut terus bertambah: 86 jiwa (2010), 146 (2011), dan 186 (Agustus 2012). Tak pelak, hal ini berimplikasi terhadap semakin minimnya akses nelayan tradisional atas wilayah tangkap (tradisionalnya).
Kondisi ini menjadikan bebas masuk-keluarnya kapal pelaku pencurian ikan (illegal, unreported and unregulated fishing) di perairan Indonesia. Catatan KIARA (2012), sudah sejak 2001 – Agustus 2012 sebanyak 2.469 kapal yang tertangkap. Tak mengherankan, saat sumber daya ikan semakin menipis dan diperburuk dengan meningkatnya praktek pencurian ikan, pemerintah mengambil jalan pintas melalui impor sebanyak 450.000 ton ikan.
Halim menambahkan, di dalam RAPBN 2013, anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hanya 0,003% dari total Rp1.657 Triliun. Ironisnya lagi, tidak ada perlindungan negara kepada nelayan tradisional, misalnya melalui mekanisme asuransi, akses permodalan yang mudah dan aman, serta penyediaan infrastruktur pengolahan ikan yang terhubung dari hulu ke hilir dan antarkepulauan. Inilah bentuk ke(tidak)daulatan negara atas pangannya di sektor perikanan. Fakta ini tidak dijawab oleh pemerintahan SBY-Boediono melalui RAPBN 2013.***
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Gunawan, Ketua IHCS
Di +62815 8474 5469
Abdul Halim, Koordinator Program KIARA
Di +62815 53100 259