Dua sistem dalam kamar berbeda masih mewarnai perencanaan dan penganggaran nasional maupun daerah. Perencanaan Pembangunan Nasional diatur oleh Undang – Undang No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Dalam pelaksanaannya Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menjadi leading sector perencanaan pembangunan nasional. Pada sisi lain, penganggaran terhadap produk perencanaan pembangunan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dimana leading sector bergeser ke Kementerian Keuangan. Memisahkan insitusi yang merencanakan program/kegiatan dan yang mengalokasikan uang, menurut Maulana (2017), rentan menyebabkan ketidakcocokan atau tak sinkron (unsyncronize). Mengapa? Karena orientasi institusi perencanaan memperhitungkan outcome atau dampak, sedangkan pada institusi keuangan berpegang pada prinsip formulasi kenaikan 10 persen setiap tahun[1].
Masalah pun semakin bertambah komplek, dengan berlakunya sistem perencanaan dan penganggaran nasional, daerah dan desa. Kembali ke sistem perencanaan pembangunan nasional, bahwa beleid yang mengaturnya menegaskan adanya lima (5) pendekatan yaitu; politik, teknokratik, partisipatif, bawah-atas (bottom up), dan atas-bawah (top down). Asumsi positifnya, lima pendekatan ini diharapkan mampu mengakselerasi anggaran belanja pemerintah mampu menghasilkan solusi dalam bentuk program/kegiatan pembangunan yang tepat guna dan berkelanjutan. Namun dalam praktiknya, proses panjang di kedua institusi perencanaan dan penganggaran tersebut, membuka loopholes bagi pihak-pihak pemburu rente yang mencari peluang korupsi anggaran negara dalam setiap prosesnya.
Penerapan pendekatan politik dan teknokratik dalam proses panjang perencanaan dan penganggaran, kerap inkonsisten dan tak sinkron, karena tuah lobi-lobi politik. Karena lobi politik, alokasi anggaran rentan berubah meski sudah ditetapkan dalam dokumen resmi perencanaan[2]. Dalam pendekatan politik pada saat perencanaan, dokumen RKP yang mematuhi visi misi presiden dalam RPJMN, rentan dijungkirbalikkan oleh kesepakatan politik pragmatis antara DPR bersama presiden pada saat pembahasan RAPBN. Padahal RAPBN yang dibahas telah berpijak pada hasil telaah Kemenkeu dan Bappenas atas konsistensi Rencana Kerja Anggaran (RKA) Kementerian/ Lembaga. Meski praktik lobi politik lazim dan bukan pantangan dalam politik anggaran (pembahasan RAPBN), pada akhirnya tabiat politik ini kerap melahirkan inkonsistensi dan unsyncronize dokumen perencanaan dengan dokumen anggaran.
Fenomena penyimpangan pada dokumen perencanaan dan penganggaran ini telah disadari oleh pemerintah. Dari sisi efektifitas dan anggaran tepat guna, Bappenas menyebutkan terdapat 29,3 persen penyimpangannya.[3] Penyimpangan perencanaan dan penganggaran di Kementerian/ Lembaga negara tersebut meng-akibatkan tidak berkontribusi langsung atau tidak langsung pada indikator capaian. Sementara itu Kementerian Keuangan menilai, bahwa standar ukuran efektifitas belanja K/L untuk mencapai target dari program yang direncanakan sampai saat ini belum tersedia. Selama ini standar efektifitas dinilai secara manual dari alokasi belanja pada Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Rencana Kerja (Renja), yang menyebabkan potensi belanja tidak akurat[4]. Problem tidak sinkron antara perencanaan dan penganggaran juga terjadi antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Provinsi/Kabu-paten/Kota). Prioritas pembangunan Presiden dalam dokumen Pembangunan 5 tahunan (RPJMN) kerap berbeda dengan dokumen perencanaan Pembangunan Kepala Daerah 5 tahunan (RPJMD). Salah satu penyebabnya adalah waktu Pemilihan umum bagi Presiden berbeda dengan pemilihan umum Kepala Daerah. Penyebab tidak sinkronnya dokumen perencanaan dan penganggaran Pusat dengan Daerah, menurut Maulana (2017) terdapat lima persoalan utama.
Pertama, belum efektifnya pembagian urusan antara pemerintah pusat dan daerah.
Kedua, banyak duplikasi perencanaan pusat oleh daerah.
Ketiga, kurangnya koordinasi implementasi kebijakan pusat dan daerah.
Keempat, kesenjangan pemerintah pusat dan daerah dalam kapasitas fiskal dan sumber daya manusia.
Kelima, perbedaan waktu penye-lenggaraan pemilihan Presiden dan Kepala Daerah. Usulan pembangunan daerah (bottom up) dalam skala pembangunan nasional efektif mendapatkan porsi alokasi hanya pada skema Dana Alokasi Khusus (DAK).