Skip to main content

Oleh: Misbah Hasan, Badiul Hadi dan Yusuf Murtiono

Pada tanggal 31 Januari 2024, publik menyaksikan para kepala desa dan perangkat desa yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) melakukan Aksi Demo di depan Gedung DPR RI Senayan Jakarta. Mereka menuntut agar Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) segera di sahkan oleh DPR RI, paling lambat tanggal 6 Februari 2024. Belum jelas alasan APDESI menuntut “penyegeraan” pengesahan revisi UU Desa tersebut.

Ada beberapa isu utama yang disuarakan para kepala desa dan perangkat desa untuk materi muatan revisi UU Desa. Pertama,  masa jabatan kepala desa diusulkan selama 9 tahun dan dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali. Pasal 39 UU Desa  menyebutkan, bahwa (1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan; (2) Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Pada dasarnya, pasal 39 UU Desa ini merupakan hasil kompromi politik jalan tengah pihak perlemen dan pemerintah, sebelum UU Desa disahkan pada 18 Desember 2013 dan diundangkan pada 15 Januari 2014. terkait usulan masa jabatan kepala desa selama 9 tahun, masih menjadi usulan yang pro dan kontra di kalangan pegiat dan praktisi desa, termasuk di tingkat pemerintah. Memperpanjang masa jabatan kepala desa, bisa berdampak negatif pada demokratisasi desa, karena kebanyakan desa masih mengalami dominasi oleh elit desa. Masa jabatan kepala desa yang semakin lama juga bisa menghambat proses kaderisasi di desa. Usulan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun dengan asumsi efisiensi dan mengurai resistensi ditengah masyarakat tidak bisa dijadikan pijakan. Sejatinya, pemerintah harusnya lebih mempertimbangkan aspek kesejahteraan masyarakat di desa, bukan pada pertimbangan “kekuasaan”.

Kedua, Peningkatan anggaran bersumber dari Belanja Pusat berupa  dana Desa sebesar 20% (dua puluh perseratus) dari dana transfer daerah dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara berkeadilan. Usulan kenaikan 20% perlu dilakukan rasionalisasi. Saat ini kapasiitas pengelolaan keuangan desa masih menjadi persoalan di Desa yang berdampak pada terjadinya kesalahan administrasi hingga korupsi. Satu dekade pelaksanaan UU Desa, besara Dana Desa dalam APBN 2024 sebesar Rp. 71 triliun dan yang diterima desa rerata sekitar Rp 1 milyar – Rp 1,5 miyar, FITRA menemukan beberapa fakta, bahwa sebagian besar pemerintah desa belum optimal dalam tata kelola keuangan desa, terutama alokasi belanja desa untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat tanpa kecuali.

Ketiga, kewenangan pengelolaan dana desa hendaknya memberikan ruang dan kemandirian yang sesuai dengan prioritas kebutuhan riil Desa.  Saat ini kewenangan pengelolaan keuangan dana desa seakan terpisah dengan pengelolaan keuangan desa lainnya. Kesan dikotomi dan dominasi pengaturan dana desa oleh pemerintah pusat (kementerian Desa, PDTT, red) menciderai kewenangan desa yang menjadi ruh UU Desa. Pengaturan dana desa yang ketat, rijid, top down dan centralistik menjadikan ketimpangan antar desa kaya dan desa miskin. Selain itu juga banyak muncul beban anggaran kegiatan yang berasal dari supra desa. Dengan demikian kewenangan yang desa yang dimandatkan UU Desa “dikebiri” dengan ketentuan pengaturan dana desa oleh Kementerian Desa dan Kementerian Keuangan. Sehingga yang perlu dilakukan adalah penyesuaian untuk memperkuat kewenangan desa termasuk dalam tata kelola keuangan Desa yang didalamnya ada dana desa.

FITRA berpendapat, bahwa masalah mendasar pada UU Desa justru terletak dalam materi muatan peraturan teknis pelaksanaan UU Desa itu sendiri, mulai dari peraturan pemerintah sampai dengan peraturan menteri yang saling tumpang tindih.

Berdasarkan uraian di atas, maka  FITRA merekomendasikan:

  1. DPR RI dan Pemerintah menunda Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Atas Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sampai sudah dilakukannya review dan pengkajian ulang melalui mekanisme sinkronisasi regulasi pelaksanaan UU Desa lintas kementerian/lembaga atau sektor.
  2. Jika DPR RI dan Pemerintah tetap melaksanakan Revisi UU Desa, DPR RI perlu melakukan Konsultasi Publik Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Atas Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. untuk menerima masukan dan aspirasi dari para pemangku kepentingan terhadap subtansi revisi UU Desa.
  3. DPR RI tidak tergesa-gesa untuk mengesahkan hasil pembahasan Revisi Undang-Undang Desa. Terlebih pada saat ini Indonesia sedang menyiapkan Hari H Pemilihan Umum Serentak, 14 Februari 2024. Momentum saat ini sarat dengan nuansa politik, sehingga para pihak sedang dalam situasi politik electoral yang dimungkinkan tidak fokus dan adil dalam membahas maupun memutuskan beberapa isu usulan revisi UU Desa.  
  4. DPR RI dan Pemerintah merujuk kembali pada essensi dan tujuan penyusunan UU Desa serta menghindari politik transaksional. Tujuan pembentukan UU Desa antara lain memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa; mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama; membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa; memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.