Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kembali mengungkap dugaan mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Apalagi sudah 15 tahun kasus tersebut tidak jelas pengungkapannya. Sehingga keberanian KPK mengungkap kembali kasus BLBI harus diapresiasi dan didukung.
“BLBI perlu dituntaskan dengan alat bukti baru. KPK telah menemukan bukti baru yaitu Surat Keterangan Lunas (SKL). Ini menjadi pintu masuk yang akurat mengusut korupsi Rp 138,442 triliun. SKL ini adalah pembayaran lunas ke Kementerian Keungan,” kata Deputi Sekjen FITRA, Apung Widadi di Jakarta, Selasa (25/4/2017).
Menurut Apung korupsi BLBI adalah kejahatan ekonomi yang memperburuk ekonomi saat ini. Karena korupsi ekonomi tersebut telah berlipat ganda, dugaan manipulasi jaminan aset, hingga menipu dalam keterangan lunas. Mereka yang dikucurkan dana mengaku sudah lunas tapi sebetulnya belum. Oleh karenanya para penerima dana BLBI harus bertanggungjawab.
“Inilah korupsi ekonomi yang berkembang biak, dan aktornya sekarang yang menguasai perekonomian Indonesia,” jelas Apung.
Apung mengungkapkan, dalam catatan FITRA, sampai 100 tahun Indonesia Merdeka (tahun 2045 ), hutang bunga BLBI belum Lunas, negara masih menanggung jatuh tempu kira kira sampai Rp 145 Triliun. Pertahun, Pemerintah bayar utang bunga saja Rp.7 T. Sedangkan, pengemplang BLBI menikmati hasil korupsi dengan mesin uang yang selalu mengalir dalam bisnisnya.
Oleh karena itu, belajar dari kasus kasus besar yang ditangani KPK, butuh dukungan Pemerintah khususnya Presiden untuk berul betul memberikan dukungan penuh, agar kasus BLBI ini selesai dituntaskan KPK. Kalau tidak, KPK justru yg akan dikriminalisasi dan dihancurkan oleh konglomerat pengemplang BLBI yang sekarang menguasai rantai gurita bisnis di Indonesia.
“Presiden harus mendukung penuh dan menjamin proses hukum tanpa intervensi oleh KPK,” tegasnya.
Diketahui pula, surat lunas BLBI itu terbit pada April 2004. Sjamsul Nursalim menyerahkan beberapa aset, di antaranya PT Dipasena yang laku Rp2,3 triliun serta GT Petrochem dan GT Tire yang laku dengan Rp1,83 triliun. Seperti diketahui SKL dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 oleh Presiden ketika itu yakni Megawati Soekarnoputri.
SKL tersebut berisi pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, atau dikenal juga dengan inpres tentang release and discharge. Berdasarkan inpres tersebut, debitor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti itu, mereka yang diperiksa dalam penyidikan Kejaksaan Agung akan mendapatkan surat perintah penghentian perkara (SP3).
Penerima SKL BLBI beberapa di antaranya, yakni pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BNDI) Sjamsul Nursalim, pengusaha The Nin King, pengusaha Bob Hasan, dan Salim Group (utang Salim Group ketika dibuatkan SKL mencapai lebih dari Rp 55 triliun rupiah. Selang 2 tahun setelah SKL terbit, aset Salim Group yang diserahkan ternyata hanya bernilai Rp 30 triliun).
sumber : http://nasional.harianterbit.com/