Skip to main content

Oleh: Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran

Lewat Surat Edaran (SE) Gubernur Jawa Barat Nomor 149 Tahun 2025, Dedi Mulyadi atau KDM membuat kebijakan Rereongan Sapoe Sarebu atau program Poe Ibu. Program tersebut diharapkan dapat mengajak masyarakat bergotong royong menyisihkan uang seribu rupiah setiap hari untuk menjawab keterbatasan anggaran dan akses pada bidang pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi kesan yang hadir kini justru nilai gotong royong itu seakan berubah ketika diinstitusionalisasi melalui Surat Edaran. Ditambah lagi, program tersebut juga dapat menimbulkan permasalahan baik dari aspek hukum, tata kelola, serta transparansi dan akuntabilitasnya. Konflik sosial di tingkat akar rumput juga berpotensi terjadi jika program tersebut dilakukan tanpa adanya uji publik dan executive review, bahkan belum ada aturan teknis yang jelas.

Dari aspek hukum; posisi Surat Edaran biasanya hanya mengikat secara internal di lembaga terkait, sehigga masyarakat apalagi instansi swasta tidak terikat secara hukum. Faktanya, donasi atau sumbangan masyarakat untuk kebutuhan lingkungan sudah berjalan di beberapa daerah tanpa adanya SE tersebut. Hadirnya SE tersebut justru akan menimbulkan kerancuan. Meskipun dalam SE tersebut dikatakan tidak wajib atau sukarela; ketika terdapat target nominal tertentu tidak dipungkiri akhirnya seolah memaksa. Paksaan ini bisa dilakukan pihak sekolah ke siswa; pimpinan instansi ke ASN, atau lurah/kades ke RT/RW/masyarakat.

Dari aspek SDM dan tata Kelola fiskal; kemampuan dan kesiapan SDM dalam mengelola program tersebut berbeda-beda. Meskipun ada rekening khusus atau aplikasi resmi; secara teknis masih ringkih khususnya pada tingkat pemungkutan di tingkat bawah. Jangan sampai ini menjadi peluang bancakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Di sisi lain program ini juga bisa menambah beban bagi sekolah yang sebenarnya mempunyai tugas dan fungsi dalam menyukseskan proses belajar-mengajar. Karena jika direalisasikan; pihak sekolah tidak hanya mengumpulkan; tetapi juga diharuskan untuk pengelolaan, penyaluran, pencatatan dan pelaporan dana dari hasil gerakan tersebut. Hal ini membutuhkan persiapan khusus dan aturan teknis yang jelas, jika tidak maka program Poe Ibu ini berpotensi kontra produktif. Secara sosiologis, kebijakan ini dapat berpotensi munculnya ketegangan vertikal antara pimpinan kepada bawahan; dan ketegangan horizontal antara warga yang patuh dan tidak patuh. Di samping itu, memungkinkan munculnya social stigma bagi warga yang tidak ikut berkontribusi dengan stigma “tidak nasionalis”, “tidak peduli lingkungan”, dan stigma lain. Hal yang tidak kalah berbahaya adalah kemungkinan munculnya apatism/fatigue of giving (kejenuhan publik terhadap gerakan solidaritas yang terlalu sering dijalankan tanpa dampak nyata).

Aspek tata kelola fiskal juga menjadi catatan penting. Apakah program ini mengindikasikan moral hazard fiscal? Jika nyatanya pemerintah daerah mengalihkan tanggung jawab pembiayaan publik ke masyarakat. Harusnya dengan sumberdaya yang ada; pemprov dapat memikirkan solusi atas pembiayaan, bukan malah mengatas namakan gotong royong untuk pelayanan publik.

Terakhir dari aspek transparansi dan akuntabilitas. Biasanya sumbangan masyarakat dalam bentuk hibah; memiliki mekanisme pelaporan yang cenderung cair. berbeda dengan mekanisme APBN/D yang dapat dipantau oleh legislatif (DPRD). Bahkan, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menganggap hibah masyarakat tidak termasuk objek wajib audit BPK, kecuali jika BPK diminta secara resmi oleh lembaga mitra atau pemerintah. Oleh sebab itu, mekanisme pembiayaan lewat sumbangan masyarakat ini diragukan efektifitasnya. Belum lagi, timbul keraguan dari sejumlah masyarakat terkait penggunaannya. Jangan sampai sumbangan tersebut akhirnya untuk belanja yang tidak langsung menyentuh akar masalah; seperti biaya rapat, koordinasi dan transportasi. Kesiapan pemprov dalam mengawal program ini menjadi penting, apa lagi belum lama ini masyarakat sempat melakukan protes besar-besaran di sejumlah daerah akibat ketidakpercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan negara dan banyaknya pungutan daerah dengan nilai yang besar. Sehingga pemprov harus benar-benar bisa memastikan sumbangan masyarakat digunakan secara efisien, efektif, tertib, transparan, dan akuntabel. Kebijakan ini pada akhirnya bisa menjadi preseden buruk: “crowdfunding” oleh pemerintah untuk menutupi kelemahan tata kelola fiskal.

Berdasarkan pertimbangan di atas, FITRA merekomendasikan:

  1. KDM atau Pemprov Jabar untuk mencabut kembali kebijakan/SE tersebut. Pemprov sebaiknya tidak menggunakan narasi “solidaritas masyarakat” sebagai substitusi APBD.
  2. Pemprov membentuk Task Force Transparansi Publik Jabar, melibatkan CSO, akademisi dan DPRD agar kebijakan kedepan lebih baik.
  3. Program Poe Ibu akan lebih relevan jika dilakukan ketika dalam kondisi darurat dan mendesak dengan batas waktu tertentu seperti kebencanaan.
  4. Pemprov Jabar memaksimalkan APBD yang ada; dan mengawal tata kelolanya. Dengan alokasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar ke 2 di Indonesia (Rp19 Triliun pada 2025), Pemprov Jabar harusnya dapat mendorong BUMD Jawa Barat lebih produktif, mengoptimalkan aset daerah untuk meningatkan pelayanan publik dan memberdayakan ekonomi kreatif agar tumbuh dan berkembang.
  5. Pemprov Jabar sebaiknya memaksimalkan instrumen fiskal lain seperti kerjasmaa atau kemitraan dengan BUMD atau Swasta atau alternatif inovasi pembiayaan lainnya.