Skip to main content

Oleh: Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) Kota Medan, Perkumpulan KuALA (Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh), Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan

Efisiensi APBN tahun 2025 bakal berdampak serius terhadap kian rentannya 2,3 juta nelayan di Indonesia terhadap kemiskinan. Hal ini disampaikan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil menyusul pemotongan pos-pos anggaran krusial yang berkaitan langsung dengan hajat hidup nelayan kecil di Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menemui fakta bahwa pemangkasan anggaran yang dilakukan pada  Kementerian Kelautan dan Perikanan justru menyasar sejumlah program yang berkaitan langsung dengan upaya peningkatan kesejahteraan nelayan.

“Mayoritas belanja di Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dipangkas memberikan dampak kepada nelayan kecil. Total belanjanya mencapai Rp1.490 miliar dari belanja operasional dan belanja program pemerintah. Isi belanja tersebut terkait dengan pelayanan dasar seperti perizinan dan belanja bantuan pemerintah terhadap nelayan,” ungkap Gulfino Guevarrato dari Seknas Fitra.

Seperti diketahui, APBN yang dialokasikan untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan mengalami pengurangan sebesar Rp2,12 triliun pada tahun 2025, yakni dari pagu awal Rp6,2 triliun menjadi Rp.4,10 triliun (lihat Tabel 1). Berkaitan dengan pemotongan anggaran ini, Menteri Kelautan dan Perikanan menyampaikan bahwa langkah efisiensi anggaran ini tidak akan mengganggu belanja untuk program prioritas nasional. “Dilihat dari struktur revisi anggarannya, belanja birokrasi atau kepegawaian memang tidak terdampak, namun belanja yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan pelayanan publik justru mengalami pengurangan signifikan,” tambah Gulfino.

“Kebijakan efesiensi anggaran oleh pemerintah tentu akan menjadi tantangan besar terkait dengan alokasi anggaran yang terbatas di tengah kebutuhan yang semakin besar. Dan hal ini berpotensi  lambatnya implementasi pada berbagai program dan kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya , termasuk program  ketangguhan menghadapi perubahan iklim , masalah layanan sanitasi, airbersih dan tata Kelola sampah dan masalah” tegas Nila Wati dari KPPI DPD Kota Medan.

Tabel 1. Efisiensi Anggaran di Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2025

NoPos AnggaranPagu AwalPagu Revisi
1Belanja BarangRp3,35 triliunRp1,16 triliun
2Belanja ModalRp943 miliarRp566 miliar
3Belanja PegawaiRp1,91 triliunRp1,91 triliun

Sumber: Nota Keuangan APBN tahun 2025

Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mencatat bahwa pengurangan pos-pos krusial yang berkaitan dengan masyarakat perikanan skala kecil akan berimbas pada maraknya praktek perikanan ilegal, tidak dilaporkan, dan belum diatur (IUU fishing) mengingat 80% pelaku perikanan di dalam negeri didominasi oleh nelayan kecil.

“Jika mereka tidak mendapatkan dukungan anggaran untuk melaut dengan kapabilitas dan kapasitas sarana yang lebih memadai, maka wilayah pengelolaan perikanan akan terlihat kosong sehingga kapal-kapal ikan asing leluasa mencuri sumber daya ikan nasional. Sementara pemerintah menargetkan pemberantasan IUU fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan 573, 714, 716, 717, dan 718,” tegas Abdul Halim dari Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan.

Di samping itu, problem mendasar pengelolaan perikanan yang dihadapi oleh pelaku usaha adalah tidak sebandingnya jumlah SDM pengawas di laut dengan luasnya wilayah pengelolaan perikanan yang mesti diawasi. “Hal ini berimbas pada maraknya praktek pemakaian alat tangkap ikan yang merusak. Jika tindak pidana ini terus dibiarkan, kelestarian sumber daya ikan akan terancam,” tambah Halim.

Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan menengarai kebijakan efisiensi yang diambil oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dan menyasar sejumlah program yang berkaitan langsung dengan hajat hidup nelayan kecil mencerminkan adanya ketidaksinkronan perencanaan anggaran dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di lapangan, di antaranya adalah minimnya jaminan keamanan dan keselamatan kerja di laut, khususnya di perairan perbatasan negara; dan rendahnya harga jual ikan di tengah meroketnya harga kebutuhan pokok. Di tengah kebijakan efisiensi, seyogianya Menteri Kelautan dan Perikanan memfokuskan anggarannya untuk meningkatkan resiliensi masyarakat perikanan skala kecil,” tambah Halim. 

Berdasarkan penelusuran FITRA terhadap DIPA Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (sebelum direvisi), Kementerian Kelautan dan Perikanan, ditemui sejumlah fakta sebagai berikut:

  1. Pagu anggaran sebelum direvisi sebesar Rp397,3 miliar sedangkan pagu setelah direvisi Rp 354,29 miliar.
  2. Di dalam pagu anggaran awal terdapat program pengelolaan kapal perikanan, alat penangkapan ikan, dan pengawakan kapal perikanan. Kemudian terdapat Klasifikasi RIncian Output (KRO) Perizinan Produk dengan Rincian Output (RO) dokumen kapal yang diterbitkan sebanyak 1000 izin dengan alokasi anggaran Rp1,5 miliar. Kemudian juga terdapat program bantuan untuk nelayan, seperti alat tangkap, alat bantu penangkapan ikan sebanyak 110 ribu unit dengan alokasi anggaran Rp15,2 miliar, dan sarana penangkapan ikan yang akan disalurkan, seperti kapal, mesin kapal, dengan volume 1.100-unit dengan alokasi anggaran sebesar Rp26,7 miliar.
  3. Bantuan kelompok masyarakat untuk kampung nelayan yang ditingkatkan fasilitasnya (Kampung Nelayan Maju/Kalaju). Setiap kampung akan mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp800 juta dan kampung nelayan yang ditingkatkan fasilitasnya melalui program Ocean for Prosperity Project (Lautra) yang didukung oleh Bank Dunia akan mendapatkan alokasi anggaran sekitar Rp350 juta.

Perubahan pagu anggaran belanja program Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2025, yakni dari Rp.1.478 miliar menjadi Rp464,3 miliar atau setara dengan 69% bakal berdampak pada pelayanan publik, khususnya nelayan kecil. “Padahal, dengan tingginya tingkat kerentanan ekonomi yang dialami oleh nelayan kecil, peranan program fasilitasi pemerintah akan dampak secara signifikan dalam mendorong peningkatan ekonomi mereka,” tutup Gulfino.

Potensi berkurangnya Pelayanan Publik di Sektor Kelautan dan Perikanan yang diselenggarakan oleh KKP, berdampak ganda bagi Perempuan nelayan. Menurut KPPI, sulitnya perempuan nelayan  mengakses program perlindungan sosial kesehatan dan janimnan keselamatan kerja Salah satunya adalah minimnya perempuan nelayan memiliki kartu kusuka, Dimana kartu kusuka sebagai prasyarat untuk  memperoleh asuransi bpjs ketegakerjaan, sebagai beasiswa sekolah di kementrian perikanan  bagi anak-anank nelayan, juga untuk mendapatkan bantuan dari dinas perikanan seperti alat tangkap, dan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan nelayan. Kebijakan efesiensi anggaran oleh pemerintah tentu akan menjadi tantangan besar terkait dengan alokasi anggaran yang terbatas di tengah kebutuhan yang semakin besar.