PEMERINTAH menargetkan penerimaan negara dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2026 mencapai Rp 3.147,7 triliun. Naik 9,8 persen dibanding penerimaan pada tahun ini yang diprediksi hanya Rp 2.865,5 triliun.
Penerimaan negara masih ditopang pajak yang ditargetkan Rp 2.357,7 triliun tahun depan, angka itu naik 13,5 persen dari proyeksi tahun ini. Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan, mengatakan masih banyak tantangan yang harus dihadapi pemerintah untuk menunjukan target tersebut. Di satu sisi pajak masih menekan masyarakat. “Reformasi perpajakan belum komprehensif hingga daerah sehingga membebani rakyat kecil,” ucapnya lewat keterangan resmi, Senin, 18 Agustus 2025.
Fitra menyoroti setidaknya ada 5 persoalan yang perlu diselesaikan pemerintah untuk mencapai target penerimaan negara. Pertama, sistem pelayanan perpajakan atau Coretax system yang belum stabil. Sehingga belum ada kepercayaan dari masyarakat.
Kedua, masih lemahnya integrasi sistem penerimaan negara yakni pajak, bea-cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sehingga akurasi data penerimaan rendah dan kualitas pengawasan lemah. Persoalan ketiga adalah masih lemahnya kualitas pemeriksaan, sehingga menimbulkan sengketa perpajakan yang tinggi.
Masalah keempat adalah kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang terfragmentasi, khususnya setelah ditetapkannya Undang-undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD). “Contohnya adalah belum sinkronnya desain pajak dan tata kelola implementasi opsen pajak dan restrukturisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD),” ucapnya.
Hal ini menimbulkan kesewenang-wenangan pemerintah daerah (Pemda) menaikan pajak/retribusi. Misbah mencontohkan kasus kenaikan tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Pati. Demo besar terjadi di pekan yang sama dengan pembacaan nota keuangan RAPBN 2026. Menurut Fitra kasus ini kemungkinan dapat terjadi pula di daerah lainnya.
Terakhir adalah masalah transparansi dan akuntabilitas belanja perpajakan (tax expenditure) yang diestimasi mencapai Rp 563,6 triliun. Belanja perpajakan ini 50 persennya besar berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM.
Fitra merekomendasikan pemerintah kreatif dengan memperbaiki manajemen, sistem, dan tata kelola perpajakan. Fragmentasi pajak antara pusat dan daerah juga harus segera disikapi agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat karena beban pajak semakin tinggi. “Dan yang terpenting, sistem perpajakan, bea-cukai dan PNBP harus terintegrasi dan transparan, dapat dipantau oleh publik,” ucap Misbah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengakui target penerimaan tahun depan naik signifikan. Penerimaan pajak Rp 2.357,7 triliun artinya harus tumbuh 13,5 persen. “Itu cukup tinggi dan ambisius,” ucapnya dalam konferensi pers RAPBN 2026 dan nota keuangan di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak Jakarta, Jumat, 15 Agustus 2025.
Meski demikian bendahara negara memastikan tak ada penambahan kebijakan pajak dan tarif baru untuk mengejar target tersebut. Aturan masih mengacu pada Undang-undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP). “Jadi tidak ada tarif baru,” ujarnya.