Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Nusa Tenggara Barat ( FITRA NTB) Ervin Kaffah menanggapi posi datif adanya informasi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang merilis adanya pencucian uang ke beberapa daerah diantaranya ke NTB.
Menurut Ervin Kaffah, di daerah seperti NTB, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK sangat jarang melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Sehingga, praktis korupsi pada level kedua yang melibatkan perselingkuhan aktor – baik baik politisi, pejabat birokrasi, pengusaha, aparat penegak hukum sulit diungkap. ‘’Apalagi korupsi pada lapis ketiga, berupa chabal (jejaring) yang bersifat Inter-lokal maupun Inter-nasional,’’ katanya.
Mengutip keterangan PPATK, dari 19 pelaku tersebut teridentifikasi melakukan transaksi di lembaga keuangan di Kota Mataram dan Kabupaten Sumbawa Barat. Pihak terkait bisa saja pengusaha/pejabat yang berbasis dari luar negeri atau di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta atau justru dari NTB sendiri, yang bekerja sama dengan orang yang melakukan pencucian uang tersebut di NTB.
Mendasarkan pada temuan PPATK selama beberapa tahun terakhir, para pelaku korupsi pola pencucian uangnya sudah bervariasi. Sebagai contoh, rekening pejabat atau pengusahanya mungkin dikelola oleh staf tertentu yang tak punya posisi penting, kenalan atau jaringan politik, bisa menggunakan jejaring keluarga atau orang dekat dan sebagainya.
FITRA NTB bersama jaringan nasional dua tahun ini sedang mendorong adanya keterbukaan yang lebih substansial mengenai Beneficiary ownerships atau penerima manfaat sebenarnya dari perusahaan yang terlibat dalam pengadaan barang jasa publik, sektor ekstraktif, dan sektor pariwisata. Sudah masanya, pemilik sebenarnya dari perusahaan-perusahaan tersebut harus dibuka kepada publik, dan pemerintah harus membuka itu.
Di NTB, hal ini bisa dimulai dengan membuka Beneficiary ownerships perusahaan – perusahaan yang terlibat dalam pengadaan belanja publik. Ia menilai langkah PPATK memperluas cakupan pemantauan transaksi keuangan yang mencurigakan ini memang mengalami peningkatan dibandingkan sebelumnya. Ke depan, diharapkan PPATK terus meningkatkan intensitas pemantauannya di NTB. ‘’Mengingat sekarang ini, ada pergeseran untuk proyek-proyek infrastruktur yang tren-nya mulai bergerak ke pola kerjasama Private-Government,’’ ujarnya.
Hal ini juga terkait dengan sejumlah proyek berskala-besar yang sedang berproses di NTB. Sebut saja, kini sedang berjalan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang muatan investasinya diperkirakan sudah mencapai 80 persen. Ke depan, ada rencana pengembangan Global Hub di Lombok Utara, jalan layang Lembar-Kayangan dan sebagainya.
Tren nasional, 2017 ini, 58 persen proyek infrastruktur diserahkan pengelolaannya langsung ke swasta dan tahun depan diperkirakan persentasenya meningkat. Beberapa diantaranya bisa jadi berlokasi di NTB.
Ervin Kaffah mengatakan sebagai warga NTB memberi apresiasi kepada PPATK atas pengumuman publiknya mengenai hasil penelusuran transaksi keuangan yang mencurigakan di 6 daerah, termasuk di NTB. Apresiasi ini patut diterima oleh lembaga tersebut mengingat semakin canggihnya modus praktek korupsi di daerah dewasa ini, sehingga langkah PPATK tepat waktu.
Dengan kondisi tersebut, kegiatan penelusuran transaksi keuangan oleh PPATK menjadi semakin vital. Akan terjadi pergeseran modus korupsi, dan tentu pola memitigasinya akan berbeda, dari sebelumnya memperbaiki sistem integritas birokrasi dan mengembangkan whistle blowing system, sekarang lebih terarah pada strategi follow the money.
Untuk kondisi sekarang ini, potensi pencucian uang terbesar dari hasil korupsi di NTB dikatakan masih terkait pengadaan barang jasa publik (public procurement) yang dikelola Pemda. Hal ini dipicu oleh masih buruknya pola belanja di daerah, yang berakibat 45 persen anggaran di seluruh daerah dibelanjakan akhir tahun. Sehingga aspek kehati-hatian berkurang dan dapat memicu potensi munculnya praktek moral hazard.
Beberapa kasus yang mencuat beberapa tahun terakhir memberi sinyal terhadap hal itu. Mengingat besarnya jumlah laporan masyarakat dari NTB yang diterima KPK, hal ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas whistle blowing system yang dikembangkan di birokrasi, contohnya di Pemperintah Provinsi NTB. Inspektorat NTB seharusnya mengumumkan kepada publik berapa kasus yang sudah diserap dan diteruskan ke APH, tapi selama ini publik khan tidak mendapat informasi.
Jika menilai kondisi secara umum, pengusaha di NTB umumnya masih bergantung ke perintah daerah. Tentu saja, ada sinyal penting mengenai potensi korupsi terkait investasi, perizinan, alih fungsi lahan dsb terkait kegiatan industri ekstraktif (termasuk kehutanan perkebunan, pertambangan) dan pariwisata.
Untuk temuan sekarang ini, diharapkan PPATK menindak lanjutinya bersama KPK untuk ditempuh pendekatan represif, sehingga bisa memberikan efek jera. ‘’Kami tidak tahu persis siapa pelaku pencucian uang yang sedang ditelusuri PPATK, ‘’ ucapnya.
sumber :http://lomboknews.com/2017/12/22/fitra-ntb-respon-19-transaksi-mencurigakan-di-mataram-dan-sumbawa-barat/