Skip to main content

Belanja pemerintah hingga saat ini belum optimal dalam mendorong permintaan agregat. Perlambatan ekonomi yang terjadi sejak awal tahun kian menekan kinerja penerimaan negara. Di sisi lain, reformasi perpajakan belum menunjukkan hasil signifikan.

Besarnya tekanan kekurangan penerimaan pajak atau shortfall pada akhir 2025 mendorong Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto untuk segera menyusun strategi jangka pendek. Strategi tersebut diharapkan tidak membebani masyarakat luas, tetapi tetap mampu memberikan kontribusi pada kas negara.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga April 2025, realisasi penerimaan pajak baru Rp 557,1 triliun atau 25,4 persen dari target tahun ini. Angka tersebut mengalami kontraksi 10,8 persen dibandingkan periode yang sama pada 2024.

Di sisi lain, realisasi belanja negara hingga akhir April 2025 baru Rp 806,2 triliun atau 22,3 persen dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp 3.621,3 triliun. Realisasi tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 546,8 triliun serta transfer ke daerah Rp 259,4 triliun.

Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi mengatakan, realisasi belanja pemerintah yang masih di bawah 30 persen pada saat permintaan domestik tengah lesu menandakan belanja pemerintah belum berperan optimal menjaga daya beli masyarakat.

Lesunya daya beli masyarakat tecermin dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2025 yang hanya tumbuh 4,87 persen, menurun dari periode yang sama tahun lalu di level 5,11 persen.

”Belanja (pemerintah) juga masih didominasi belanja operasional dan administrasi dibanding belanja modal perlindungan sosial yang memiliki dampak langsung pada agregat demand,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (26/5/2025).

Di sisi lain, kebijakan efisiensi anggaran melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 justru dinilai menjadi penghambat aktivitas ekonomi. Efek pengganda fiskal melemah karena belanja pemerintah tidak optimal mendorong permintaan agregat. ”Ini berisiko memperdalam perlambatan ekonomi,” kata Badiul.

Indikasi lain belum optimalnya belanja pemerintah sebagai penyangga ekonomi adalah dana yang sudah dikirim ke daerah belum sepenuhnya dibelanjakan. Banyak daerah lambat menyusun dan mengeksekusi APBD akibat rendahnya kapasitas teknis dan ketergantungan pada pedoman pusat.

Beberapa proyek infrastruktur strategis, lanjutnya, mengalami perlambatan karena proses tender dan belanja fisik molor. Hal ini berdampak pada turut melambatnya penciptaan lapangan kerja dan kehadiran efek berganda (multiplier effect) terhadap sektor riil.

Ekonom senior Bright Institute, Awalil Rizky, melihat kontraksi penerimaan pajak Januari hingga April 2025 jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya menandakan bahwa ekonomi Indonesia sedang dalam tekanan. Pelemahan pertumbuhan ekonomi telah terjadi dan diperkirakan masih akan terjadi sepanjang tahun.

”Bila belanja negara tidak diarahkan secara efektif untuk mendorong pertumbuhan, maka risiko shortfall pajak akan makin besar,” katanya.

Selisih penerimaan

Awalil memprediksi penerimaan pajak pada akhir tahun hanya akan mencapai 95 persen dari target Rp 2.189,3 triliun. Kinerja penerimaan pajak tidak akan berjalan optimal lantaran terdapat penurunan aktivitas ekonomi. Di sisi lain, upaya menggenjot penerimaan pajak melalui digitalisasi dan reformasi perpajakan masih mengalami banyak kendala.

Ia menilai strategi mengejar penerimaan tanpa memperhatikan dampak terhadap aktivitas ekonomi justru kontraproduktif. Situasi ini menjadi alarm bagi Dirjen Pajak baru untuk harus berhati-hati dalam meningkatkan pendapatan agar upaya menggenjot penerimaan negara tidak malah memukul laju perekonomian.

”(Dirjen Pajak Bimo Wijayanto) Jangan hanya fokus mengejar target pajak, yang lebih penting adalah efektivitas belanja untuk menggerakkan ekonomi,” ujarnya.

Hal senada disampaikan analis kebijakan ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani. Ia menyoroti realisasi pajak kuartal I-2025 yang hanya 14,7 persen dari target, lebih rendah dibandingkan capaian kuartal I-2024 sebesar 19,2 persen.

”Tanpa perubahan kebijakan yang signifikan, potensi shortfall tahun ini bisa tembus Rp 100 triliun,” katanya.

Ajib juga menyoroti lemahnya pemungutan di sektor grey economy serta kendala teknis dalam implementasi sistem pajak digital Coretax yang dinilai belum siap. ”Ketidaksiapan sistem justru meningkatkan beban kepatuhan wajib pajak dan menekan penerimaan,” imbuhnya.

Strategi terukur

Dengan tekanan shortfall yang makin nyata, Badiul menilai Dirjen Pajak yang baru perlu menyusun strategi jangka pendek terukur, seperti peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak melalui optimalisasi layanan digital dan compliance risk management, bukan semata penegakan hukum.

Di luar itu, lanjutnya, penting juga melakukan konsolidasi data dan memabangun sinergi antarlembaga lewat pemanfaatan data dari OSS, dukcapil, perbankan, dan pemda untuk bisa memperkuat basis data perpajakan secara cepat. Konsolidasi data dinilai akan efektif terutama untuk sektor-sektor yang masih under reported atau nilai laporan pajak berpotensi lebih rendah dari kondisi sesungguhnya.

”Otoritas pajak perlu fokus pada sektor-sektor high-risk dengan pendekatan preventif, bukan represif. Misalnya, sektor digital, pertambangan, dan transaksi lintas negara,” ujar Badiul.

Hal yang tidak kalah penting adalah penguatan kerangka regulasi, revisi regulasi lama agar sesuai dengan model bisnis baru seperti ekonomi digital, pusat data, hingga energi hijau. Pemanfaatan skema public service fees juga tidak boleh membebani masyarakat luas, tetapi tetap memberi kontribusi pada kas negara.

Sementara dari sudut pandang industri, Ajib mendorong perbaikan Coretax yang masih bermasalah. Menurut dia, ketidaksiapan sistem dan mitigasi risiko justru menjadikan cost compliance yang tinggi di sisi wajib pajak dan berkontribusi negatif terhadap penerimaan berjalan.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/belanja-pemerintah-belum-dorong-permintaan-shortfall-pajak-kian-tak-terhindarkan