Pers Rilis
Jumat, 24 Oktober 2025
Oleh: Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
Sampai akhir September 2025, data Bank Indonesia menunjukkan jumlah idle money atau anggaran daerah yang mengendap di perbankan mencapai Rp234 triliun. Kondisi ini mencerminkan paradoks dalam tata kelola keuangan daerah. Pada awal Oktober, sebanyak 18 kepala daerah memprotes Menteri Keuangan atas pemotongan Transfer ke Daerah (TKD). Namun, di sisi lain, hingga akhir September, anggaran daerah justru banyak mengendap di bank. Fenomena ini bukan hal baru, karena hampir terjadi setiap tahun.
Menurut FITRA ada beberapa faktor yang menyebabkan uang daerah ini mengendap di bank yaitu sebagai berikut:
- Sebagian pemerintah daerah sengaja menimbulkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) karena pada Bulan Januari – Februari tahun berikutnya kas daerah biasanya kosong, sementara pencairan TKD baru dilakukan paling cepat pada Maret.
- Perencanaan proyek yang buruk membuat proses lelang dan pelaksanaan proyek dilakukan di triwulan IV, sehingga dana masih menumpuk pada triwulan III. Akibatnya, banyak proyek dilaksanakan secara tergesa-gesa agar anggaran terserap tanpa memperhatikan kualitas. Idle money juga sering terjadi akibat kegagalan lelang.
- Adanya motif untuk memperoleh keuntungan pribadi dari selisih pokok dan bunga bank. Praktik klasik ini masih sering dilakukan oleh sebagian kepala daerah dengan memanfaatkan tawaran keuntungan pribadi dari pihak perbankan.
- Keempat, lemahnya sistem pengadaan barang dan jasa (e-procurement atau e-catalogue) membuat pemerintah daerah sangat berhati-hati dalam proses pengadaan karena khawatir akan temuan dari lembaga pemeriksa internal (APIP) maupun eksternal (BPK). Hal ini diperparah dengan banyaknya kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di daerah.
- Rendahnya kapasitas sumber daya manusia di pemerintah daerah juga menjadi penyebab rendahnya realisasi anggaran.
Besarnya idle money di daerah berdampak langsung pada masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan miskin, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki layanan dasar dan infrastruktur justru tertahan di bank, sehingga banyak layanan publik terlambat, berkualitas rendah, atau bahkan tidak terlaksana akibat kegagalan lelang.
Anggaran publik memiliki fungsi alokasi dan distribusi yang seharusnya mendorong efek berantai (trickle-down effect) bagi perekonomian daerah. Melalui belanja pemerintah daerah, lapangan pekerjaan terbuka, pendapatan masyarakat meningkat, konsumsi tumbuh, dan sirkulasi ekonomi menguat. Dampak akhirnya adalah peningkatan pendapatan pemerintah serta pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah maupun nasional.
Dengan demikian, idle money yang mencapai Rp234 triliun bukan hanya mencerminkan buruknya tata kelola keuangan daerah, tetapi juga menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi masyarakat dan negara. Kondisi ini berpotensi menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2025 sebesar 5,2–5,3 persen.
Untuk mengatasi hal tersebut, FITRA mendorong pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan seluruh pemerintah daerah menyelenggarakan konferensi pers bulanan untuk melaporkan tata kelola anggarannya. Laporan tersebut mencakup tingkat serapan, capaian program, dan berbagai tantangan yang dihadapi, sebagaimana praktik yang dilakukan pemerintah pusat melalui Konferensi Pers APBN KiTA setiap bulan. Mengingat permasalahan idle money bukan hal baru dan terjadi setiap tahun, Kementerian Dalam Negeri sebagai instansi pembina dan pengawas pemerintah daerah perlu membuat aturan teknis yang jelas mengenai realisasi belanja serta melakukan monitoring berkala agar anggaran dikelola secara optimal dan akuntabel.
Selain itu, pemerintah daerah juga perlu mempublikasikan seluruh dokumen anggarannya, termasuk dokumen realisasi anggaran tahun berjalan maupun laporan yang telah diaudit, melalui situs resmi masing-masing. Langkah ini penting agar masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi dan berpartisipasi dalam pengawasan publik. Kewajiban keterbukaan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.


 
					


