Misbah Hasan
Sekretaris Jenderal FITRA
Jakarta, 11 Juni 2020
Kurva penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19) di daerah tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Hingga kini, jumlah kasus terkonfirmasi Covid-19 terus bertambah dengan rata-rata di atas 600 orang per hari. Lima daerah dengan jumlah kasus tertinggi masih didominasi provinsi di Pulau Jawa, yakni DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, diikuti Sulawesi Selatan yang menempati peringkat keempat terbanyak.
Pemerintah telah mengeluarkan berbagai instrumen kebijakan yang mewajibkan daerah melakukan realokasi dan perubahan fokus refocusing anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19. Tercatat ada lebih dari sembilan regulasi turunan dari Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang hal tersebut. Turunan paling awal adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2020 yang mengatur ketentuan ihwal perubahan fokus dana alokasi (DAK) khusus fisik bidang kesehatan dan DAK non-fisik melalui bantuan operasional kesehatan tambahan. Seluruhnya wajib digunakan untuk penanganan wabah. Secara nasional, jumlahnya masing-masing mencapai Rp 20,8 triliun dan Rp 13,4 triliun. Bagaimana implementasinya di daerah? Inilah yang harus dipantau.
Regulasi berikutnya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2020 diikuti Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2020 yang mengatur penggunaan belanja tidak terduga, pemanfaatan kas daerah, serta realokasi dan perubahan fokus Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kesehatan, jaring pengaman sosial, dan pemulihan ekonomi. Berdasarkan riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), total belanja tidak terduga semua provinsi, kabupaten, dan kota sebesar Rp 3,3 triliun atau 0,3 persen dari total APBD seluruh Indonesia. Jumlah ini memang relatif kecil, sehingga realokasi anggaran menjadi krusial.
Namun kebanyakan daerah sepertinya masih kebingungan melakukan realokasi dan perubahan fokus APBD. Salah satu masalahnya adalah penurunan penerimaan daerah yang cukup signifikan. Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri justru menerbitkan Keputusan Bersama Nomor 119/2813/SJ/2020 dan Nomor 177/KMK.07/2020 yang secara eksplisit memerintahkan daerah merealokasi anggarannya sebesar 50 persen dari belanja barang/jasa dan belanja modal untuk penanganan pandemi.
Hingga akhir Mei lalu, realokasi APBD Tahun Anggaran 2020 untuk penanganan Covid-19 baru terkumpul Rp 67,19 triliun dari 474 daerah. Artinya, komitmen anggaran yang terakumulasi baru 24 persen dari potensi sebenarnya sebesar Rp 278,9 triliun. Belum semua daerah menyetor laporan realokasi anggarannya kepada pemerintah. Menteri Keuangan lalu menerbitkan keputusan tentang penundaan dana alokasi umum (DAU) dan/atau dana bagi hasil (DBH) sebesar 35 persen sebagai sanksi bagi daerah yang tidak patuh atau terlambat menyampaikan penghitungan realokasi APBD.
Selain kepatuhan atas besaran realokasi anggaran, hal penting yang harus terus diawasi oleh masyarakat dan lembaga pemeriksa keuangan adalah penggunaan anggaran hasil realokasi tersebut. Sesuai dengan amanat regulasi, realokasi APBD digunakan untuk penanganan kesehatan, penyediaan jaring pengaman sosial, dan pemulihan ekonomi. Sayangnya, informasi soal rincian penggunaan realokasi APBD ini masih sulit didapat. Pemerintah dan pemerintah daerah seakan-akan enggan besaran anggaran yang dikelola untuk penanganan Covid-19 diketahui oleh publik.
Masyarakat berhak tahu dan terlibat dalam pengawasan penggunaan anggaran Covid-19 di daerah masing-masing. Informasi di laman situs web gugus tugas Covid-19 tingkat nasional hanya menampilkan dana yang masuk serta dikelola dari rekening dalam negeri, rekening luar negeri, dan donasi. Anggaran dari APBN dan APBD sepertinya belum terkonsolidasi dengan baik dan belum dipublikasikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah melanggar Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 Tahun 2020 tentang kewajiban mengkonsolidasi anggaran penanganan Covid-19 dan membuat akun khusus anggaran Covid-19.
Untuk itu, pemerintah dan pemerintah daerah perlu mengambil langkah-langkah strategis dalam percepatan penanganan Covid-19. Pertama, mempercepat konsolidasi anggaran dan menandai anggaran khusus Covid-19, baik yang bersumber dari APBN maupun APBD. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan koordinasi antar-instansi pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk gugus tugas yang dibentuk di tiap level pemerintahan. Kedua, membuat akun khusus anggaran Covid-19 dan mempublikasikannya secara berkala kepada publik. Transparansi ini penting untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap kehadiran negara dalam penanganan pandemi. Ketiga, memberikan ruang kepada masyarakat untuk terlibat dalam pemantauan dan evaluasi kinerja anggaran penanganan pandemi. Masyarakat dapat membentuk pos-pos pengaduan atau hotline call center yang terhubung dengan pusat pengaduan pemerintah agar setiap pengaduan dapat segera ditindaklanjuti. Keempat, memperkuat peran pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP), Badan Pemeriksa Keuangan, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dengan menjalankan empat langkah strategis tersebut, diharapkan anggaran yang digunakan untuk penanganan Covid-19 benar-benar dirasakan oleh masyarakat yang terkena dampak dan kurva penyebaran Covid-19 cepat melandai.
Sumber: https://koran.tempo.co/read/opini/453879/pengawasan-anggaran-pandemi-daerah