Skip to main content

JAKARTA, KOMPAS — Sejak akhir 2022 sampai saat ini, pemerintah belum juga memberikan kompensasi atau santunan kepada keluarga anak-anak korban gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA karena terkendala birokrasi anggaran. Padahal, di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ada anggaran belanja tidak terduga yang bisa digunakan dalam kondisi darurat seperti ini.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menilai, bentuk pertanggungjawaban pemerintah tidak selesai pada BPJS Kesehatan yang sudah merupakan hak warga negara. Santunan atau kompensasi tetap dibutuhkan mengingat tragedi yang menjerat ratusan anak Indonesia ini terjadi karena kelalaian pengawasan obat di dalam negeri.

Sebagai informasi, obat sirop yang tercemar etilen glikol dan dietilen glikol itu sudah menjangkiti 326 pasien anak di 27 provinsi yang tercatat di Kementerian Kesehatan. Sebanyak 204 korban meninggal dan 122 anak selamat. Walakin, korban selamat mengalami sejumlah efek lanjutan seperti makan dari selang nasogastrik, gangguan penglihatan dan pendengaran, hingga kelumpuhan.

”Kalau benar pemerintah punya komitmen menyelesaikan masalah ini secara kemanusiaan, ya masih ada jalan. Skema belanja tidak terduga bisa digunakan untuk korban obat sirop ini, sama seperti Covid-19,”

Misbah Hasan, Sekretaris Jenderal FITRA

Belanja tidak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang. Misalnya, penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat atau daerah.

Sementara itu, Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Robben Rico mengungkapkan, saat ini pihaknya bersama dengan Kementerian Kesehatan sedang mencari dasar hukum untuk mencairkan anggaran santunan bagi keluarga korban. Dasar hukum ini penting agar pencairan anggaran negara sesuai dengan aturan hukum.

Menurut Robben, Kemensos tidak bisa mencairkan anggaran bantuan sosial kepada keluarga berkecukupan yang tidak termasuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Sementara tidak semua korban GGAPA termasuk dalam kategori keluarga miskin.

”Kami tidak bisa memutuskan sendiri, berapa besarannya saya juga belum tahu, harus bareng-bareng. Misalnya, orangnya yang kena (GGAPA) tetapi orangnya tidak masuk dalam kategori miskin, sementara yang harus kami kasih bansos kan yang miskin di dalam DTKS,” kata Robben saat ditemui di Polda Metro Jaya, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (20/7/2023).

Kemensos, kata Robben, juga sudah menanggung beberapa korban GGAPA dalam pelayanan BPJS Kesehatan melalui skema penerima bantuan iuran (PBI) dari pemerintah. Ini merupakan salah satu tanggung jawab pemerintah atas tragedi yang menjerat 326 anak-anak di 27 provinsi di Indonesia.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menambahkan, pelayanan kesehatan bagi 122 anak-anak yang selamat sampai saat ini masih tetap ditanggung BPJS Kesehatan. Santunan nantinya akan diberikan untuk meringankan ekonomi keluarga korban yang kian terimpit sejak anaknya teracuni.

”Kami masih melakukan kajian supaya kompensasi yang diminta ini bisa diberikan sesuai aturan yang ada,” kata Siti.

Menanti realisasi
Sholihah (36), ibu dari Azqiara Anindita Nuha (3), korban GGAPA meninggal, masih menanti kompensasi tersebut. Dia berharap wacana yang terus diulang pemerintah ini benar-benar terealisasi.

”Sekarang saat beritanya ramai lagi baru ada lagi wacana santunan. Padahal, dulu Kemensos bilang tidak ada uangnya, kami cukup kesal juga dulu. Kami masih berharap, tetapi tinggal secuil,” kata Sholihah.

Azqiara meninggal pada 16 Oktober 2022 setelah perawatan intensif enam hari di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Salemba, Jakarta Pusat. Dia mengonsumsi obat sirop parasetamol dari resep yang diberi dokter di faskes tingkat pertama dengan layanan BPJS Kesehatan.

Sholihah bersama 41 keluarga korban GGAPA lainnya menuntut setiap anak yang meninggal diberikan kompensasi sebesar Rp 3 miliar per orang dan Rp 2 miliar per orang bagi keluarga korban selamat. Hal ini diperjuangkan mereka dalam sidang gugatan kelompok (class action) yang masih terus berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dalam sidang ini, para korban tidak sekadar menuntut uang santunan. Gugatan perlu dilakukan untuk mengungkap akar permasalahan GGAPA dan perbaikan sistem kesehatan demi mencegah tragedi keracunan obat terulang di masa depan.

Sebanyak 5 dari 11 tergugat dikeluarkan sebagai tergugat karena sudah mencapai kesepakatan damai setelah delapan kali mediasi dengan para korban. Sementara enam tergugat lainnya, termasuk tiga lembaga pemerintah, memilih melanjutkan perkara.

Keenam tergugat itu adalah Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Keuangan; dua perusahaan penyalur obat, PT Tirta Buana Kemindo dan CV Samudera Chemical; serta satu perusahaan farmasi, yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry.

Sidang dengan nomor perkara 771/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst ini ditunda sampai Selasa (25/7/2023). Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Yusuf Pranowo meminta penggugat merevisi berkas gugatannya.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/metro/2023/07/21/pemerintah-bisa-pakai-pos-belanja-tak-terduga-untuk-santunan-korban-gangguan-ginjal-akut