Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) yang diperingati setiap 9 Desember 2023 dwarnai dengan kabar tidak sedap yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Yakni, penetapan tersangka Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri kepada mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam penanganan kasus korupsi di Kementerian Pertanian pada 2021.
Hal itu tampaknya mengonfirmasikan terjadinya penurunan pemberantasan korupsi di Indonesia. Di mana, data Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) untuk 2022 menyebutkan, kalau Indonesia memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara. Skor tersebut turun empat poin dari tahun sebelumnya dan merupakan skor terendah Indonesia sejak 2015.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga merilis Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2023. Di mana, IPAK Indonesia 2023 sebesar 3,92 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian 2022 sebesar 3,93. BPS menyebut, IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu dimensi persepsi dan dimensi pengalaman. Nilai Indeks Persepsi 2023 sebesar 3,82, meningkat sebesar 0,02 poin dibandingkan Indeks Persepsi 2022 (3,80). Sebaliknya, Indeks Pengalaman 2023 (3,96) menurun sebesar 0,03 poin dibanding Indeks Pengalaman 2022 (3,99).
Bahkan Survei Penilaian Integritas (SPI) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, indeks integritas nasional (SPI) 2022, hanya memperoleh nilai 71,9. Indeks ini turun 0,1 dari nilai tahun sebelumnya yaitu 72.
Apakah ini berarti tindakan pemberantasan korupsi tidak berjalan maksimal?
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengaku, kalau sektor korupsi hampir merambah semua sektor. Namun begitu, semua pihak harus optimistis. Kalau pemberantasan korupsi di Indonesia bakal terus membawa dampak positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Termasuk di dalamnya kepada negara dan institusi pemberantasan korupsi. Apakah korupsi akan hilang atau tidak, yang penting aparat hukum sudah mengusahakan dengan sungguh-sungguh. Itulah sebabnya tingkat kepercayaan publik di kejaksaan berada di angka 75,1%. Angka ini paling tinggi jika dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lain.
“Tidak ada satupun negara yang lepas dari korupsi. Ini memperihatinkan. Tetapi, bukan berarti harus berhenti di sini. Apa yang perlu kita perbaiki, mari perbaiki. Tetapi enggak mungkin hanya mengandalkan penegak hukum saja. Perlu bantuan semua pihak,” papar dia dalam Seminar Antikorupsi “Sinergi Mencegah Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara” yang dipantau Minggu (10/12).
Dia pun meyakini kalau pencegahan yang efektif dalam tindak pidana korupsi adalah penindakan yang konsisten dan menimbulkan efek jera. Dengan kata lain, pemberantasan tindak pidana korupsi harus menyentuh pada kasus big fish dengan nilai kerugian yang besar. Itulah sebabnya, Kejaksaan Agung terus mengungkapkan berbagai kasus dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah.
Salah satu contoh, ketika Kejaksaan Agung melakukan tindakan kepada bos PT Duta Palma Group Surya Darmadi (SD). Surya Darmadi merugikan negara sebesar Rp5,1 triliun. Tetapi di luar itu, dampak yang dirasakan oleh masyarakat dan negara akibat ulah Surya Darmadi selama 15 tahun mencapai Rp86 triliun. Sekaligus menjadikan penanganan kasus korupsi ini merupakan terbesar sepanjang di negara ini.
Untuk mengurangi tindak pidana korupsi, dia berharap agar segera mengesahkan UU Perampasan Aset, mengesahkan UU Pembatasan Penggunaan Uang Tunai dan melakukan transformasi digital di seluruh sektor pelayanan publik. Serta memperketat pengawasan terhadap lalu lintas uang asing di Indonesia, yang bertransaksi menggunakan mata uang asing tertentu dalam upaya tindak pidana korupsi.
Sedangkan Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyebut kalau indikasi kasus korupsi terjadi di semua kalangan pemerintahan. Mulai dari Menteri Pertanian, Menteri Sosial, bupati, Hakim MK, Hakim MA, Ketua DPR, Wakil Ketua DPR dan anggota DPR/DPRD.
“Ini tidak pernah terjadi lagi di luar negeri. Makanya kami konsen betul dalam memberantas tindak pidana korupsi. Makanya, kami sangat berharap kepada generasi Z yang mempunyai ‘otak berbeda’. Kalau perbaikan sistem, tampaknya masih butuh waktu lama. Jadi disituasi sekarang, kami antara bangga tetapi sedih,” ucap dia.
Dia pun mengungkapkan jenis dan modus kasus korupsi pada pengeluaran keuangan negara. Di mana,
pengadaan barang dan jasa merupakan celah yang paling banyak dimanfaatkan dengan modus operandi yang telah ada dari mulai zaman Orde Baru. Mulai dari kickback-komisi, arisan tender, pengaturan peserta, pengaturan sejak perencanaan, hingga pengesahan anggaran.
Akibatnnya, pembangunan jalan yang seharusnya dalam lima tahun sudah bisa sepanjang 500 kilometer, namun akibat tindak pidana korupsi hanya bisa merealisasikan 250 kilometer. Atau bisa juga mampu merealisasikan 500 kilometer, tetapi dalam jangka waktu dua tahun sudah rusak.
“Makanya negara kita pembangunannya paling sibuk. Pantura itu contoh yang paling top. Sudah miskin, tetapi pembangunannya bulak-balik itu saja. Itu sampai sekarang masih ada. Jadi negara kita borosnya bukan main. Apalagi di pemda yang pendapatannya sangat tergantung pada transfer perimbangan daerah. Sampai masuk pendidikan perguruan tinggi saja sudah ada kasusnya. Jadi selesailah kita,” papar dia.
Tetapi, dia menegaskan masih ada harapan untuk memberantas korupsi. Di antaranya dengan digitalisasi dan keberadaan orang-orang yang memiliki pola pikir berbeda seperti genarasi Z. Makanya, KPK berharap kepada generasi Z. Pertama mereka sangat fasih literasi digitalnya. Kedua, mereka akan memilih ke luar jika lingkungan kerjanya dinilai sudah tidak nyaman. Dan hal itu bukan hanya terjadi di perusahaan swasta tetapi juga di Kementerian Keuangan dan KPK.
Tentunya upaya pemberantasan korupsi tidak hanya bisa dilakukan penegak hukum. Perlu ada dukungan dari masyarakat sipil. Untuk itu, Wakil Sekretaris Jenderal FITRA Ervyn Kaffah mengatakan, anggaran dan pelayanan publik, adalah dua isu penting yang bisa dipahamani oleh masyarakat luas jika ingin menurunkan korupsi. Karena di situ ada korelasi langsung, di mana rakyat menjadi korban utama korupsi. Sehingga memungkinkan pelibatan publik untuk memberantas korupsi. Makanya, literasi anggaran harus terus diperkuat dengan juga memperkuat perspektif antikorupsinya.
Masyarakat sipil pun diharapkan tidak hanya fokus membongkar kasus-kasus besar. Karena hal itu sangat bergantung pada konstelasi penegakan hukum dan persaingan politik. Tetap juga fokus pada kerja bersama masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
“Harus ada yang mengambil peran sebagai pemandu, ada yang membongkar yang besar, ada yang mendidik dan menyatukan yang terserak. Enggak mungkin Anda mengerjakan semua itu. Cobalah berbagi beban atau peran. Jadi bersekutu itu jauh lebih baik,”
Ervyn Kaffah, Wakil Sekretaris Jenderal FITRA
Sumber: https://www.alinea.id/nasional/indeks-korupsi-indonesia-turun-bukan-berarti-harus-berhenti-b2icm9Ps5