Secara umum, masyarakat masih sulit membedakan makna dari istilah Dana Kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Belanja Subsidi. Dana Kompensasi dapat diartikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan kepada masyarakat sebagai kompensasi dari kenaikan harga. Sementara itu dalam regulasi pemerintah, Dana Kompensasi BBM merupakan pembayaran oleh negara atas kekurangan penerimaan badan usaha, sebagai implikasi dari selisih harga pasar dengan harga eceran yang telah ditetapkan pemerintah. Di sisi lain, Belanja Subsidi dapat diartikan pula sebagai bantuan atau insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha atau masyarakat dengan tujuan untuk meringankan beban mereka. Meskipun pemerintah menggunakan istilah yang berbeda, namun keduanya memiliki kemiripan.
Kebijakan subsidi BBM dinilai belum berkontribusi dalam menjaga stabilitas ekonomi serta membantu perekonomian masyarakat berpenghasilan rendah. International Monetary Fund (IMF) menyatakan bahwa subsidi BBM pada umumnya justru memberikan efek negatif, seperti adanya konsekuensi fiskal yang mendorong pajak lebih tinggi, kenaikan pinjaman, mendorong alokasi sumber daya ekonomi yang tidak efisien (memperlambat pertumbuhan), meningkatkan polusi yang berkontribusi kepada perubahan iklim dan kematian dini akibat pencemaran udara, serta subsidi BBM yang cenderung tidak tepat sasaran karena sebagian besar dinikmati masyarakat menengah ke atas (IMF, 2023).
Dalam konteks Indonesia, hasil audit sosial Koalisi untuk Ketahanan Usaha Perikanan Nelayan (KUSUKA) menunjukkan bahwa 82% nelayan kecil tidak memiliki akses terhadap subsidi BBM, sehingga manfaat dan kredibilitas dari kebijakan fiskal ini dipertanyakan, terutama apakah memang berdampak secara langsung terhadap target penerima manfaat yaitu nelayan kecil.
Dari sisi anggaran, ada kenaikan anggaran subsidi dan kompensasi BBM pada tahun 2022 lebih dari 3 kali lipat menjadi Rp502 triliun dari tahun sebelumnya yaitu sejumlah Rp152 triliun (Kemenkeu, 2022). Pada tahun 2022, realisasi belanja kompensasi BBM mencapai Rp307 triliun (Ahdiat, 2023). Selanjutnya pada tahun 2023 alokasinya sebesar Rp338 triliun (Putri, 2022). Gambaran ini menunjukkan tantangan kredibilitas anggaran dan beban fiskal negara yang cukup signifikan, sehingga harus dicermati secara saksama.
Sampai saat ini, sangat sulit menemukan dokumen resmi pemerintah atau kajian yang membahas secara detail jumlah anggaran dan realisasi dari Dana Kompensasi BBM yang dibayarkan pada badan usaha. Kajian ini merupakan kontribusi dari Koalisi KUSUKA atas diskursus terkait tata kelola anggaran Dana Kompensasi Jenis BBM Tertentu Solar (Dakom JBT-S) dan pengaruhnya terhadap kelompok nelayan kecil sebagai target penerima manfaat dari program Subsidi BBM JBT Solar. Kajian ini berupaya untuk menilai kesesuaian praktik tata kelola Dakom JBT-S dengan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam tata kelola anggaran serta menilai kredibilitas anggaran Dakom BBM JBT-S dan implikasinya terhadap nelayan kecil.