MANAJER Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi berpendapat, opini hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan kementerian/lembaga sementara waktu dapat dihilangkan dari indikator kinerja pemerintah.
Hal itu menyusul sejumlah kasus hukum yang menjerat auditor hingga pimpinan BPK dalam beberapa waktu terakhir.
“(Pilihan) yang agak ekstrem, opini hasil pemeriksaan BPK seperti WTP (wajar tanpa pengecualian) dan lainnya, tidak dijadikan indikator penilaian utama kinerja K/L atau Pemda,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (16/11).
Rentetan jerat hukum yang membelenggu personel dan pimpinan BPK dinilai menggerus kredibilitas lembaga pemeriksa keuangan itu. Apalagi hal ini terjadi bukan untuk yang pertama, melainkan telah berulang kali.
Badiul mengatakan, perbaikan internal menyeluruh urgen dilakukan BPK. Pasalnya, lembaga tersebut memiliki tugas dan fungsi yang cukup krusial, berkaitan dengan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
Perbaikan diperlukan agar lembaga itu dapat kembali meraih kepercayaan masyarakat. Hal tersebut juga berguna untuk meningkatkan akuntabilitas dan kredibilitas kerja-kerja yang dilakukan BPK ke depan.
Badiul mengatakan, sedianya ada opsi agar pemeriksaan pengelolaan keuangan negara dilakukan oleh auditor publik/swasta. Namun implementasi itu menurutnya tak semudah membalikkan telapak tangan.
“Secara aturan agak susah dialihkan ke auditor publik/swasta, sehingga pilihannya memang melakukan evaluasi secara menyeluruh,” tuturnya.
“Karena kasus yang menjerat pegawai atau auditor BPK bukan persoalan baru, kasus-kasus baru yang muncul saat ini menegaskan bahwa ada persoalan di dalam BPK,” lanjut Badiul.
Nama BPK diketahui kembali tercoreng. Sebab, dalam dua pekan terakhir BPK dirundung persoalan hukum akibat ulah pimpinan maupun pegawainya.
Pada Jumat (3/11), misalnya, anggota III BPK Achsanul Qosasi ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi proyek pembangunan base transceiver station (BTS) 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika oleh penyidik Kejaksaan Agung.
Lalu pada Senin (13/11), KPK menyegel ruang kerja anggota IV BPK Pius Lustrilanang. Penyegelan terkait dengan penetapan enam tersangka hasil OTT di Sorong, Papua Barat Daya, Minggu (12/11).
Enam orang itu yakni Penjabat (Pj) Bupati Sorong Yan Piet Mosso, Kepala BPKAD Kabupaten Sorong Efer Segidifat, staf BPKAD Kabupaten Sorong Manuel Syatfle, Kepala Perwakilan BPK Papua Barat Patrice Lumumba Sihombing, Kasubaud BPK Papua Barat Abu Hanifa, dan Ketua Tim Pemeriksa David Patasaung.
Bila ditelisik lebih jauh, amtenar BPK juga sebelumnya sempat terlibat dalam kasus di Kementerian Desa pada 2017, hingga kasus di Kabupaten Bogor pada 2022.
“Jadi perlu dilakukan evaluasi terhadap kelembagaan BPK, terutama komitmen pencegahan korupsi dan TPPU. hal ini penting untuk menjaga marwah BPK,” terang Badiul.
Hingga berita ini ditulis, BPK belum memberikan jawaban perihal upaya perbaikan dan jaminan atas pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Langkah untuk memperbaiki citra guna meningkatkan akuntabilitas lembaga juga urung disahut oleh lembaga tersebut.