Skip to main content

Kondisi pangan di Tanah Air sangat mengkhawatirkan sebab telah lama terjadi pembiaran pangan nasional dikuasai oleh para pedagang yang mengandalkan impor. Petani sebagai prajurit pangan Tanah Air dan tanah sebagai senjatanya dibiarkan mati pelan-pelan oleh serbuan impor pangan.

“Bahkan pembangunan bendungan yang digembor-gemborkan untuk mengairi sawah, yang terjadi malah di masa kemarau ini kering. Lihat saja Bendungan Jatigede di Jabar sekarang, kering, bekas jalan raya dan perkampungan yang dijadikan bendungan kini muncul lagi. Artinya apa? Artinya rakyat bisa menduga soal pangan sampai bendungan itu proyek saja, rent seeking, bukan bagaimana food security kita terjaga,” kata pengamat pertanian dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Rudi Casrudi, kepada Koran Jakarta, Minggu (1/10).

Rudi tak habis pikir dari tahun ke tahun produksi pangan Tanah Air terus turun dan impor terus membesar. Rakyat bisa mengatakan para pemimpin negeri ini telah melakukan hal subversif karena menghancurkan food security. Kalau pemimpin tidak mengerti food security adalah keamanan nasional, ya bukan pemimpin, tapi pedagang.

“Karena tanpa kedaulatan pangan, negara bisa kolaps. Pemimpin harus tahu bahwa pangan lebih penting dari persenjataan nasional. Nah, bagaimana mungkin swasembada kalau yang dibesarkan adalah rent seeking impor pangan?” tandas Rudi.

Ketahanan apalagi kedaulatan pangan tidak akan pernah dimulai karena negara membiarkan semua pejabat pengambil keputusannya adalah para rent seeker impor pangan. Impor gandum 100 persen dibiarkan terus membesar kuantitinya. Kedelai produk petani lokal hanya cukup untuk konsumsi sebulan, artinya 11 bulan lainnya harus impor. Pangan lokal dibiarkan hancur dan semua jadi pemakan beras.

“Sementara tanah dibiarkan diubah menjadi beton, menjadi perumahan dan real estat. Pendiri bangsa kita, Sutan Sjahrir, sudah bilang bahwa negara kita adalah negara pangan, tapi pemimpin hari ini terus mengkhianatinya dengan mematikan petani dan tanah subur,” papar Rudi.

Reformasi Kebijakan

Sementara itu, Guru Besar Kebijakan Publik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Antun Mardiyanta, mengatakan untuk mencapai food security atau ketahanan pangan di Indonesia, harus ada reformasi kebijakan yang lebih memihak kepada petani. Reformasi kebijakan harus dilakukan dan segera diwujudkan karena food security adalah keamanan nasional, lebih penting dari persenjataan.

“Pertanian sekarang kondisinya memprihatinkan karena tidak ada lagi anak muda yang ingin menjadi petani. Untuk itu, pemerintah harus melakukan reformasi kebijakan agar dunia pertanian menarik untuk digeluti, terutama bagi anak muda,” kata Mardiyanta.

Mardiyanta mengingatkan harus ada pemihakan, pemerintah harus mengutamakan kepada petani. Indonesia ini negara agraris, seharusnya banyak petani muda yang berkecimpung di situ karena kondusif tanahnya. Nah, pemihakan itu masih kurang jelas.

“Bukan hanya soal impor, sampai pada urusan subsidi pupuk pun kurang memihak ke petani. Banyak kepentingan-kepentingan yang bermain di situ, sehingga kebutuhan petani tidak bisa diamankan. Petani akhirnya dirugikan, tidak ada kebijakan yang memihak. Harga beras juga dikendalikan sedemikian rupa sehingga merugikan petani,” tutur Mardiyanta.

Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan salah satu masalah oligarki pangan yang terjadi di Indonesia karena ada rent seeking pangan, terkait perdagangan atau tata niaga pangan, terutama impor pangan. Mereka berjalin dengan mafia atau kartel pangan. “Kondisi ini harus menjadi pelajaran rezim berikutnya. Kedaulatan pangan bukan saja soal produksi pangan lokal, juga soal demokratisasi pangan, khususnya tata niaga atau distribusi pangan,” ungkap Awan.

Sedangkan pengamat ekonomi Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Esther Sri Astuti, mengingatkan swasembada pangan tidak akan tercapai kalau tidak ada good will dari pemerintah, termasuk kalau kental dipengaruhi rent seeker impor pangan.

Dengan kata lain, tambah Esther, regulasi ke arah pencapaian swasembada pangan harus diwujudkan, seperti pupuk yang dibuat murah dan mudah diakses petani. Hasil riset antara perguruan tinggi dan pemerintah kemudian diproduksi oleh koperasi-koperasi, sehingga pupuk bisa diproduksi secara masal dan murah. Petani pun mudah mengaksesnya. Bukan seperti pupuk yang sekarang, diproduksi pabrik dan mahal harganya sehingga kadang terjadi kelangkaan pupuk.

“Jadi kebijakannya untuk jangka panjang, bukan jangka pendek yang memenuhi kebutuhan pangan dari impor. Karena para rent seeker itu berharap rupiah dari setiap kilogram bahan pangan yang diimpor,” tegas Esther.

Lebih spesifik, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan jika dilihat apa yang terjadi sekarang, praktik rent seeking sudah berjalan lama di Indonesia sehingga keadilan bagi petani sangat sulit terwujud. Rent seeking selama ini terkesan dibiarkan bahkan dilanggengkan sehingga mimpi swasembada pangan sulit terealisasi.

“Jangankan swasembada, untuk tidak impor pangan (beras) kita sangat kesulitan. Jika dilihat data Bulog per Agustus 2023 saja, pemerintah sudah melakukan impor beras sebanyak 1,6 juta ton (dengan total nilai mencapai sembilan triliun rupiah) dari total penugasan 2,3 juta ton. Jumlah itu mencakup 300 ribu ton dari sisa penugasan tahun 2022 dan dua juta ton dari penugasan 2023,” paparnya.
Badiul Hadi, Manager Divisi Pelayanan Dasar dan GEDSI

Badiul mengatakan rent seeking kerap kali mengakibatkan terjadinya korupsi. Untuk itu, pemerintah harus lebih terbuka lagi terkait informasi dan data pangan, termasuk impor pangan, memperkuat reformasi birokrasi agar para penyelenggara negara tidak memperkuat rent seeking dan yang tidak kalah penting penegakan hukum atas praktik rent seeking.

Sumber: https://koran-jakarta.com/food-security-adalah-keamanan-nasional-lebih-penting-dari-persenjataan?page=all