Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I tahun 2015 menunjukan, ketidakpatuhan pemerintah terhadap peraturan perundang-undangan berdampak finansial sebesar Rp 21,62 triliun. Dari angka itu, kerugian negara sebesar Rp 2,26 triliun akibat dari 3.030 persoalan ketidakpatuhan yang terjadi. Selain kerugian negara, ada potensi kerugian negara sebesar Rp 11,51 triliun dari 444 persoalan yang ditemukan BPK. Masih ada lagi kekurangan penerimaan mencapai Rp 7,85 triliun dengan jumlah persoalan sebanyak 1.135. Data itu dibeberkan Indonesia Forum for Budget Transparency (FITRA) untuk mengingatkan pemerintahan Presiden Joko Widodo tentang nawacita yang mereka gagas.
“Nawacita Jokowi poin kedua adalah membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintah yang bersih, efektif, dan demokratis,” kata Manager Advokasi FITRA Apung Widadi dalam keterangan tertulis yang diterima CNN Indonesia hari ini, Kamis (8/10).
Apung menjelaskan, temuan umum BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2015 menyebutkan, dari 10.154 temuan yang memuat 15.434 permasalahan, sebanyak 7.890 persoalan merupakan permasalahan ketidakpatuhan terhadap aturan senilai Rp 33,46 triliun. Angka ini sudah termasuk total Rp 21,62 triliun ketidakpatuhan berdampak finansial. Menurut Apung, mengutip temuan umum BPK, persoalan ketidakpatuhan berdampak finansial terjadi paling banyak pada pemerintah daerah sebesar 80 persen dengan nilai Rp 11,9 triliun; disusul pemerintah pusat sebanyak 792 permasalahan senilai Rp 8,65 triliun; serta BUMN dan badan lain 101 permasalahan senilai Rp 1,07 triliun. Temuan umum BPK lainnya, terdapat 3.281 persoalan ketidakpatuhan yang tidak berdampak finansial. Terdiri dari 3.137 penyimpangan administrasi dan 144 ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp 11,84 triliun. Jika dirinci, ketidakefisienan menempati urutan teratas sebesar Rp 7,83 triliun; ketidakhematan Rp 2,6 triliun; dan ketidakefektifan Rp 1,4 triliun. “FITRA membuat dan menyampaikan kajian untuk keperluan transparansi dan akuntabilitas publik,” ujar Apung.
Sumber :http://www.cnnindonesia.com
Jakarta 8 Oktober 2015