Oleh: Misbah Hasan
Debat kedua calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang akan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 17 Februari 2019 salah satunya mengangkat tema Infrastruktur. Kita tahu bahwa infrastruktur merupakan prioritas utama arah kebijakan pembangunan nasional di era pemerintahan Jokowi. Lantas, berapa besar anggaran negara yang sudah dihabiskan untuk pembangunan infrastruktur tersebut? dari mana sumbernya? apa hasilnya? dan bagaimana mitigasi korupsinya? Pertanyaan-pertanyaan mendasar inilah yang coba ditelusuri oleh Seknas FITRA melalui analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Potret Anggaran Infrastruktur
Perjalanan Kabinet Kerja era Jokowi pada 2015 ditandai dengan melonjaknya belanja pembangunan infrasruktur yang sangat signifikan. Alokasi anggaran infrastruktur mencapai Rp 256,1 triliun, naik sebesar Rp 98,7 triliun atau tumbuh sebesar 63 persen dibanding tahun terakhir Kabinet Indonesia Bersatu (KIB II) era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Berikut adalah tren anggaran infrastruktur tahun anggaran 2014-2019 :
Secara nominal, anggaran infrastruktur di Indonesia naik setiap tahun (lihat grafik di atas). Kenaikan terbesar terjadi pada tahun anggaran 2016 ke 2017 yakni sebesar Rp 110,6 triliun dengan tingkat pertumbuhan 41 persen. Bila dihitung rata-rata, besaran anggaran infrastruktur mencapai 17 persen dari total Belanja Negara dalam lima tahun terakhir. Ini artinya, untuk mengupayakan tercapainya kesejahteraan rakyat, pemerintah menempuh jalur pembangunan infrastruktur sebagai prasayarat utama.
Pendanaan infrastruktur tersebut diperoleh dari berbagai sumber, antara lain: (1) Belanja Pemerintah Pusat (Kementerian/Lembaga) berupa Belanja Modal; (2) Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa, terutama melalui Dana Alokasi Khusus (DAK); serta (3) Pendanaan Kreatif/Creative Financing melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), Corporate Social Responsibility (CSR), filantropi, atau utang luar negeri. Pada APBN 2019, infrastruktur yang didanai melalui Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa mempunyai persentase terbesar, yakni 47 persen dari total anggaran infrastruktur atau sebesar Rp 196,2 triliun. Sedangkan belanja infrastruktur yang bersumber dari Belanja Pemerintah Pusat dan pendanaan kreatif masing-masing sebesar 42 persen dan 11 persen dari total belanja infrastruktur.
Hasilnya? Sepanjang 2015 hingga 2018, pemerintah Jokowi mengklaim telah membangun jalan raya sepanjang 3.270,8 Km per tahun, jembatan sepanjang 29.963 meter per tahun, perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebanyak 44 ribu unit per tahun, rumah susun rata-rata sebanyak 11.223 unit per tahun, jalan tol, bendungan, bandara, jaringan irigasi, jalur kereta api, dan seterusnya. Masifnya pembangunan infrastruktur tersebut mampu menaikkan peringkat indeks kemudahan berusaha (ease of doing business) Indonesia dari urutan 114 (2015) menjadi 72 (2018) dari 190 negara. (EODB, World Bank 2018). Angka kemiskinan juga menurun hingga satu digit diangka 9,66 per September 2018. Meski pertumbuhan ekonomi tidak beranjak dari rata-rata 5,14 persen (yoy). (BPS, 2018)
Celah Korupsi Anggaran Infrastruktur
Keberhasilan pembangunan infrastruktur saat ini bukan tanpa cela. Selain polemik pendanaan infrastruktur yang berasal dari utang luar negeri, proses pengadaaan barang dan jasa (PBJ) proyek infrastruktur yang dilakukan juga mengandung celah korupsi. Baru-baru ini terungkap kasus korupsi berjamaah yang dilakukan oleh delapan oknum Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) atas pembangunan Sistem Penyedian Air Minum (SPAM) di beberapa daerah. Modus yang dilakukan adalah meminta ‘fee’ proyek hingga 10 persen dari nilai proyek.
Pada akhir 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menetapkan dua orang pejabat PT. Waskita Karya, sebuah perusahaan negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang konstruksi terkait 14 proyek fiktif yang ditangani. Proyek-proyek tersebut antara lain, normalisasi kali Bekasi Hilir Jawa Barat, Banjir Kanal Timur (BKT) Paket 22 Jakarta, Bandara Kuala Namu Sumatera Utara, Bendungan Jati Gede Sumedang Jawa Barat, PLTA Genyem Papua, dan proyek lainnya. Berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara ditaksir mencapai Rp 186 milyar.
Celah korupsi yang juga banyak dimanfaatkan oleh berbagai pihak adalah anggaran infrastruktur yang bersumber dari Dana Transfer ke Daerah, khususnya Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik). DAK merupakan alokasi anggaran dari APBN kepada provinsi/kabupaten/kota dengan tujuan untuk membantu daerah meningkatkan kualitas pelayanan publik dasar dan mengurangi kesenjangan antar daerah. Pada 2019, DAK Fisik dianggarkan sebesar Rp 69,3 triliun dalam APBN.
Celah yang dimanfaatkan untuk ‘mengeruk keuntungan’ adanya DAK Fisik adalah melalui proses pencairannya. Pengajuan pencairan DAK oleh daerah –terutama DAK fisik, adalah melalui pengajuan proposal yang ditujukan kepada Bappenas dan Kementerian Keuangan serta wajib mendapat persetujuan dari DPR. Proses inilah yang kemudian memunculkan pemufakatan jahat korupsi DAK, misalnya kompensasi bagi DPR bila berhasil mengawal dan mengegolkan pencairan DAK bagi daerah tertentu.
Terdapat tujuh kasus transaksi illegal terkait pencairan DAK yang disidangkan selama 2018, yakni tertangkapnya Wakil Ketua DPR RI terkait kasus pemberian imbalan DAK Fisik Kabupaten Kebumen Tahun Anggaran 2016, kasus Bupati Cianjur yang meminta ‘fee’ atas pembangunan gedung SMP yang didanai DAK, kasus gratifikasi DAK yang menimpa Bupati Malang, Walikota Tanjung Pinang, anggota DPR, dan Bupati Pegunungan Arfak Papua Barat. Potensi kerugian negara minimal mencapai Rp 66,1 milyar.
Secara umum, terdapat 241 kasus korupsi dan suap yang terkait pengadaan sektor infrastruktur pada 2017. Negara ditaksir merugi hingga Rp 1,5 triliun dengan nilai suap mencapai Rp 34 milyar. Jumlah kerugian negara akibat korupsi anggaran infrastruktur ini lebih tinggi dibanding tahun 2016 yang nilainya sekitar Rp 680 milyar. Korupsi proyek pembangunan infrastruktur transportasi menempati peringkat pertama dengan 38 kasus dan membuat kerugian negara mencapai Rp 575 milyar, diikuti oleh penyimpangan proyek infrastruktur pendidikan 14 kasus dengan nilai kerugian negara Rp 43,4 milyar, dan korupsi pembangunan infrastruktur desa sebanyak 23 kasus dengan kerugian negara Rp 7,9 milyar. (KPK & ICW 2018)
Mengingat pentingnya pembangunan infrastruktur sebagai upaya percepatan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan sumber daya manusia di Indonesia, saat debat kedua nanti, capres dan cawapres harus berkomitmen atas beberapa hal, yakni: (1) menuntaskan dan merawat infrastruktur yang telah dibangun; (2) memperkuat kinerja Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang terdiri dari Inspektorat dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam mengawasi proyek-proyek infrastruktur; (3) Memperkuat peran lembaga-lembaga pengawasan eksternal, seperti BPK dan KPK dalam menelusuri celah-celah korupsi anggaran infrastruktur; dan (4) Meningkatkan peran serta masyarakat saat perencanaan, penganggaran, implementasi, hingga pertanggungjawaban proyek-proyek infrastruktur.