Alokasi anggaran Kepolisian Negara RI terus mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Salah satunya adalah untuk kebutuhan alat pengamanan massa. Tren belanja besar oleh aparat ini pun menjadi sorotan, terutama di tengah tindakan represif polisi terhadap warga saat unjuk rasa akhir-akhir ini.
Peristiwa terbaru adalah kendaraan taktis Brimob yang melindas pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan, hingga tewas dalam upaya pembubaran aksi unjuk rasa di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis (28/8/2025).
Unjuk rasa itu digelar untuk menyuarakan tuntutan buruh atas hak-hak yang lebih layak serta protes atas gaji dan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang bernilai fantastis.
Tewasnya Affan itu menambah deret panjang tindakan represi aparat terhadap warga yang sedang menyampaikan aspirasi. Sejumlah pihak pun mempertanyakan belanja keamanan yang jumbo di bawah Kepolisian Negara RI (Polri) itu.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, alokasi anggaran untuk Polri terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam lima tahun terakhir, kenaikannya mencapai 42 persen dari Rp 102,2 triliun pada 2021 menjadi Rp 145,6 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Secara rinci, anggaran itu naik menjadi Rp 114,2 triliun pada 2022, lalu menjadi Rp 119,8 triliun pada 2023, dan Rp 136,5 triliun pada 2024.
Alokasi anggaran di RAPBN 2026 itu lebih tinggi dibandingkan anggaran Polri dalam proyeksi (outlook) 2025 yang diproyeksikan Rp 138,5 triliun serta pagu anggaran di APBN 2025 yang sebesar Rp 126,6 triliun.
Dengan alokasi tersebut, Polri menjadi penerima anggaran terbesar ketiga setelah Kementerian Pertahanan (Rp 185 triliun) dan Badan Gizi Nasional (Rp 268 triliun). Kenaikan ini sekaligus mempertegas tren peningkatan anggaran kepolisian dalam empat tahun terakhir. Lantas, untuk apa saja?

Mengacu pada Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026, belanja Polri diarahkan pada lima program. Pertama, program profesionalisme sumber daya manusia senilai Rp 1,2 triliun.
Kedua, program penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Rp 3,6 triliun. Ketiga, program dukungan manajemen Rp 73 triliun.
Keempat, program modernisasi alat material khusus (almatsus) dan sarana-prasarana dengan anggaran Rp 58,1 triliun. Kelima, program pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat Rp 14,9 triliun.
Belanja alat pengendali massa
Salah satu belanja Polri yang menjadi sorotan adalah pengadaan alat pengendali massa yang dalam empat tahun terakhir ini anggarannya terhitung besar.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat, sepanjang 2021–2025, belanja negara untuk pengadaan alat pengendali massa mencapai Rp 2,6 triliun. Belanja itu meliputi pembelian tongkat baton, drone pelontar gas air mata, hingga peluru karet.
Jika dijumlahkan, total belanja tongkat baton sepanjang 2021–2025 mencapai Rp 1 triliun. Di luar itu, Polri juga menganggarkan pembelian gas air mata, pelontar, dan masker senilai Rp 1,1 triliun, serta peluru karet atau pepper projectile sekitar Rp 49,9 miliar.
Polri juga menganggarkan pengadaan alat pengamanan massa lain, seperti perlengkapan antianarkis senilai Rp 95 miliar, rantis penghalau massa senilai Rp 200 miliar, serta amunisi huru-hara senilai Rp 60 miliar.
Peneliti Fitra, Gurnadi Ridwan, di Jakarta, Jumat (29/8/2025), mengatakan, anggaran negara yang ada mesti direorientasikan ke arah pelayanan publik dan penguatan demokrasi ketimbang belanja yang bersifat represif. Apalagi, di tengah keterbatasan ruang fiskal.
Jika negara mengalokasikan anggaran yang besar untuk alat represif tanpa evaluasi menyeluruh, yang dipertaruhkan bukan hanya keselamatan warga, tetapi juga kualitas hukum dan demokrasi.
”Instrumen seperti itu kerap digunakan untuk membubarkan aksi unjuk rasa dengan kekerasan. Pola belanja Polri menunjukkan kecenderungan menguatkan pendekatan kekerasan dibanding memperluas kapasitas aparat melalui cara humanis dan persuasif,” ujarnya

Gurnadi menambahkan, penggunaan instrumen yang represif berulang kali memunculkan korban, bahkan hingga menghilangkan nyawa. Arah kebijakan itu pun dinilai kontraproduktif dengan komitmen negara dalam menegakkan demokrasi dan menghormati hak asasi manusia.
”Alih-alih memperbesar anggaran untuk gas air mata, negara seharusnya mengutamakan belanja yang mendorong pendekatan humanis, dialogis, dan persuasif,” ujarnya.
Fitra menegaskan, anggaran negara semestinya digunakan seoptimal mungkin untuk mengayomi rakyat. Oleh karena itu, Fitra menuntut evaluasi menyeluruh atas kebijakan penggunaan alat represif dalam demonstrasi.
Fitra juga mendorong reorientasi anggaran dari belanja represif ke arah pelayanan publik dan penguatan demokrasi. ”Demokrasi tidak bisa tumbuh dalam suasana ketakutan. Negara dan Polri diminta bertanggung jawab atas tindakan represif yang menimbulkan korban jiwa. Pertanggungjawaban dianggap penting agar praktik serupa tidak terus berulang,” kata Gurnadi.

ambahan anggaran
Untuk tahun 2026, Polri sempat meminta tambahan anggaran. Dalam rapat dengan Komisi III DPR, di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (7/7/2025), Polri melalui Asisten Kapolri Bidang Perencanaan Umum dan Anggaran Komisaris Jenderal Wahyu Hadiningrat mengajukan tambahan anggaran belanja Polri sebesar Rp 46,8 triliun atau naik 37 persen dibanding alokasi APBN 2025.
Ia menjelaskan bahwa tambahan dana dibutuhkan untuk mendukung rencana kerja Polri pada 2026. ”Polri telah mengusulkan kebutuhan anggaran kepada Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas melalui surat Kapolri sebesar Rp 173,4 triliun,” katanya.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai kenaikan anggaran belanja Polri untuk tahun 2026 dinilai tidak sejalan dengan semangat efisiensi pemerintah. Menurut dia, semestinya dana besar dialihkan ke sektor pendidikan atau bantuan sosial.
”Sayangnya transparansi penggunaan anggaran Polri minim, tidak dijelaskan rinci. Pada saat yang sama, Polri memamerkan robot polisi seharga hampir Rp 3 miliar per unit dalam upacara HUT Bhayangkara Juli 2025,” katanya.
Menurut Achmad, anggaran besar yang tak terarah hanya memperbesar potensi penyimpangan dan memperparah ketidakpercayaan publik. ”Dari tragedi yang menewaskan Affan, Polri perlu melakukan evaluasi besar-besaran,” ujarnya.