Skip to main content

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menolak wacana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa (Kades) 9 tahun dan dapat dipilih kembali selama dua periode. Pasalnya, tuntutan itu belum ada landasan filosofis, sosiologis maupun praksis yang mendasarinya.

“Untuk itu perlu ditangguhkan. Yang dibutuhkan justru memperkuat demokratisasi di desa,” kata Manager Riset Sekretariat Nasional (Seknas) Fitra Badiul Hadi kepada Media Indonesia, Rabu (25/1).

Dijelaskannya, demokratisasi desa bertujuan untuk memperkuat kewenangan desa dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Untuk mencapainya diperlukan pendidikan politik warga yang baik. Adapun sebagai catatan, pemberian wewenang warga desa memilih sendiri kepala desanya yang dikehendaki sesuai dengan adat istiadat setempat sudah berlangsung sejak tahun 1854.

Menurutnya, polarisasi sebagai residu Pilkades terjadi karena demokratisasi desa dimaknai sebatas suksesi kepala desa bukan subtansi demokrasi desa misalnya visi berdesa dan kualitas gagasan dalam program kerja.

“Karena itu, wacana perpanjangan masa jabatan kades belum ada landasan filosofis, sosiologis maupun praksis yang mendasarinya, Masa jabatan kepala desa 6 tahun dan dapat dipilih 3 kali sebagaimana selama ini berjalan sudah baik. Tinggal bagaimana masalah kesejahteraannya terpenuhi, terlebih dengan banyaknya beban pekerjaan yang diemban kepala desa,”

Badiul Hadi, Manager Data dan Riset Seknas FITRA

Ia mengungkapkan, problem yang dialami banyak desa bukan sebatas masa jabatan kepala desa, lebih mendasar lagi terkait kesejahteraan aparatur desa. Problem pengaturan penghasilan tetap dan tunjangan Kades dan perangkat desa belum mencerminkan rasa keadilan.

Sedangkan perintah membayar gaji atau siltap (penghasilan tetap), tunjangan, dan operasional pemerintahan desa harus bersumber dari alokasi dana desa (ADD).

Selain itu, besaran prosentase antara jabatan Kades, Sekdes, dan perangkat lainnya sudah diatur sedemikian ketat dan tidak proporsional serta tidak mencerminkan jaminan peningkatan kesejahteraan.

“Tawaran solusinya adalah pemerintah pusat berkomitmen mengalokasikan 10% dana desa dari dana transfer (on top) dan dapat dialokasikan untuk operasional Pemdes serta mengkaji kembali pengaturan prosentase siltap, di samping itu, pemerintah daerah juga diminta berkomitmen mengalokasikan ADD minimal 10% dari DAU plus DBH dan bagi hasil pajak serta retribusi daerah untuk desa,” tegas Badiul

Sejauh ini, lanjutnya, posisi daerah yang telah memenuhi ADD minimal 10% sejumlah 355 daerah. Dengan ADD tertinggi 182,08% dialokasikan oleh Kabupaten Badung.

Sedangkan yang belum memenuhi ada 79 daerah, dengan ADD terendah 0,45% yang dialokasikan oleh Kabupaten Padang Sidempuan. Ia juga menegaskan, Seknas Fitra bersama Simpul Jaringan (Sijar) berpandangan revisi Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 saat ini belum mendesak dilakukan.

Fitra justru mendorong agar pemerintah fokus pada perbaikan kualitas dan mandat UU Desa. Diantaranya mandatory spending untuk memperkuat ruang fiskal di desa serta melakukan perbaikan regulasi pelaksanaan UU Desa agar tidak overlap.

“Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa merupakan hasil refleksi panjang dari pemaknaan posisi desa di Indonesia,” ucap Badiul.

“UU Desa diharapkan dapat meningkatkan peran desa dalam pembangunan Indonesia berdasarkan kewenangan yang dimiliki desa. Sejauh ini harapan itu belum berjalan optimal,” jelasnya.

“Menurut hasil kajian Fitra, belum maksimalnya pelaksanaan UU Desa bukan karena isi dan subtansi UU Desa, akan tetapi karena tumpang tindih regulasi pelaksanaan UU Desa yang “mengamputasi” sebagian kewenangan desa,” pungkasnya

Sumber: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/553178/fitra-tolak-tuntutan-perpanjangan-masa-jabatan-kades-9-tahun