JAKARTA, KOMPAS — Lonjakan alokasi Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2026 hingga Rp 525 triliun menimbulkan kekhawatiran. Tanpa rincian yang jelas, alokasi anggaran jumbo ini berpotensi menjadi ruang gelap dalam pengelolaan kas negara.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) adalah pos anggaran yang dikelola Menteri Keuangan, tetapi tidak di bawah anggaran kementerian/lembaga (K/L) tertentu.
BA BUN menjadi wadah yang meliputi fungsi belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah, pembiayaan, serta dapat digunakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan dan pencairan dana oleh Satuan Kerja BUN.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menilai, kenaikan BA BUN dari Rp 358 triliun pada 2025 menjadi Rp 525 triliun tahun depan menimbulkan persoalan serius. Angka itu setara 32 persen dari total belanja nonkementerian/lembaga (non-KL).
”Dengan meningkatnya BA BUN, rinciannya tidak pernah dibahas di DPR. Itu artinya aspek transparansi dan akuntabilitasnya sangat lemah. Publik pun sulit mengakses perinciannya,” kata Misbah, di Jakarta, Kamis (28/8/2025).
Misbah menyampaikan berdasarkan pengalaman Fitra dalam meneliti pos subsidi dan kompensasi energi, pemerintah kerap enggan terbuka terhadap alokasi BA BUN. Padahal, prinsip pengelolaan keuangan negara seharusnya menjamin transparansi dan akuntabilitas.
”Kalau sampai DPR tidak mendapat rincian BA BUN, itu pelanggaran prinsipil dalam pengelolaan anggaran,” ujarnya.
Misbah menjelaskan, ketentuan mengenai BA BUN sebenarnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 127 Tahun 2020 yang mencakup delapan jenis belanja, mulai dari pengelolaan utang, hibah, investasi, subsidi, hingga transaksi khusus.
Namun, karena berada sepenuhnya di bawah otoritas Kementerian Keuangan, rincian penggunaannya jarang dibuka ke publik.

Pergeseran pola
Dari perspektif tata kelola fiskal, lonjakan BA BUN juga menggeser pola anggaran dari yang berbasis formula, seperti Transfer ke Daerah (TKD), menjadi mekanisme yang lebih berdasar pada diskresi atau keputusan presiden. Dalam RAPBN 2026, TKD justru turun hampir 25 persen dibanding outlook 2025.
”Ketika pos besar dikelola tertutup, demokrasi fiskal ikut melemah. DPR tidak bisa menjalankan fungsi kontrol, sementara publik tidak tahu dana dipakai untuk apa,” ujar Misbah. Kondisi ini, lanjut dia, memperbesar potensi penyimpangan, terlebih BA BUN kerap dipakai untuk program langsung arahan Presiden.
Kendati demikian, Misbah mengakui keberadaan BA BUN tetap diperlukan untuk menjaga fleksibilitas fiskal. Alokasi ini umumnya dipakai untuk subsidi energi ataupun non-energi, belanja darurat, hingga antisipasi risiko fiskal akibat krisis global.
”Masalahnya bukan pada keberadaan BA BUN, melainkan keterbukaan penggunaannya. Harusnya dibahas di DPR dan dilaporkan ke publik,” katanya.
Fitra mendorong pemerintah memperkuat mekanisme pelaporan berkala mengenai BA BUN, membuka rincian penggunaan, serta memastikan keterlibatan DPR dalam pembahasan. Dengan demikian, pos anggaran besar ini tidak menjadi ruang tertutup yang melemahkan disiplin fiskal.
”Kalau transparan, publik bisa tahu anggaran dipakai untuk apa. Itu kunci menjaga akuntabilitas pengelolaan fiskal kita,” ujar Misbah.

Sementara itu, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menyatakan, lonjakan BA BUN sebagian besar bersumber dari pengalihan dana Transfer ke Daerah (TKD) yang dipangkas 24,7 persen, dari Rp 864,1 triliun pada outlook 2025 menjadi Rp 650 triliun dalam RAPBN 2026.
”Lonjakan BA BUN menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi dan akuntabilitas. Tidak ada rincian alokasi yang harus melalui persetujuan DPR,” kata Rizal.
Pos gelap
Secara struktur, BA BUN biasanya dipakai untuk cadangan, subsidi, belanja lain-lain, hingga kewajiban kontingensi. Namun, menurut Rizal, peningkatan signifikan di pos ini justru memperlemah mekanisme pengawasan. Selama ini, DPR hanya mengesahkan pagu total, sementara eksekusi sepenuhnya berada di tangan Kementerian Keuangan.
Kondisi itu, lanjut dia, membuat mekanisme check and balance semakin lemah. Baik DPR maupun publik tidak dapat mengakses detail penggunaan anggaran sebelum realisasi. Minimnya laporan outcome yang bisa diaudit juga memberi ruang diskresi eksekutif yang sangat besar.

Rizal khawatir, BA BUN berpotensi menjadi ”pos gelap” dalam APBN. Meski sah secara hukum, anggaran tersebut rawan diarahkan untuk mendukung kebijakan politik jangka pendek atau menutup kekurangan di pos lain.
”Situasi ini menimbulkan risiko moral hazard fiskal karena penggunaan BA BUN bisa menyimpang dari prioritas pembangunan jangka panjang,” ujarnya.
Implikasi lain yang ditimbulkan adalah pergeseran pola tata kelola fiskal. Jika TKD sebelumnya lebih transparan, BA BUN justru sangat bergantung pada diskresi pemerintah pusat.
Dari sisi kendali fiskal, hal ini memberi ruang fleksibilitas lebih besar. Namun, dari sisi demokrasi fiskal, konsentrasi dana di BA BUN berpotensi melemahkan akuntabilitas, mengurangi otonomi daerah, serta menurunkan peran DPR dalam pengawasan pengeluaran negara.
Dalam konteks ruang fiskal yang terbatas, peningkatan BA BUN juga dinilai menghadirkan dilema. Di satu sisi, pos ini bisa menjadi instrumen politik; di sisi lain, ia berpotensi membebani disiplin anggaran.
Rizal menambahkan, lonjakan BA BUN memang tidak otomatis menandakan adanya penyalahgunaan. Namun, indikasi ketidaksesuaian dengan prinsip tata kelola yang baik tetap kuat.
”Potensi penyalahgunaan lebih pada penggunaan anggaran yang tidak sesuai prioritas pembangunan, lemahnya transparansi publik, serta terbatasnya ruang kontrol DPR,” ujarnya.
Untuk mengurangi risiko tersebut, Rizal mendorong pemerintah menerapkan mekanisme pelaporan periodik yang terbuka kepada DPR dan publik. Selain itu, peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam melakukan audit berbasis outcome perlu diperkuat.
”Proporsi BA BUN juga sebaiknya dibatasi agar tidak menggerus transparansi dan disiplin anggaran,” kata Rizal.